Yang Berjalan dan Yang Terbang: Icarus

icarus

Bagian 3 | ICARUSProject Icarus yang diberi nama project “Si Otong” itu pun berjalan dengan lancar.

Mara menyelesaikan naskahnya tepat waktu, kunjungannya dengan Ken ke Cahaya Hati waktu itu sangat membantu. Proses pencarian talent juga berjalan lebih lancar dari biasanya, mereka meminta bantuan pada anak-anak di Cahaya Hati termasuk untuk casting peran si Otong. Dan untungnya, kali ini tidak ada kendala tak terduga seperti pada project mereka sebelumnya. Film mereka itu pun sudah tinggal editing saja.

Dan Ken sudah kembali seperti biasa. Tidak lagi berwajah keruh atau diam saja seperti sedang memikirkan sesuatu. Ken sudah kembali antusias, easygoing, dan friendly pada siapa saja. Mara merasa lega melihatnya. Ken memang belum datang ke Cahaya Hati lagi seusai shooting mereka, tapi kali ini benar-benar karena kesibukannya. Bukan karena ingin menghindari lagi.

Kalaupun ada yang berbeda, Mara merasa Ken sekarang lebih bawel padanya. Terutama soal makan. Setiap waktu makan Ken selalu muncul. Entah itu mengajak Mara makan bersama, atau setidaknya mengingatkan gadis itu agar tidak lupa makan. Di pertemuan Icarus pun Ken ribut sendiri membelikan makanan ini itu untuk Mara. Mara lama-lama kesal sendiri dan protes pada Ken soal itu.

“Kan lo sendiri yang bilang kalau gue bisa ngurus lo,” sahut Ken enteng. “Hal paling dasar dalam mengurus orang adalah memastikannya selalu makan dengan baik. Makan yang baik kan membantu kita melakukan hal-hal dengan baik juga, dan lancar.”

Mata Mara membesar. Jadi itu alasan Ken? “Tapi kan Ken—”

“Apa nih ngurus-ngurus?” tanya Kania memotong ucapan Mara. Ia bersama Bagas baru memasuki Icarus, dan kebetulan mendengar percakapan itu. Rendy tidak terlihat di situ, sedang menerima telepon.

Ken menunjuk Mara. “Ini, Mara. Katanya gue boleh ngurus dia. Jadi ya gue selalu pastiin Mara makan dengan baik dan semuanya lancar nggak ada masalah.”

“Bukan gitu maksud gue. Waktu itu gue kebawa suasana aja ngomong begitu.” Mara membela diri. Tapi nampaknya hal itu tidak dipedulikan Kania dan Bagas, keduanya sudah menatapnya sambil tersenyum-senyum penuh arti.

“Wah, ini nggak adil. Lo kan lebih dulu kenal kita daripada Ken, Ra. Masa udah bolehin Ken sampai ngurus-ngurus lo segala?” Bagas berlagak protes.

“Bukannya gitu. Bukan ngurus begitu maksudnya, bukan dalam arti macam-macam.” Mara berusaha membela diri sekali lagi. “Jadi waktu itu Ken bilang kalau dia punya adik pasti bisa jadi kakak yang baik karena pintar ngurus orang. Terus gue bilang kalau gue anak tunggal, terus—” ucapan Mara terhenti melihat Bagas dan Kania hanya mengangguk-angguk sekenanya, jelas-jelas tidak tertarik dengan pembelaan diri Mara.

“Intinya lo ngasih ijin Ken buat ngurusin lo, atau semacamnya,” sahut Kania, masih dengan senyumnya yang penuh arti. “Berarti kalian udah sedekat itu, dong.”

Bagas menjentikkan jarinya. “Nah, itu maksud gue! Mara lebih dekat sama Ken daripada sama kita. Padahal kan kita ketemu Mara lebih dulu dari Ken.”

Ken merangkul Mara dengan satu gerakan enteng. “Itu berarti gue bisa lebih cepat mengerti Mara dibanding kalian. Waktu nggak ngaruh. Waktu kan, cuma bisa berjalan,” seloroh Ken, mengutip ucapan Mara tempo hari sambil mengedipkan sebelah matanya pada gadis itu.

Mara berdecak kesal. Ia menurunkan tangan Ken dari bahunya dengan gerakan cepat. “Dasar playboy material.

“Wah, Mara bahkan udah berani ngatain Ken!” seru Bagas takjub. Kania hanya terkekeh geli.

Sementara Ken protes. “Gue kan begini ke lo doang, Mara!”

Mara memutar matanya, malas mendengarkan lagi apa yang diucapkan Ken selanjutnya. Ken terus berbicara bahwa ia sungguh-sungguh tidak melakukan hal itu pada semua orang, dan semacamnya. Bagas dan Kania masih terkikik geli, melihat Ken yang terus berbicara namun Mara tampak tak peduli. Keributan itu baru berakhir ketika Rendy datang.

Guys, gue mau ngomong sesuatu,” ujar Rendy dengan nada serius. Sontak saja mereka semua langsung terdiam. Perhatian terpusat pada Rendy yang sudah duduk di atas kursi komputer yang ia tarik dari depan meja tempat mereka biasa melakukan editing.

“Ada apa, Ren?” tanya Kania akhirnya, memecah suasana yang tiba-tiba menjadi hening itu. 

Rendy tidak langsung menjawab. Ia mengusap-usap dagunya seperti sedang menimbang sesuatu. Hal itu tentu saja membuat anggota Icarus lainnya menjadi cemas.

“Kenapa, Ren? Lo bikin deg-degan aja. Lo bukan mau bubarin Icarus, kan?” Bagas bertanya dengan was-was. Melontarkan hal yang paling ditakutinya saat ini.

Pertanyaan Bagas itu tentu saja membuat yang lainnya kaget dan was-was juga. Mereka langsung menatap Rendy meminta penjelasan, yang segera disambut dengan gelengan kepala oleh leader Icarus itu.

“Nggak, nggak. Bukan itu,” sahut Rendy. “Seperti yang kalian tahu, Icarus sampai saat ini kan belum bisa balik modal. Apalagi dapat untung. Dana yang masuk dari YouTube masih terus diputar buat operasional kita.”

“Kita defisit buat operasional, Ren?” tanya Kania lagi dengan nada khawatir.

“Defisit sih enggak, cuma ya ngepas banget,” jawab Rendy.

“Bukannya selama ini dana kita emang ngepas terus?” Kini Ken bertanya bingung, tidak mengerti di mana duduk perkaranya.

“Iya, gue tahu. Dan bukan itu sebenarnya masalahnya. Gue juga nggak tahu ini masalah atau bukan, sih.” Rendy menatap para anggotanya itu. “Cuma mungkin ini akan jadi hal yang sensitif buat kita. Buat Icarus.”

“Jadi ada apa sebenarnya, Rendy?” tanya Bagas tidak sabar.

Rendy menghela napas, kemudian menuturkan apa yang ingin diucapkannya dengan hati-hati. “Tadi gue dapat telepon dari High Teen. Lo pada tahu High Teen, kan? Perusahaan kosmetik yang target utamanya remaja.”

Mereka semua mengangguk.

“Nah, High Teen ini ternyata lihat film-film kita di YouTube dan menganggap karya kita bagus. Terus mereka mau invest di Icarus. Bentuknya bisa iklan, atau bahkan biayain produksi penuh.”

Mereka saling pandang. Apa yang diucapkan Rendy barusan adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak mereka sebelumnya. Dan saat Rendy merasa ragu untuk mengatakan soal ini, pasti ada alasannya.

“Tapi?” pancing Ken. “Ada tapinya, kan?”

Rendy menghela napas lagi. “Ya, emang ada tapinya. Mereka mau buat film tema remaja, dan niatnya mereka mau ngajak kita kerjasama. Cuma ya itu, film remaja yang ingin mereka buat nggak kayak film-film remaja yang pernah kita buat. Meski pernah ngangkat soal remaja, tapi tema film Icarus kan lebih ke hal-hal yang realistis. Sedangkan High Teen maunya film itu ya sejalan dengan pesan produk mereka, untuk remaja yang ceria.”

“Jadi semacam drama? Kisah cinta anak remaja, gitu?” Mara kini angkat suara.

Rendy mengangguk. Para anggota Icarus yang lain tidak langsung menyahut, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Keadaan hening untuk beberapa saat.

“Tapi kan bukan film semacam itu yang ingin kita buat, Ren.” Kania akhirnya mengutarakan pendapatnya. 

“Gue tahu. Makanya gue bilang ini hal yang sensitif,” sahut Rendy. Wajahnya tampak gusar. “Jadi gue mau tahu gimana pendapat kalian.”

“Gue nggak setuju,” ujar Kania cepat. “Alasannya udah gue bilang tadi. Temanya nggak sejalan sama Icarus.”

Rendy mengangguk. “Oke, satu nggak setuju. Gimana yang lain?”

“Kalau menurut gue, itu nggak masalah.” Bagas angkat bicara. “Selain soal dana, ini juga bisa jadi kesempatan biar nama Icarus lebih dikenal. Bikin project untuk brand besar kayak High Teen pasti bakal membuka kesempatan-kesempatan lain buat Icarus.”

“Meskipun nggak sejalan sama nilai-nilai yang kita pegang selama ini?” sanggah Kania.

Detour sebentar menurut gue nggak masalah. Kita bisa kembali bikin film sesuai dengan yang kita mau kalau udah sukses nanti,” sahut Bagas tak mau kalah.

“Selalu itu yang dibilang orang-orang, kan? Nunggu sukses dulu, baru ini baru itu. Gimana kalau ternyata kalau udah sukses pun kita lupa kembali? Gimana kalau kita malah keasyikan detour?”

Bagas terdiam dicecar berbagai pertanyaan oleh Kania. Ia mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal, lalu menoleh pada Rendy meminta pertolongan.

“Bukan begitu maksud Bagas, Ya,” ujar Rendy. Rendy tahu betul kalau Kania sangat memegang prinsipnya soal ini. “Dan menurut gue, nggak ada yang salah dengan ingin sukses, kan? Kalau kita bisa sukses dengan melakukan hal yang kita inginkan, kenapa enggak?”

“Tapi emang itu yang kita inginkan? Bikin film yang nggak kita inginkan dan nggak sesuai sama niat awal kita di Icarus?” sergah Kania lagi.

“Nggak begitu juga, Ya,” sahut Rendy, kali ini nada suaranya terdengar agak frustasi. “Kenapa lo harus mengartikan semuanya dengan sinis begitu, sih?”

“Abis itu yang gue tangkap dari omongan lo, Ren. Emangnya kita ngejalanin Icarus ini karena pengen sukses? Kalau emang begitu, ngapain kita capek-capek bikin film sambil tetap punya kerjaan lain juga?” seru Kania. Wajahnya terlihat kesal. 

“Nggak, lo nggak ngerti, Ya. Kita emang bikin Icarus bukan karena pengen sukses, tapi bagus juga kalau ternyata kita bisa sukses dengan Icarus. Itu maksud gue.” Suara Rendy mulai meninggi. “Kita pasti ingin karya kita dilihat dan diakui banyak orang. Sebagai pembuktian diri juga.”

“Pembuktian diri ke siapa?” tanya Kania.

“Ke orang-orang yang penting buat kita!” seru Rendy.

Sementara itu, Bagas yang tadi meminta tolong mulai merasa kalau Rendy bukannya membantu. Tapi malah memperparah keadaan. Bagas jadi merasa bersalah karena ia yang memicu pertengkaran keduanya secara tidak langsung. Ia lalu menoleh pada Ken dan Mara, yang hanya bengong memperhatikan keadaan.

Tapi kemudian Ken mengambil alih. “Oke, oke. Debat selesai. Kita hold dulu berantemnya,” ujar Ken dengan suara yang dibuatnya seenteng mungkin. Ia buru-buru melanjutkan sebelum Kania dan Rendy melancarkan protes atau semacamnya. “Jadi suara saat ini; Kania nggak setuju, Rendy dan Bagas setuju. Benar begitu?”

Kania dan Rendy saling pandang sesaat, kemudian memalingkan wajah mereka. Keduanya lalu mengangguk pelan. Begitu juga dengan Bagas.

“Oke. Dua banding satu, ya.” Ken bersuara lagi. “Eh, dua banding dua, deh. Gue juga nggak setuju. Alasannya kurang lebih sama kayak Kania,” ujar Ken dengan lebih hati-hati.

Mereka semua – Kania, Rendy, Bagas, dan Mara – memandang Ken.

“Intinya, gue rasa kita harus ingat niat awal kita bikin Icarus. Perasaan awal yang kita rasakan saat pertama kali Icarus berdiri,” ujar Ken. “Tapi gue juga nggak mau panjang-panjangin lagi. Kalian pasti tahu maksud gue.”

Mereka semua terdiam.

Ken lalu memandang Mara. “Nah, sekarang tinggal pendapat Mara. Ini kita ambil voting aja biar adil, ya?” tanya Ken, yang disambut anggukan yang lain. Ken kembali berkata pada Mara. “Jadi, suara lo akan menentukan keputusan kali ini, Ra.”

Mara terdiam. Sejujurnya, Mara bingung apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, Mara setuju dengan ucapan Kania dan Ken, tentang nilai-nilai Icarus yang mereka bicarakan. Tapi di sisi lain, Mara juga melihat bahwa argumen Rendy dan Bagas tidak salah juga.

Mara akhirnya bertanya. “Apa gue harus jawab sekarang?”

Ken mengalihkan pertanyaan itu pada Rendy. “Gimana, Ren? High Teen minta jawaban kita kapan?”

“Mereka nunggu sampai minggu depan, sih,” jawab Rendy. 

Ken mengangguk-angguk. “Oke, lo bisa ngasih jawaban paling lambat lima hari dari sekarang. Begitu aja gimana? Ada yang keberatan, atau pengen disampaikan lagi?”

Mereka semua menggeleng. Pertemuan itu pun bubar. Rendy dan Kania yang terlebih dahulu beranjak dari situ. Kania langsung pulang ke kosannya, sedangkan Rendy mengurung diri di kamarnya.

Sedangkan yang masih berada di tempat, menghembuskan napas berat yang ditahan sepanjang pembicaraan itu. Terutama Bagas.

“Gue jadi ngerasa udah menyulut perang dunia ketiga,” ujar Bagas sambil mengelus dadanya. Ia lalu berkata pada Mara. “Ini pertama kalinya lo lihat mereka berantem ya, Ra?”

Mara mengangguk pendek. Ia memang cukup kaget tadi, tidak menyangka kalau Rendy dan Kania yang selama ini dilihatnya akur-akur saja bisa bertengkar sehebat itu.

“Ini sih belum apa-apa, Ra. Dulu pernah parah banget berantemnya sampai sekampus tahu,” ujar Ken. “Mereka sama-sama keras, sih.”

Mara mengangguk lagi. Mara tidak begitu kaget kalau Rendy memang memiliki watak yang cukup keras dan tegas. Tapi Mara tidak menyangka kalau Kania yang selama ini terlihat lumayan easygoing dan cukup santai itu ternyata bisa keras juga.

“Itulah kenapa mereka nggak jadian-jadian, padahal sama-sama suka.” Bagas menyahuti ucapan Ken. Meski tidak sepenuhnya nyambung dengan ucapannya tadi, Ken mengangguk setuju apa kata Bagas.

Sementara itu, Mara sekarang jadi semakin bingung tentang apa yang harus diputuskannya.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *