Bagian 5 | KEN DAN MARA – Sejauh ini untuk Mara, semua bisa dibilang berjalan dengan cukup baik.
Beberapa hari setelah reuni itu, Mara bertemu kembali dengan Sophie. Kali ini hanya berdua saja. Mereka masih agak canggung dan lebih banyak diam, namun berhasil menanyakan keadaan masing-masing tanpa menangis lagi. Seusai pertemuan itu, mereka bertukar kontak dan saling mengirim pesan satu dua kali. Mara juga kembali menyambung kontak dengan teman-teman SMA yang lain, termasuk Bella yang mengundangnya ke reuni.
Urusan Icarus juga berjalan dengan cukup baik. Para anggota Icarus sudah menentukan ide untuk project mereka yang selanjutnya. Pekan kemarin mereka sudah melakukan survey lokasi yang akan dijadikan tempat shooting dan memilah talent yang akan di-casting. Pekan ini mereka akan berkumpul di markas Icarus untuk membahas rencana detail mengenai jadwal produksi film ini secara keseluruhan.
Selain itu, di kantor Mara juga sedang tidak ada masalah yang besar. Mbak Ineke, rekan kerja Mara itu, sempat khawatir Mara akan memasang wajah dingin soal memberikan kontak email tanpa bilang-bilang. Tapi Mara justru bilang terima kasih padanya. Karena bagaimanapun Mbak Ineke turut andil dalam membuat Mara diundang reuni dan bertemu kembali dengan teman-teman SMA-nya. Menghadapi masa-masa yang selama ini menghantuinya, dan mengetahui kenyataan sebenarnya dibalik semua itu.
Intinya, hampir semua hal berjalan dengan cukup baik untuk Mara. Kecuali soal Ken.
Sudah beberapa hari ini Mara menghindari Ken. Tepatnya sejak kejadian di kafe teman Ken waktu itu. Mara selalu memberikan alasan setiap Ken mengajaknya makan siang atau makan malam bersama. Sudah diajak makan dengan teman kantor lah, sudah bawa bekal lah, harus lembur lah, ada rapat lah; pokoknya hampir semua jenis alasan sudah Mara keluarkan. Saat bertemu di Icarus pun Mara akan duduk jauh-jauh dari Ken. Kalau harus berbicara dengan Ken, Mara akan menghindari tatapan matanya.
Hal itu tentu saja disadari Ken. Ken pun beberapa kali mencoba berbicara dengan Mara untuk membahas hal ini. Tapi Mara bergerak lebih cepat untuk menghindari Ken lagi. Jadi Ken sampai sekarang bingung mengapa Mara menghindarinya, karena Ken yakin betul tidak ada masalah di antara mereka. Ken juga tidak bisa melakukan apa-apa karena Mara seolah tidak membiarkannya melakukan apa-apa.
Bukan hanya oleh Ken, hal itu juga disadari oleh anggota Icarus lainnya. Seperti Kania yang akhirnya geregetan melihat hal itu dan menanyakan langsung pada Mara. Saat itu hanya ada mereka berdua sedang duduk di sofa membahas talent untuk film baru Icarus. Yang lain sedang mengotak-atik komputer Icarus yang baru saja di-service, di ruangan yang berbeda.
“Lo berantem sama Ken, Ra?”
Mara yang sedang menulis di buku catatannya, mengangkat kepalanya kaget. “Hah?”
“Kita semua tahu lo akhir-akhir ini menghindar dari Ken terus. Lo berantem sama dia? Apa masalahnya?” tanya Kania lagi.
Mara menggeleng. “Enggak, kok. Gue nggak berantem sama Ken. Nggak ada masalah juga.”
“Terus kenapa lo menghindari dia terus?”
Mara terdiam, menggigit bibir bawahnya. Juga memainkan pulpen di tangannya dengan gelisah. Kania menangkap semua itu dan bertanya lagi. “Nggak ada masalah, tapi ada sesuatu, ya?”
Mara menghela napas. Kania pun menyadari kalau ucapannya benar. “Kenapa, Mara? Ada apa sebenarnya? Cerita dong, sama gue.”
Mara tidak langsung menyahut, hanya menatap Kania untuk beberapa saat. Memang selain dengan Ken, Mara paling dekat dengan Kania di Icarus. Mungkin karena keduanya sama-sama perempuan, jadi banyak hal yang bisa mereka bicarakan. Karena itu Mara sebenarnya mempertimbangkan untuk curhat ke Kania tentang hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
“Jangan di sini tapi, Ya,” ujar Mara kemudian.
Mereka berdua pun beranjak dari markas Icarus. Memberi alasan ingin mencari makan siang pada anggota Icarus lainnya. Di tempat makan, Kania langsung menodong Mara untuk bicara.
“Lo tapi jangan ngetawain gue, ya,” ucap Mara ragu. “Gue clueless banget soal beginian.”
“Iya, iya,” sahut Kania tidak sabar. “Jadi ada apa sebenarnya?”
Mara terdiam sejenak, memilin-milin ujung bajunya dengan gelisah. Setengah tertunduk dan dengan suara pelan, Mara pun berkata. “Gue… kayaknya suka sama Ken.”
Kania mengerutkan kening. Jadi itu? “Oh, begitu,” sahut Kania kemudian, dengan nada tenang.
Mara mengangkat kepalanya kaget. “Kok lo biasa aja, sih?”
“Ya, dengan melihat gimana dekatnya lo sama Ken selama ini, gimana Ken ke elo; ini bukan hal yang aneh, kan? Gue malah heran kok lo baru suka ama Ken sekarang,” sahut Kania. “Gue kira lo akan suka Ken dari kapan tahu. Jadi sebelum ini lo cuma anggap Ken sebagai teman?”
Mara mengusap-usap pelipisnya, bingung sendiri. “Ya, mungkin? Nggak tahu juga. Gue selama ini nggak pernah punya teman cowok,” sahut Mara. Tepatnya, selama ini Mara tidak punya teman karena selalu sibuk menghindari orang-orang.
“Oke. Jadi intinya, lo baru sadar kalau lo suka sama Ken.” Kania mengangguk-angguk. “Terus apa masalahnya?”
Mara menghela napas. “Itu masalahnya. Gue nggak tahu harus gimana. Gue nggak pernah suka sama orang begini.”
“Masa? Nggak pernah sama sekali?” Mata Kania membesar kaget.
“Paling naksir-naksir gitu doang pas SMA, tapi nggak sampai pedekate. Apalagi pacaran. Terus lulus SMA, gue nggak pernah kepikiran buat suka sama orang,” sahut Mara. Boro-boro pacar, teman saja Mara tidak punya.
“Oke.” Kania mengangguk-angguk, berusaha mencerna ucapan Mara. “Tapi kenapa lo malah menghindar dari Ken? Orang suka kan biasanya mau dekat-dekat terus.”
Mara menghela napas lagi. “Karena Ken pasti akan tahu kalau gue suka sama dia. Dia kan bisa baca gue dengan baik.”
“Emang kenapa kalau Ken tahu?” tanya Kania heran.
“Ya malu dong gue jadinya, Kania. Ken kan emang anaknya baik sama semua orang, eh tapi gue malah baper sendiri. Ken juga pernah bilang gitu, dia emang dasarnya friendly sama semua orang. Tapi kalau ternyata orangnya emang baper duluan, ya bukan salah dia juga.” Mara mengulang ucapan Ken waktu awal-awal mereka bertemu dulu. Mara lalu mengeluh. “Ken pasti punya banyak pengalaman sama cewek, gampang berinteraksi sama cewek. Nah, gue? Gue kan baru pertama kali mengalami ini semua. Gue lebih rentan mungkin ya, jadinya gampang baper begini?”
Kania melongo mendengar curhat panjang Mara itu. Jadi ini yang membuat Mara menghindari Ken?
“Mara, kayaknya lo salah paham tentang beberapa hal di sini,” ujar Kania kemudian. “Pertama, Ken nggak begitu ke semua orang. Seperti yang Ken sering bilang juga, dia hanya berkelakuan begitu sama lo. Dan itu benar, Mara. Ken emang pada dasarnya baik dan friendly sama semua orang, tapi nggak sebaik itu juga. Nggak sebaik ke elo.”
Mara mengerutkan keningnya tak percaya.
“Beneran!” sahut Kania, meyakinkan Mara. “Gue kan kenal Ken udah cukup lama. Udah bisa bedain mana Ken yang serius, mana yang cuma basa-basi dan ramah tamah aja.”
Mara tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Kedua, menurut gue lo sama sekali nggak rentan. Kalau lo rentan, harusnya lo dari dulu baper sama Ken. Lah ini udah hampir setahun kenal baru suka, di mana rentannya?” lanjut Kania. “Dan ketiga, Ken emang gampang dekat sama orang. Tapi Ken sama sekali nggak berpengalaman soal cewek. Asal lo tahu, Ken nggak pernah punya pacar.”
“Hah?” Mara melongo. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Masa, sih?”
Kania mengangguk. “Benar, Mara. Pas SMA, Ken sibuk temenan sama banyak orang. Pas kuliah, Ken sibuk bikin film sama gue dan Rendy. Pas kerja, dia sibuk dioper ke sana-sini.”
Mara tidak menyahut. Seolah masih sulit untuk percaya dengan kenyataan yang baru didengarnya itu.
“Jadi, lo masih terus mau menghindari Ken?” tanya Kania.
“Nggak tahu, Ya,” sahut Mara lemah.
“Sampai kapan, Mara?” tanya Kania lagi.
“Nggak tahu.” Mara menggeleng. “Gue harus gimana dong, Ya?”
Kania terdiam sejenak. Lalu berkata dengan hati-hati. “Kalau gue biasanya saat sulit memutuskan sesuatu, gini mikirnya, Ra. Bukan mana yang lebih gue suka, karena mungkin di antara pilihan-pilihan itu nggak ada yang nggak gue suka. Tapi mana yang lebih nggak gue suka, dan pilih yang satunya. Bukan mana yang gue mau, tapi mana yang gue nggak mau.”
Mara terdiam mendengarnya.
“Lo pasti lebih tahu gimana keadaan lo. Mana yang lebih nggak lo mau,” lanjut Kania. “Mungkin lo bisa mulai dari pendekatan itu.”