Yang Berjalan dan Yang Terbang: Ken dan Mara

ken dan mara

Pulang kerja makan bareng yuk, Ra.

Mara membaca pesan dari Ken untuk beberapa saat. Semalaman Mara memikirkan pembicaraannya dengan Kania, dan apa yang dikatakan temannya itu. Kania benar, menentukan apa yang lebih tidak diinginkan sangat membantunya dalam membuat keputusan. Mara memang tidak mau Ken tahu kalau Mara menyukainya, tapi Mara lebih tidak ingin selamanya tidak bisa bicara seperti dulu lagi dengan Ken. Karena itu Mara memutuskan untuk berhenti menghindari Ken.

Mara pun mengetikkan jawaban untuk pesan Ken itu. Oke.

Sepulang kerja, Mara mendapati Ken sudah menunggunya di lobi. Mara pun menghampiri Ken, yang disambut dengan senyuman lebar Ken. Keduanya langsung beranjak menuju tempat makan langganan mereka yang tak jauh dari situ.

Lalu semuanya berjalan jauh lebih normal dari yang Mara duga. Keduanya bertukar cerita macam-macam, yang tidak sempat diceritakan selama beberapa hari ini. Ken bercerita kalau ia sempat hampir dipindah ke divisi lain lagi, tapi atasannya mati-matian mempertahankannya di HRD. Sedangkan Mara bercerita tentang pertemuannya dengan Sophie tempo hari. Juga tentang kemungkinan kalau ia akan bisa mendapatkan SIM A bulan depan.

“Berarti lo bakal bawa mobil terus ke kantor?” tanya Ken.

Mara mengangkat bahu. “Nggak tahu juga. Gue malah jadi ragu, habis kalau pakai mobil pasti macet banget dan waktu gue di jalan lebih lama. Tapi sayang juga kalau nggak pakai, udah capek-capek kursus dan bikin SIM segala.”

Ken mengangguk-angguk. “Tapi seenggaknya lo nggak akan terlalu pegal, Ra. Kalau di mobil kan lebih santai daripada di angkutan umum atau pakai motor. Oh, tapi kan ada ganjil genap. Gimana, tuh?”

“Ah.” Mata Mara membesar. Baru sadar akan hal itu. “Kok gue baru ingat soal itu, ya? Di rumah gue mobil ganjil semua lagi.”

Ken terkekeh. Ken lalu memberikan opsi-opsi lain yang bisa Mara lakukan, yang disambut dengan anggukan dan sesekali sahutan dari Mara. Saat itu Mara tersadar betapa ia merindukan saat-saat seperti ini. Saat-saat ia mengobrol bebas dengan Ken, membicarakan apa saja yang terjadi dalam hidup mereka.

Saat itu Mara juga berpikir kalau mungkin ia telah mengambil keputusan yang tepat.

“Ah, gue senang banget bisa ngobrol begini lagi,” ujar Ken tiba-tiba. Mara kaget, lagi-lagi Ken seolah dapat membaca pikirannya. Mara melihat pemuda itu sudah tersenyum lega. Ken lalu melanjutkan. “Gue benar-benar bingung harus gimana pas lo terus menghindari gue akhir-akhir ini, Ra.”

Mara meringis. Ternyata Ken menyadari soal itu. Yah, tentu saja. Siapa yang tidak akan sadar dengan sikap Mara yang begitu jelas itu?

“Ngomong-ngomong, lo kemarin-kemarin kenapa sih, Ra? Gue nggak sengaja bikin lo marah, ya?” tanya Ken penasaran. 

“Nggak, kok!” Mara buru-buru menggeleng. “Kemarin-kemarin itu gue lagi ada masalah pribadi aja. Benar-benar pribadi banget, jadi gue nggak bisa cerita ke lo. Sorry.

Ken mengerutkan kening bingung, tapi akhirnya mengangguk. “Oke. Yang penting sekarang lo udah mau ngomong sama gue lagi. Gue lega dan senang banget bisa begini lagi.”

“Gue juga,” sahut Mara.

Pada saat itu, ponsel Mara bergetar. Ini sudah yang kesekian kali sepanjang makan malam mereka. Sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Karena itu Ken pun bertanya. “HP lo kayaknya jadi lebih berisik, Ra.”

Mara mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, melihat notifikasi di layar ponselnya. “Oh, ini grup SMA gue.”

“Wah, lo bahkan udah masuk grup SMA?” ujar Ken dengan nada kagum bercampur bangga.

Mara mengangguk, menunjukkan layar ponselnya pada Ken. “Rencananya mau ada reuni lagi ganti yang kemarin. Yang kemarin kan; yah, berantakan gara-gara drama gue sama Sophie. Tapi ternyata teman-teman SMA gue nggak julid-julid amat. Mereka bisa paham dengan apa yang terjadi, terus pengen bikin reuni lagi.”

Ken mengangguk-angguk sambil melihat layar ponsel yang berisi percakapan grup SMA Mara itu. Memang tidak ada yang berbicara aneh-aneh soal kejadian waktu itu. Malah mereka tampak ramah dan menyambut Mara dengan baik di grup ini.

Tapi kemudian, sebuah pesan pribadi masuk ke ponsel Mara. Ken berkerut melihat nama pria terpampang di situ. “Ini teman SMA lo juga?”

Mara mengambil kembali ponselnya, melihat pesan yang baru masuk itu. “Oh, iya. Ini Ardi, ketua angkatan gue. Dia yang biasa ngurusin soal reuni.”

Kerutan kening Ken belum juga hilang. “Dia sering kirim pesan begini ke lo?”

“Entahlah,” sahut Mara, mencoba mengingat-ingat. Ia memang tidak begitu memperhatikan hal itu. “Kayaknya si Ardi ini emang anaknya senang kirim pesan ke teman-temannya, senang ngobrol.”

“Nggak ada yang kirim pesan kayak gitu malam-malam ke teman, Mara,” sahut Ken. Nada suaranya terdengar kesal. “Kok lo nggak cerita apa-apa ke gue soal ini, sih? Kan gue udah bilang, kalau ada cowok yang begini langsung bilang ke gue.”

Mara terdiam. Perasaannya campur aduk mendengar ucapan Ken. Mara tidak tahu ternyata menyukai orang rasanya sesulit ini. Ada bagian dari dirinya yang merasa senang dan melambung dengan apa yang Ken katakan. Membuatnya memiliki harapan. Tapi di sisi lain, Mara berpikir kalau Ken tidak bermaksud apa-apa dengan ucapannya. Hanya Mara yang mengartikannya terlalu jauh.

Mara menghela napas. Belum sehari ia berbicara lagi dengan Ken, tapi perasaannya sudah jungkir balik begini. Apa ia bisa bertahan dengan semua ini? Mara bertanya-tanya dalam hati. Mungkin sekarang saatnya meluruskan pada Ken agar pemuda itu tidak melakukan hal-hal semacam ini lagi.

“Nggak ada juga yang kayak lo gini ke teman, Ken,” sahut Mara akhirnya. “Gue harap lo memberi batas yang jelas soal itu.”

Ken terdiam mendengarnya. Apa ini berarti Mara ingin memberi batas antara mereka?

“Kalau enggak, gue mungkin akan salah paham,” tambah Mara lagi, setengah tertunduk.

Kali ini Ken tertegun. Ucapan Mara barusan menumbuhkan bibit-bibit harapan dalam hati Ken. Mungkin Bagas benar soal ini? Soal kalau bagaimanapun juga, masih ada peluang atas Mara. Tapi selain ada peluang berhasil, juga ada peluang gagal, kan? Mungkin Ken sebaiknya melihat keadaan lebih lanjut dulu dan menunggu situasi yang lebih tepat…

Tapi kemudian gue sadar kalau selama ini gue cuma buang-buang waktu.

Saat itu, tiba-tiba Ken teringat ucapan Rendy. Rendy benar. Sampai kapanpun, Ken tidak akan pernah tahu kapan waktu yang tepat. Tidak sebelum Ken melakukannya dan melihat sendiri apakah itu benar-benar waktu yang tepat atau bukan.

Sementara itu Mara yang merasa suasana menjadi lebih serius dari sebelumnya, mengusap-usap tengkuknya kikuk. Mara lalu mengambil buku menu yang tergeletak di atas meja dan membukanya. Berusaha mencairkan keadaan. “Gue mau pesan dessert, puding kayaknya enak. Lo mau juga—”

“Gue suka sama lo.” Ken memutus ucapan Mara. Membuat Mara kaget. “Hah?”

“Gue suka sama lo, Mara,” ulang Ken. Kali ini dengan wajah agak memerah. Mara mengerjapkan mata, berpikir apakah yang ia dengar tadi nyata atau hanya khayalannya saja. Tapi wajah merah dan gerakan kikuk Ken membuat semuanya tampak begitu nyata.

Ken lalu berdehem. “Lo gimana, Mara?”

“Gimana apanya?” Mara balik bertanya bingung.

“Lo mau jadi pacar gue, nggak? Itu… kalau lo suka sama gue juga,” sahut Ken, sambil mengusap pelipisnya salah tingkah. Ken merasa kalau susunan kalimatnya tidak terlalu bagus, tapi ia harap Mara paham maksudnya.

Harapan Ken terkabul. Mara memahami apa yang dibicarakan Ken. Perlahan Mara merasa hatinya dipenuhi sesuatu yang menyenangkan. Ternyata Ken suka padanya juga. Ternyata Mara tidak hanya baper sendiri.

Mara pun tersenyum dan mengangguk ringan. “Oke.”

Kini Ken yang bingung. “Oke apa?”

“Jadi pacar lo. Lo tadi nanya, kan?”

Ken tidak bisa menahan senyumnya. “Serius? Lo suka sama gue juga berarti?”

Mara mengangguk lagi. Karena Ken sudah jujur padanya, Mara pun berpikir kalau tidak masalah untuk jujur juga pada Ken. “Gue pernah utang jawaban ke lo, kan? Soal apa lo spesial, lebih spesial dibanding anak-anak Icarus yang lain?”

Ken mengangguk. Ia tidak menyangka Mara masih ingat soal itu.

“Gue bayar utang sekarang. Jawabannya, iya. Lo spesial buat gue, Ken. Dibanding anak-anak Icarus lainnya.” Mara menghentikan ucapannya, menatap Ken lurus. “Dibanding siapapun juga.”

Senyum Ken makin lebar mendengarnya. Seperti ada sesuatu yang meletup-letup di dadanya.

“Oh, meski yang terakhir itu gue baru sadar akhir-akhir ini,” tambah Mara. “Gue sebenarnya menghindar kemarin-kemarin itu karena sadar ternyata gue suka sama lo, Ken.”

“Hah?” Ken melongo. Merasa mendengar sesuatu yang paling mustahil. “Serius?”

Mara mengangguk.

“Tapi kenapa lo malah menghindar?”

“Karena gue takut ketahuan sama lo.” Mara meringis. “Gue takut kalau ternyata gue kelewat baper sedangkan lo biasa aja. Lo baik sama semua orang, sih. Jadi gue pikir lo begitu sama semua orang juga.”

“Kan gue berkali-kali bilang kalau gue begini ke lo doang, Mara.”

“Gue kira lo nggak serius, Ken.”

“Kenapa orang-orang selalu ngira gue nggak serius, sih?” protes Ken. “Gue selalu serius kalau soal lo, Mara. Jadi selama ini lo benar-benar nggak tahu kalau gue suka sama lo?”

“Nggak,” jawab Mara jujur. Tapi melihat Ken seperti akan protes lagi, Mara buru-buru melanjutkan. “Ya, gimana gue bisa tahu kalau lo nggak pernah bilang, kan?”

Ken mengusap-usap tengkuknya. “Gue takut nggak berhasil dan malah bikin hubungan kita jadi buruk. Padahal selama ini gue nggak terlalu mikirin hasil, tapi gue benar-benar ingin berhasil soal ini.”

Mara tak dapat menahan senyumnya, lalu mengangguk-angguk. “Yang penting sekarang kan gue udah tahu. Lo juga udah tahu. Masalah beres, kan?”

Ken ikut mengangguk. Menatap lurus pada mata Mara. “Jadi kita pacaran sekarang, kan?”

Mara berdehem kikuk. “Gue kan udah jawab tadi, Ken.”

Ken tersenyum lebar, mengangguk-angguk. Sekarang Ken tahu kalau ia telah memutuskan pada waktu yang tepat. Dan Ken bersyukur telah memberanikan diri untuk memutuskan hal itu. Untuk mengungkapkan perasaannya pada Mara.


Baca bagian lainnya di sini:

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *