Yang Berjalan dan Yang Terbang: Ken dan Mara

ken dan mara

Sementara itu di Icarus sepeninggal Mara dan Kania, Ken langsung bertanya kepada kedua temannya.

“Mara kenapa, ya?”

Bagas dan Rendy yang duduk di depan Ken saling pandang, lalu mengangkat bahu. Ken sendiri berdiri di belakang mereka. Ketiganya sama-sama sedang mengotak-atik komputer ketika Ken melontarkan pertanyaan itu.

Bagas lalu berkata. “Di antara kita kan lo yang paling dekat sama Mara, Ken. Kalau lo aja nggak tahu, apalagi kita?”

“Nah itu dia masalahnya. Gue juga nggak tahu ada apa sebenarnya,” sahut Ken dengan nada frustasi. “Biasanya Mara apa-apa cerita sama gue. Tapi ini nggak ada cerita apa-apa, tahu-tahu dia begitu. Menghindari gue terus. Tiap gue mau tanya kenapa, dia udah kabur duluan.”

“Lo nggak sengaja bikin dia marah, kali.” Kali ini Rendy menyahut.

“Gue yakin banget kok, gue nggak ngelakuin apa-apa yang bikin dia marah,” sahut Ken. “Kita nggak habis berantem atau berdebat soal apapun. Tahu-tahu aja dia begitu.”

Bagas menggeleng mendengarnya. “Nggak mungkin tahu-tahu, Ken. Cewek itu pasti begitu ada alasannya. Cuma masalahnya, kita sebagai cowok nggak pernah tahu alasannya.”

“Karena itu cowok dibilang nggak peka,” sambung Rendy. Rendy dan Bagas kemudian terkekeh. Tapi raut wajah Ken masih tampak masam.

Rendy langsung berdehem menyadari situasinya. “Coba lo minta tolong Kania buat nanya ke Mara. Biasanya kalau sesama cewek kan lebih enak cerita-ceritanya.”

“Gimana kalau Kania juga sebenarnya tahu, tapi nggak mau kasih tahu Ken? Atau dipesan sama Mara buat nggak kasih tahu Ken?” Bagas tidak setuju dengan gagasan itu. “Cewek kan suka main rahasia-rahasiaan bareng.”

“Oh iya, ya?” sahut Rendy. Ia lalu membuka mesin pencari di komputer yang ada di hadapan mereka. “Coba kita cari di Google aja. Biasanya suka ada yang share soal beginian.”

Ken mengusap kepalanya yang tidak gatal. Merasa kedua temannya tidak banyak membantu. 

Tiba-tiba Bagas memutar bangkunya dan berbalik menghadap Ken. “Ngomong-ngomong Ken, lo suka sama Mara, kan?”

Ken mengerutkan kening mendengarkan pertanyaan mendadak itu. Sementara Rendy menyahut dengan nada enteng. “Kita semua tahu itu, kan?” ujar Rendy. Lalu menambahkan ketika menyadari sesuatu. “Yah, kecuali Mara.”

“Nah, itu maksud gue,” sahut Bagas. “Lo suka sama Mara, tapi nggak pernah bilang langsung sama dia. Lo selama ini cuma kode-kode doang macam anak pramuka.”

Ken mengusap-usap kepalanya. “Emang kenapa? Bukannya orang-orang juga begitu?”

“Ya itu kalau orang-orang. Ini kan lo, Ken. Lo yang biasanya all out, all or nothing,” ujar Bagas. “Tapi kayaknya kali ini ada yang menghambat lo buat begitu.”

Ken terdiam sejenak, kemudian menghela napas. “Karena gue nggak mau kalau nanti jadinya nothing.

“Hah?” Bagas dan Rendy saling pandang bingung.

“Selama ini kan gue emang begitu, all or nothing, iya atau enggak. Dan kalaupun ternyata hasilnya nothing atau enggak, gue bisa nerima terus lanjutin hidup lagi,” jelas Ken. Lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Tapi soal yang satu ini, soal Mara, gue nggak mau kalau hasilnya nothing. Karena itu gue nggak bilang dengan jelas ke dia selama gue belum tahu jelas juga gimana perasaan dia.”

Bagas dan Rendy saling pandang lagi. Rendy mengangguk-angguk mengerti. Sementara Bagas kemudian menatap Ken dengan pandangan seolah tak percaya. “Lo benar-benar suka sama Mara, ya?”

Ken meringis. “Emang selama ini lo kira enggak?”

“Bukan gitu juga. Cuma gue nggak nyangka aja ternyata lo sesuka itu,” sahut Bagas. Lalu bertanya lagi. “Terus menurut lo emang Mara belum suka sama lo? Makanya lo masih kode-kode doang?”

Ken mengangguk. “Kayaknya sih begitu. Mara kan kalau apa-apa kelihatan jelas dari raut mukanya.”

“Kalau begitu, kenapa lo nggak lihat aja dari raut mukanya sekarang dia kenapa?” tanya Bagas lagi. Kembali ke pembahasan awal soal kebingungan Ken akan perubahan sikap Mara.

“Nah, itu dia masalahnya. Kali ini nggak tahu kenapa raut mukanya Mara susah ditebak,” keluh Ken. “Gue benar-benar nggak bisa baca dia kenapa.”

“Mungkin lo sebaiknya nggak terus mengandalkan kemampuan baca raut mukanya Mara,” ujar Bagas. “Maksud gue, lo mungkin nggak selamanya benar soal itu, kan? Apalagi cewek kan emang suka susah ditebak.”

Rendy mengangguk-angguk membenarkan. Rendy lalu teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya dan bertanya pada Ken.

“Ken, maksud lo nothing itu lo takut ditolak? Atau takut nggak bisa berteman kayak dulu lagi sama Mara?” tanya Rendy. Ia buru-buru menambahkan. “Maksud gue, mungkin gue bisa paham kalau ternyata masalahnya itu. Lo pada tahu lah, gue juga kan mengalami hal itu.”

Ken terdiam sejenak. Lalu menjawab dengan nada lesu. “Dua-duanya. Gue takut Mara ternyata nggak suka sama gue. Dan gue juga takut kita nggak bisa berteman dekat kayak sebelumnya,” ujar Ken. Apalagi karena Ken juga tahu kalau tidak mudah untuk Mara membuka hati dan berteman dekat dengan orang lain, karena luka di dalam dirinya.

“Tapi sebenarnya lo kan nggak benar-benar murni berteman doang sama Mara, Ken. Siapa yang berteman kayak begitu, coba?” Kini Bagas menyahut. “Lo juga pasti anggap Mara lebih dari teman.”

Ken sudah mau menyahut, tapi keduluan oleh Rendy. “Nah, itu maksud gue. Itu mungkin bukan alasan tepat, karena sebenarnya toh lo juga nggak murni berteman sama Mara. Kalian nggak benar-benar berteman, tapi nggak pacaran juga. Keadaan kalian itu nggak jelas.”

Ken mengangkat alis, merasa ada yang janggal dari ucapan Rendy. Bagas merasa hal yang sama. Rendy kan juga begitu dengan Kania, bertahun-tahun malah dari jaman kuliah.

“Oke, gue tahu lo nggak mau dengar hal ini dari gue.” Rendy mengerti arti tatapan kedua temannya itu, meringis. “Tapi karena itulah, karena gue udah mengalaminya, makanya gue bilang gitu. Selama ini juga alasan atas nama pertemanan yang menghambat gue buat jujur sama Kania. Karena gue takut nggak bisa berteman lagi sama dia.”

Ken dan Bagas saling pandang. Tidak menyangka Rendy akan jujur soal ini pada mereka. Selama ini mereka hanya dapat menangkap dari sikap Rendy saja, tapi Rendy tidak pernah bercerita langsung.

“Tapi benar kata Bagas, toh gue juga nggak benar-benar berteman sama Kania. Gue nggak bisa anggap dia cuma sekadar teman. Lalu gue sadar mungkin itu bukan alasan yang sebenarnya. Gue cuma takut, intinya cuma itu. Terus gue mencarikan objek untuk takut gue itu, yaitu pertemanan.” Rendy menjeda ucapannya, menghela napas. “Gue juga selalu beralasan menunggu waktu yang tepat. Tapi kemudian gue sadar kalau selama ini gue cuma buang-buang waktu.”

Ken tertegun mendengarnya. Mungkinkah ia juga ternyata begitu? Membuang-buang waktu?

“Tapi kan kalau Kania jelas suka sama lo juga, Ren,” sahut Bagas. “Nah, kalau Mara kan nggak ketahuan gimana. Jadi wajar kalau Ken banyak mikir dan takut macam-macam.”

Rendy menggeleng. “Gue nggak tahu soal itu, Gas.”

“Hah? Serius?” Bagas dan Ken berseru kaget. Sama sekali tidak menyangka dengan jawaban Rendy. Rendy mengangguk pendek.

“Ya, gimana gue bisa tahu kalau gue nggak nanya dan dia nggak bilang? Lo berdua juga nggak pernah bilang apa-apa soal itu. Gue cuma bisa nebak-nebak, kadang gue ngerasa dia suka sama gue juga, kadang gue ngerasa dia benar-benar cuma anggap gue teman.”

Bagas dan Ken saling pandang lagi. Ken mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal, sementara Bagas bertanya pada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat. “Emang kita nggak pernah bilang apa-apa, ya? Padahal Kania kelihatan jelas banget suka sama lo.”

“Kadang hal-hal itu malah nggak terlihat sama orang yang terlibat. Karena tertutup oleh perasaan kita sendiri,” sahut Rendy. 

Mendengar hal itu, Bagas lantas berkata pada Ken. “Benar juga, Ken. Masih ada peluang Mara juga suka sama lo. Lagian di pelajaran Matematika dulu kan dibilang, selama belum pasti satu atau nol berarti masih ada peluang. Selama masih belum pasti iya atau enggak, masih ada harapan.”

“Iya, ya?” Raut wajah Ken tampak sedikit cerah.

Bagas mengangguk. “Lagian lo tenang aja, Ken. Gue rasa kalaupun Mara nggak suka sama lo, dia nggak akan nolak lo mentah-mentah. Mara kan anaknya baik, pasti dia nolak lo juga baik-baik. Meski mungkin bakal to the point. Tapi itu lebih baik daripada kasih harapan palsu, kan? Mara juga pasti akan tetap berusaha untuk berteman dengan baik sama lo.”

Sontak saja Ken senewen mendengarnya. “Lo sebenarnya mau nguatin atau ngejatuhin gue, sih?”

Bagas terkekeh. “Gue kan cuma menyampaikan pendapat berdasarkan prediksi dan fakta.”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *