Yang Berjalan dan Yang Terbang: Mara

mara

Bagian 2 | MARA – Mara merupakan anak tunggal dan kedua orang tuanya bekerja. Dari kecil Mara sering ditinggal-tinggal dan dititipkan pada saudara atau tetangga.

Mara tidak suka sepi dan sendiri, jadi dia senang berada bersama orang-orang. Berada dalam sebuah kelompok. Dan sampai di bangku SMA, Mara sebenarnya masih suka berbicara dengan orang lain apa adanya tanpa menyembunyikan berusaha dirinya yang asli.

Namun pada tahun terakhirnya di SMA, Mara dijauhi oleh teman terdekatnya. Menurut teman terdekat Mara itu, Mara terlalu blak-blakan dalam berbicara dan sering membuat orang tersinggung ucapan lugasnya. Kejadian itu benar-benar membuat Mara terpukul. Mara tidak menyangka kalau teman-teman yang selama ini Mara pikir mengerti dirinya dan Mara benar-benar menyukai saat bersama mereka, ternyata menyimpan perasaan sakit hati saat bersamanya. 

Sejak saat itu, Mara pun mulai membatasi diri dan menjaga jarak dari orang lain. Berusaha sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan ucapan-ucapan lugasnya dan menahan agar ucapan-ucapan itu tetap berada di dalam kepalanya saja. Sejak saat itu juga, Mara mengalihkan rasa kesepiannya dengan menonton berbagai macam film. Film menjadi teman yang menemani kesendiriannya, membuat Mara mulai ingin membuat film yang dapat menemani orang lain yang mengalami hal sama dengannya.

Dan sampai sekarang pun sebenarnya Mara masih suka berada bersama orang-orang, berada dalam sebuah kelompok. Mara masih senang melihat orang-orang mengobrol mengenai berbagai hal, melihat mereka menertawakan hal-hal kecil yang konyol. Namun bedanya, kini Mara hanya melihat saja tanpa masuk ke dalam percakapan itu. Mara merasa tenggelam dalam percakapan akan membuatnya lengah dan dirinya menjadi nyaman, sehingga ia tidak bisa lagi menahan untuk mengucapkan pikiran-pikiran dalam kepalanya.

Seperti halnya di Icarus. Mara sering memperhatikan bagaimana anggota lainnya mengobrol, tapi ia sendiri tidak ikut bergabung dan hanya berbicara jika seputar pekerjaan Icarus saja. Mara tahu kalau Rendy dan Kania adalah teman satu kampus, dan Mara dapat menangkap kalau sepertinya ada sesuatu di antara mereka berdua. Mara juga tahu kalau Bagas selalu mengeluh tidak punya pacar, tapi pemuda itu tampaknya lebih sering bertemu dengan gadis-gadis anime daripada gadis sungguhan. Dan banyak hal-hal lain yang Mara tahu, yang merupakan hasil pengamatannya selama tiga bulan bergabung dalam Icarus.

Dan selama ini, Mara merasa tidak masalah dengan semua itu. Mara merasa cukup senang bisa melakukan hal yang ia suka, sekaligus tergabung dalam kelompok yang menyukai hal sama dengannya. Mara juga merasa cukup senang hanya dengan mengamati mereka tanpa terlibat langsung dalam percakapan-percakapan yang sepertinya seru itu. Mara merasa cukup hanya dengan melihat, karena bagaimanapun juga ia harus tetap menjaga jarak dari orang lain.

Sampai kemudian Ken datang dan pelan-pelan menembus pertahanan Mara. Ken yang bukan hanya mengamati percakapan, namun masuk di dalamnya dengan baik dan natural. Ken yang sering sengaja membuat Rendy dan Kania melakukan sesuatu berdua, membantu agar ada kemajuan di antara keduanya. Ken yang suka membahas anime dengan Bagas. Ken yang berbanding terbalik dengan Mara. Ken yang dapat melihat bagaimana Mara yang sesungguhnya.

Perlahan, Mara pun berpikir kalau mungkin tidak apa-apa menunjukkan dirinya yang sebenarnya pada Ken. Mara mulai menyahuti ucapan-ucapan Ken dengan baik, tidak hanya satu dua kata saja seperti sebelumnya. Percakapan di antara mereka pun berjalan lancar dan bukan hanya membicarakan soal Icarus saja tentunya. Mara sudah mulai merasa nyaman untuk membicarakan hal-hal kecil dengan Ken, seperti apa yang terjadi di perjalanan ke kantor, makan siang dengan menu yang unik, dan semacamnya. Mara juga mulai membicarakan hal-hal yang selama ini tidak banyak diceritakan pada orang lain.

“Jadi lo udah nulis dari SD? Mantap, mantap!” seru Ken dengan mata berbinar kagum. “Pantas tulisan naskah lo bagus-bagus, kayak orang yang emang udah biasa nulis.”

Mara mengusap tengkuknya kikuk. Tadi saat Ken bertanya Mara menulis sejak kapan, awalnya ia ragu untuk bilang. Mara khawatir ia akan mendengar komentar-komentar seperti: “Nulis selama itu tapi kok nggak pernah nerbitin buku?”, “Orang-orang biasanya udah jadi penulis terkenal kalau mulai dari kecil,” dan semacamnya. 

Tapi sepertinya Mara berpikir terlalu berlebihan. Atau mungkin itu sebenarnya adalah suara-suara kritik dalam dirinya untuk dirinya sendiri.

“Siapa yang nulis dari SD?” suara Kania tiba-tiba terdengar. Mara menoleh dan mendapati Kania yang baru datang itu menghampiri mereka.

Ken langsung menunjuk Mara. “Mara. Keren, kan?”

“Wah, serius lo, Ra? Lo nulis apa jaman SD?” tanya Kania dengan raut wajah penasaran bercampur takjub. “Gila, nggak kebayang gue pas SD buat nulis-nulis selain nyalin pelajaran sekolah.”

“Nulis cerpen. Ya, cerita anak-anak gitu,” sahut Mara malu-malu.

“Cerita anak kayak apa?” Kini Rendy juga sudah ikut nimbrung dalam percakapan itu.

Mara mencoba mengingat-ingat. “Mmm, kalau nggak salah tentang jangan menyisakan nasi, makan harus habis. Semacam itulah.”

“Hah, serius lo nulis begitu? Gue kira dulu cerita-cerita begitu yang nulis orang gede,” sahut Bagas dari meja komputer yang tak jauh dari tempat mereka duduk berkumpul. Bagas ternyata mendengarkan pembicaraan itu sambil mengotak-atik video editan kemarin. Pemuda itu lalu melanjutkan dengan nada tak percaya. “Gue pas SD malah nggak bisa baca novel, bacanya komik terus atau cerita apa pun yang ada harus ada gambarnya.”

“Itu sih sampai sekarang juga lo begitu, Gas,” seloroh Kania, membuat yang lain tertawa. Kecuali Mara, tentu saja. Gadis itu menahan senyum kecil.

“Lo masih simpan cerita-cerita lo jaman SD itu nggak, Ra? Gue jadi pengen baca,” ujar Ken kemudian. Mara menggeleng. “Udah nggak tahu di mana. Jaman dulu kan gue nulisnya di kertas folio gitu atau di buku, belum punya komputer. Paling pernah dipajang di mading sekolah, itu juga nggak tahu di mana sekarang kan.”

“Cerita lo cukup bagus dong kalau sampai dipajang di mading,” komentar Rendy.

“Kalau nggak salah itu karena gue menang lomba cerpen,” sahut Mara pendek dan dengan nada datar. Tapi tak disangkanya, ucapannya itu kemudian disambut dengan suara-suara heboh para anggota Icarus itu.

“Hah, serius menang lomba?” Kania.

“Gue yakin cuma lo yang nulis cerpen kayak orang gede waktu itu. Anak-anak lain biasanya cuma nulis cerita pengalaman liburan di rumah Kakek.” Bagas.

“Lo udah bakat nulis dari kecil ya, Mara.” Rendy.

“Mara, gue benar-benar mau baca cerita lo! Nggak yang dulu juga nggak apa-apa, yang lo ada sekarang aja. Boleh, ya? Ya? Please?” Ken, dengan wajah dibuat memelas.

 Mara melongo melihat respon heboh dan antusias dari mereka semua itu. Ini mereka tertular virus antusiasnya Ken atau bagaimana? Tapi pada detik selanjutnya, Mara tertawa kecil. Geli menyaksikan mereka.

Kini giliran mereka – Ken, Rendy, Kania, Bagas – yang melongo.

“Wah, gue baru pertama kali lihat Mara ketawa,” ujar Bagas, seolah mewakili yang lain. Yang lain mengangguk-angguk setuju. 

Mara lalu berdehem kikuk dan mengusap-usap tengkuknya salah tingkah. Mara pun buru-buru mengalihkan topik pembicaraan agar mereka tidak perlu membahas hal itu lagi. Mara beralih pada Rendy, bertanya. “Ren, jadinya kita mau pakai ide yang mana buat film selanjutnya?”

Mereka pun tersenyum geli melihat hal itu, tahu kalau Mara mulai jengah. Akhirnya Rendy mengambil alih pembicaraan, membahas hal yang diagendakan untuk pertemuan Icarus hari ini. “Gue pribadi sih lebih senang sama ide kedua, yang tentang cerita si Otong. Kita bisa angkat persoalan anak terlantar, pendidikan, sama ekonomi sekaligus.”

Bagas dan Kania mengangguk-angguk setuju. Mara juga setuju dengan ide itu, yang menurutnya adalah ide terbaik di antara ide-ide yang diajukan dan mereka bahas sebelumnya. Cerita si Otong mengulas tentang anak yatim piatu yang berjuang dengan keterbatasannya, terutama untuk belajar dan mendapat penghidupan yang layak.

Rendy lalu beralih pada Ken, bertanya dengan nada yang lebih hati-hati. “Lo gimana, Ken?”

Ken tidak menyahut. Ia menunduk sambil mengotak-atik sesuatu di ponselnya. Melihat hal itu, Mara bingung. Mara merasa pertanyaan Rendy bukan pertanyaan yang sulit dijawab, tapi mengapa Mara melihat seperti ada sesuatu yang mengganggu di wajah Ken? Ini pertama kalinya Mara melihat raut wajah seperti itu pada wajah Ken, karena biasanya pemuda itu selalu tampak ceria.

“Kalau lo keberatan, kita nggak akan pakai ide ini. Kita pakai ide yang lain,” ujar Rendy lagi, masih dengan nada hati-hati. Mara semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi sepertinya hanya Mara yang tidak mengerti, karena ia melihat Kania dan Bagas memasang raut wajah yang senada dengan Rendy.

 Ken lalu menjulurkan ponselnya pada Rendy, menunjukkan sesuatu pada layar ponselnya. “Ini panti asuhan gue yang waktu itu pernah gue ceritain. Gue udah bilang ke kepala panti buat shooting di sana, dan dia udah oke,” ujar Ken. Mara bisa melihat pemuda itu lalu mengulas senyumnya yang biasa. “Gue nggak keberatan kok, Ren. Gue juga oke sama ide ini.”

Panti asuhan? Mara menatap Ken dan Rendy bergantian.

“Lo yakin?” Rendy memastikan.

Ken mengangguk. “Yakin.”

Mara semakin bingung. Sebenarnya ada apa ini?

Rendy lalu mengambil ponsel Ken, mengamati layarnya sambil mengangguk-angguk. “Oke, berarti kita udah dapat lokasinya. Tinggal prepare yang lain. Mara, lo bisa jadiin latar tempat itu buat jadi bahan di naskah. Ken nanti tolong kirim fotonya ke Mara.”

Kini Ken menoleh pada Mara. “Gue juga bisa antar lo ke panti asuhan itu kalau lo mau, Mara. Lebih bagus lihat langsung, kan? Biar setting-nya lebih pas.”

Rendy, Kania, dan Bagas saling pandang. Bagas buru-buru memotong sebelum Mara menyahuti ucapan Ken barusan. “Nggak harus lo, Ken. Sama gue juga bisa kalau cuma buat cek lokasi doang, sih.”

Ken tersenyum. “Nggak ada orang yang lebih kenal tempat itu dibanding gue, kan?”

Bagas terdiam, melemparkan pandangan penuh arti lagi pada Rendy dan Kania. Mara masih menatap mereka bingung. Menyadari kebingungan Mara, Ken pun menjelaskan. “Itu panti asuhan gue, Ra. Gue tumbuh besar di sana.”

Mara ternganga. Yang didengarnya barusan adalah hal paling mustahil yang pernah ia pikirkan tentang Ken. Ken tinggal di panti asuhan? Berarti Ken yatim piatu? 

Tapi… 

Lalu… 

Jadi…

Mara tidak bisa berkata-kata. Susunan kalimat di kepalanya menjadi sangat berantakan. Mara tidak tahu apa yang harus ia pikirkan sekarang. 

“Oke, jadi kapan lo bisa ke sana, Ra? Gue nanti tinggal sesuaikan sama waktu lo bisanya kapan.” Suara Ken terdengar lagi, namun seperti samar-samar masuk ke telinga Mara. Mara bahkan tidak menyadari kalau ia sudah mengangguk pelan tanpa menjawab pertanyaan Ken itu.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *