Yang Berjalan dan Yang Terbang: Segelas Cokelat Hangat

segelas cokelat hangat

Bagian 4 | SEGELAS COKELAT HANGAT – Sudah hampir setahun Mara bergabung dalam Icarus. Mereka masih membuat film-film yang mereka inginkan.

Terakhir mereka mengikutsertakan film dokumenter terbaru Icarus pada sebuah kompetisi film indie. Pengumumannya masih  belum keluar, tapi Rendy berulang kali menegaskan – dan mengingatkan – kalau mereka membuat film itu bukan semata agar menang lomba. Hal yang diamini juga oleh semua anggota Icarus.

Selain dari project-project Icarus yang berjalan lancar, hubungan Mara dengan para anggota Icarus yang lainnya pun semakin baik. Mara kini sudah terbiasa menyampaikan pendapat-pendapat jujurnya di Icarus. Mereka juga sudah semakin nyaman untuk melontar canda satu sama lain, atau bercerita tentang hal-hal lain di luar Icarus.

Tapi tentu saja, di antara para anggota Icarus itu Mara paling sering bertemu dan mengobrol dengan Ken. Pendukung utamanya tentu saja letak kantor mereka yang bersebelahan. Hampir setiap hari Mara bertemu dengan Ken. Kalau tidak di jam makan siang, mereka biasanya bertemu sepulang kerja untuk makan malam bersama.

Dan karena semakin sering bertemu itu, Ken semakin dapat membaca raut wajah Mara. Seperti sekarang, saat Ken melihat Mara lebih banyak termenung di makan siang bersama mereka.

“Lo ada masalah, Ra?” tanya Ken, membuyarkan pikiran Mara yang sedang kemana-mana itu. “Ada problem lagi sama orang Keuangan?”

Mara menggeleng. Beberapa hari yang lalu Mara memang sempat bercerita pada Ken kalau ia bertengkar dengan orang dari divisi Keuangan gara-gara pembuatan laporan tahunan. Mara lalu berkata. “Udah beres kalau yang itu. Orangnya ngaku kalau dia emang salah kasih info soal laporan itu.”

“Oh, baguslah kalau begitu,” sahut Ken. Ia lalu bertanya lagi. “Terus kenapa, dong? Berantem sama nyokap lo lagi? Lo masih keukeuh mau bawa motor?”

Mara menggeleng. Ia juga pernah bercerita tentang ibunya yang mati-matian melarang Mara yang ingin membawa motor ke kantor. Mara lelah mengejar angkutan umum terus setiap hari.

“Belajar mobilnya ada masalah?”

Mara menggeleng lagi. Pertengkaran dengan ibunya itu memang diselesaikan dengan solusi belajar menyetir mobil. Ibunya memang tidak memperbolehkannya bawa motor, tapi masih mengizinkan bawa mobil. Dengan syarat Mara mendapatkan SIM tanpa nembak. Dan sejauh ini, sesi kursus mobil Mara berjalan dengan cukup lancar.

Ken terus menanyakan berbagai hal yang ia pikir dapat menjadi penyebab Mara tampak murung. Tapi Mara terus menggeleng. Ken akhirnya menyerah. “Terus lo kenapa, Mara? Kenapa nggak cerita kayak biasa?”

Pertanyaan Ken itu membuat Mara tersadar pada kenyataan bahwa selama ini ia telah bercerita banyak pada Ken. Hampir semua yang Mara alami, semua yang terjadi dalam hidupnya, ia ceritakan pada Ken. Dan anehnya, hal itu terjadi begitu saja. Setiap bertemu Ken selalu saja ada hal yang diceritakannya pada pemuda itu. Ken begitu banyak tahu tentang dirinya.

Tapi untuk yang satu ini, Mara merasa berat membaginya dengan Ken. Hal yang disimpannya rapat-rapat dari semua orang. Hal yang memberatkan langkahnya. Hal yang menoreh luka dalam di hatinya. Kejadian di masa SMA dulu, yang membuat Mara menjaga jarak dari orang-orang.

Dan kemarin, Mara mendapatkan email yang berisi undangan reuni SMA-nya. Awalnya Mara heran bagaimana bisa mereka mendapatkan kontaknya, karena selama ini Mara berusaha menghindar dari teman-teman SMA. Tapi ternyata salah satu anak kelasnya dulu, Bella, bertemu dengan teman sekantor Mara dalam sebuah acara, dan dari obrolan mereka akhirnya didapatkanlah kontak email Mara. Bella kemudian mengirimkan email kepada Mara, bertanya kabarnya sekaligus memberikan undangan reuni itu.

Hal itulah yang terus berkutat di pikiran Mara sejak kemarin. Bella sebenarnya bukan teman yang dekat dengannya saat SMA dulu, dan bukan juga teman yang kemudian memusuhinya. Tapi tetap saja, mendapat kabar yang terkait masa SMA-nya saja sudah membuat Mara kalut. Apalagi diundang untuk datang reuni. Yang berarti harus bertemu langsung dengan mereka. Mengingat kembali masa-masa itu. Masa-masa gelap yang ingin dikubur selamanya oleh Mara.

“Mara?” Suara Ken kembali menyadarkan Mara. “Benar kan, lo ada apa-apa?”

Mara buru-buru menggeleng, kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan agar tak terus membahas soal dirinya. “Oh iya, lo jadi mau ketemu teman-teman Cahaya Hati, Ken?”

Ken menghela napas. Tahu kalau Mara mencoba menghindar dari pertanyaannya. Tapi kemudian Ken tetap menjawab pertanyaan Mara itu. “Jadi, Ra. Rencananya mau ketemuan akhir pekan ini. Kebetulan banyak yang lagi di Jakarta juga, jadi kumpulnya ya masih dekat-dekat sini,” ujar Ken. 

Sama seperti Mara, Ken juga selalu bercerita tentang berbagai hal. Termasuk soal Ken yang sudah dapat menghubungi teman-teman yang tinggal bersama di Cahaya Hati dulu. Awalnya sulit mencari waktu untuk bertemu dengan mereka, karena sudah banyak yang berpencar ke berbagai daerah. Bahkan ada beberapa yang sedang di luar negeri juga karena pekerjaan maupun studi. Namun akhirnya mereka bisa mendapatkan waktu yang pas untuk bisa bertemu semuanya. Pertemuan itu pun berjalan cukup rutin setiap mereka memiliki kecocokan waktu.

“Lo ikut juga yuk, Ra. Gue pengen ngenalin lo sama anak-anak,” ucap Ken lagi. Anak-anak yang dimaksudnya adalah teman-temannya dari Cahaya Hati. 

Sontak saja mata Mara membesar mendengarnya. “Buat apa gue ikut? Dan ngapain lo kenalin gue ke teman-teman lo?”

“Mereka udah tahu tentang lo, kok. Gue kan sering cerita kalau ketemu, jadi pada penasaran pengen kenal lo langsung,” sahut Ken enteng. Merasa tidak ada masalah dengan gagasannya itu.

Tapi tentu saja Mara menolak mentah-mentah gagasan itu. “Nggak mau, ah! Nanti gue mati gaya jadi orang luar sendiri.”

“Nggak bakalan, Ra. Teman-teman gue pada baik-baik, kok. Meski kadang rada-rada sableng juga kalo resenya keluar. Tapi hati mereka baik kok, lo tenang aja.”

“Bukan gitu maksudnya, Ken.”

“Terus apa?”

“Ya pokoknya aneh aja kalau gue tahu-tahu datang ke perkumpulan teman-teman lo.”

“Teman gue juga ada yang pernah bawa temannya kok, pas terakhir kita ketemu. Dan kita welcome aja sama teman yang dibawanya itu, Ra.”

“Gue kan anaknya nggak supel, nggak easygoing dan bisa gampang berbaur sama orang, Ken.”

“Tenang, kan ada gue. Pokoknya semua pasti aman, Mara.”

“Nggak segampang itu, Ken.”

“Apa yang susah? Lo nggak ada acara akhir pekan ini, kan?”

“Gue ada reuni.”

Mara terdiam setelah mengucapkan kalimat itu. Tidak menyangka hal itu akan keluar dari mulutnya. Mara memang kelepasan, karena merasa terdesak dengan ucapan Ken. Atau mungkin karena hal itu terus ada di kepalanya hingga tak sadar akhirnya keluar juga.

“Oh, lo ada reuni? Reuni apa? SMA? Kampus?” tanya Ken antusias.

“SMA,” jawab Mara enggan. 

Ken berkerut melihatnya. “Terus kok lo nggak semangat gitu? Tunggu.” Ken menyadari sesuatu. “Ini yang bikin lo down dari tadi?”

Mara termangu. Ternyata ia benar-benar tidak bisa menyembunyikan apapun pada Ken. Mara pun menghela napas, kemudian mengangguk pendek. 

“Jadi, ada apa sebenarnya, Mara?” tanya Ken hati-hati.

Mara menatap Ken lurus-lurus. Kalau sudah begini, rasanya Mara tidak bisa menyembunyikannya lagi dari Ken. Hal yang disimpannya sendiri selama ini. Mungkin tidak apa jika membaginya dengan Ken, itu pikiran Mara saat ini.

Dan akhirnya Mara pun menceritakan semuanya. Soal kejadian di SMA yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Ketakutannya akan membuat orang lain sakit hati lagi membuat Mara memilih untuk menghindar. Menjaga jarak dari orang lain agar tidak terlalu dekat, takut melukai dan terlukai lagi. Sampai kemudian Mara bertemu dengan Ken, dengan anggota Icarus lainnya. Dan sampai kemudian Mara mendapat undangan reuni itu.

“Makanya lo dari tadi diam aja mikirin soal itu,” ujar Ken begitu Mara menyelesaikan ceritanya. Mara mengangguk pendek.

“Yang jadi pikiran lo kenangan akan masa-masa itu, apa bingung memutuskan sebaiknya datang atau enggak?” tanya Ken kemudian. 

Mara terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara lirih. “Dua-duanya,” sahut Mara sambil menunduk. “Gue jadi teringat lagi masa-masa itu, kenangan yang sebenarnya nggak mau gue ingat-ingat. Tapi di satu sisi, gue juga bingung mau datang atau enggak ke reuni itu.”

“Bingung, berarti ada pertimbangan buat datang?” tanya Ken lagi.

Mara menghela napas, lalu mengangguk. “Gue juga nggak nyangka kalau gue akan mempertimbangkan hal itu. Selama ini gue kira kalau hal begini terjadi, gue akan dengan mudah memutuskan buat nggak datang. Tapi entah kenapa, ada bagian dari diri gue yang berpikir untuk datang.” Mara menjeda ucapannya, mengangkat kepalanya perlahan dan menatap Ken. “Kayak ada pikiran kalau mungkin semuanya nggak seburuk itu.”

Ken terdiam sejenak. Ia mengerti maksud tatapan dan ucapan Mara barusan. “Karena lo lihat gue juga begitu?”

Mara mengangguk. Memang itulah yang membuat Mara mempertimbangkan untuk datang ke reuni SMA. Mara ingat bagaimana Ken juga berusaha menghadapi kenangan yang tidak ingin diingatnya, yang menjadi titik gelap hidupnya. Ken yang memutuskan untuk datang kembali ke Cahaya Hati setelah bertahun-tahun menghindar. Juga bagaimana kemudian Ken menyadari bahwa semuanya ternyata tidak seburuk yang ia kira.

“Mungkin, gue juga bisa begitu?” tanya Mara, ragu.

Ken menatap Mara lekat. “Sejujurnya, gue juga nggak tahu soal itu, Mara,” ucap Ken. “Tapi yang jelas, gue nggak menyesal udah memutuskan buat datang lagi ke Cahaya Hati waktu itu. Malah gue bersyukur telah memutuskan datang lagi.”

Mara terdiam. Di benaknya terdapat berbagai hal yang tumpang tindih jadi satu.

“Dan apapun keputusan lo, gue akan mendukung. Apa pun itu,” tambah Ken. “Jadi jangan khawatir. Ikuti aja kata hati lo. Biasanya hati nggak pernah salah dalam saat-saat begini. Tapi kalaupun ternyata nanti salah atau terjadi sesuatu, lo tenang aja. Gue ada di sini.”

Ucapan Ken itu membuat Mara termangu selama beberapa saat. Kemudian, perlahan senyum kecil terukir di bibir Mara. Perlahan juga, Mara merasakan hatinya mulai menghangat. Mara lalu mengangguk pasti.

Mara sudah bisa membuat keputusan.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *