Yang Berjalan dan Yang Terbang: Mara

mara

Awalnya Ken merasa kembali ragu saat melihat plang bertuliskan “Panti Asuhan Cahaya Hati” yang sudah berbeda dari terakhir diingatnya itu. Tiba-tiba saja Ken merasa gugup, khawatir, dan cemas akan sesuatu yang tidak dipahaminya. Entah apa. Yang jelas napasnya jadi semakin cepat dan tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin.

Mara tetap di situ, berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya menunggu Ken dengan tenang tanpa suara. Tanpa bertanya apa-apa juga. Mara membiarkan Ken menggunakan waktunya tanpa tergesa untuk memutuskan apa pun itu. Seolah apa pun yang akan Ken lakukan, Mara akan bisa menerima dan memahaminya.

Hal itu membuat Ken lega. Setidaknya, ia tidak sendiri.

Akhirnya Ken pun memasuki Cahaya Hati, Ken biasa menyebut tempat ini begitu dulu, diikuti Mara yang berjalan di sampingnya. Mereka bertemu dengan pengurus panti yang dulu mengasuh Ken, seorang wanita paruh baya dengan wajah teduh yang Ken panggil Ibu Sri. Ibu Sri sampai terharu melihat Ken akhirnya datang ke sini lagi. Beliau merasa takjub, dan lagi-lagi terharu juga, melihat Ken sudah sebesar ini. 

Ibu Sri lalu menceritakan bagaimana Ken dulu, Ken yang patuh dan selalu menuruti kata para pengurus panti. Ken yang sering mengajak anak-anak lain bermain dan selalu bisa meramaikan suasana jadi lebih menyenangkan. Ken yang selalu mengurus anak-anak lain, terutama mereka yang lebih muda darinya.

Ken yang mendengar cerita itu hanya bisa mengusap pelipisnya kikuk, tidak ingat akan hal itu.

“Gue rasa lo emang udah dasarnya senang ngomong dari dulu, Ken,” komentar Mara.

“Oh, memang, memang. Ken ini senang sekali ngomong, sampai kadang diprotes karena terlalu berisik dan bawel,” sahut Ibu Sri, menyahuti ucapan Mara. Mara menahan tawa mendengarnya, mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Kadang Ken memang bisa sangat bawel dan berisik.

“Tapi justru itulah yang membuat suasana di sini semakin hidup. Beberapa minggu setelah Ken pindah ke asrama, Cahaya Hati jadi terasa sepi sekali. Ken juga sangat sibuk sampai nggak sempat datang ke sini lagi,” tambah Ibu Sri. 

Ken dan Mara berpandangan. Ken lalu menatap pengurus panti itu dengan raut wajah menyesal. “Maaf, Bu.”

Ibu Sri menggeleng cepat. “Enggak, nggak apa-apa, Ken. Ibu senang kamu datang ke sini sekarang. Ibu juga senang kamu sudah sukses, kamu hidup dengan baik.”

Setelah berbincang sebentar dengan pengurus panti itu, Ken dan Mara pun melihat-lihat seisi Cahaya Hati. Ken menyadari kalau banyak hal yang berubah dibanding dengan yang ada dalam ingatannya. Dari mulai bangunannya, tanaman-tanaman di halaman belakang, sampai pengurus-pengurus yang baru. Namun ada juga bagian-bagian yang masih dipertahankan, seperti perpustakaan mini yang ada di sudut Cahaya Hati ini.

“Wah, gue nggak nyangka ini masih ada,” ujar Ken. Tangannya menelusuri rak-rak buku yang tampak familiar di matanya. Matanya lalu menemukan sebuah buku yang sering dibacanya dulu. “Oh, ini juga masih ada!”

Mara mendekat dan melihat judul buku yang dipegang Ken. Dongeng tentang Icarus. Mara menatap Ken dan buku itu bergantian. “Jangan bilang kalau nama Icarus itu terinspirasi dari buku ini?”

Ken mengangguk cepat. “Dulu gue sering banget baca buku ini sampai hafal isinya. Nggak mungkin kan Bagas atau Kania yang baca buku semacam ini?”

Mara mengangkat alis, mengira-ngira kemungkinan itu. Lalu meringis membenarkan. “Kalau Rendy masih mungkin.”

“Rendy juga jadi naksir sama cerita Icarus pas gue kasih tahu buku ini. Jadi pas gue usulin nama Icarus buat klub kita, dia langsung setuju. Kania sama Bagas otomatis setuju juga kalau Rendy udah oke.” Ken lalu membolak-balikkan buku itu dengan mata berbinar. “Di mata gue saat itu, Icarus itu berani dan keren.”

“Kalau sekarang?”

“Sekarang, Icarus di mata gue adalah lambang dari perjuangan manusia dalam melawan dunia tapi juga sekaligus mendapatkan hidup seutuhnya. Kita tahu kita mungkin akan terbakar, tapi kita tetap berusaha terbang tinggi menuju matahari.”

Mara tersenyum mendengarnya. “Itu kalimat yang bagus.”

“Dasar penulis naskah, yang diperhatiin kalimat mulu,” sahut Ken, ikut tersenyum. Ken lalu melihat sekelilingnya, menyadari sedang di mana ia sekarang. “Gue nggak nyangka bisa ngomongin hal begini di tempat ini. Gue kira gue nggak akan bisa ngomong apa-apa begitu datang ke sini lagi.”

“Kan lo emang senang ngomong anaknya.” Mara mengingatkan cerita pengurus panti tadi. Ken tersenyum lagi. “Selama ini seingat gue, gue baru banyak ngomong pas masuk SMA. Tapi ternyata dari masih di sini udah begitu. Gue rasa ada yang salah dengan ingatan gue tentang tempat ini.”

“Atau mungkin, ingatan itu tertutup dengan ingatan yang lebih menyakitkan. Gimana pun juga, sad story lasts longer,” ujar Mara, menyebutkan kemungkinan.

Ken terdiam. Mungkin memang itu yang terjadi? Kenangan yang terakhir diingatnya dari Cahaya Hati memang kenangan yang menyakitkan. Waktu itu ia merasa begitu terluka dan tidak diterima siapa-siapa karena tidak kunjung diadopsi. Ken lupa kalau selain kenangan itu, ada juga kenangannya yang sedang bermain dan bercengkrama bersama anak-anak panti lain. Ada juga kenangan saat ia tertawa bahagia di Cahaya Hati ini.

“Ini lo, Ken?” Suara Mara menyadarkan Ken. Ken menoleh, mendapati Mara sedang memegang sebuah album foto. Ken lalu melihat pada foto yang ditunjukkan Mara, dan mendapati dirinya dulu dalam foto itu.

Ken tidak menjawab, hanya menggumam tidak jelas. Dilihatnya dengan seksama foto itu. Ken di sana tersenyum lebar, bersama teman-temannya yang juga menunjukkan raut wajah serupa. Ken meraih foto itu, merabanya perlahan. Kalau tidak salah foto itu diambil setelah mereka bermain petak umpet seharian. “Mereka apa kabar sekarang, ya?”

“Ibu Sri pasti tahu. Nanti coba kita tanya.”

Ken mengangguk pelan. Ia masih mengamati wajah-wajah dalam foto itu, ikut tersenyum lebar seperti dalam foto. Ken lalu bergumam lagi. “Kalau ketemu sekarang, mereka masih bisa ngenalin gue nggak, ya?”

Mara menatap Ken di hadapannya dengan Ken kecil di foto itu bergantian. “Gue rasa masih. Lo nggak begitu banyak berubah, Ken. Gue aja bisa ngenalin foto kecil lo.”

“Kok masih, sih? Gue kan sekarang udah tinggi, terus jauh lebih ganteng daripada dulu,” protes Ken. Mara hanya mengangkat alis melihatnya. Ken berkata lagi sambil menunjuk foto yang masih dipegangnya. “Serius, Ra. Lihat nih, dulu gue paling kecil dibanding yang lain. Makanya kadang gue dikira seumur sama anak-anak yang lebih muda.”

“Tapi kan lo jadi sering ngurusin mereka,” sahut Mara, lagi-lagi teringat cerita pengurus panti.

“Iya, sih. Gue sampai pernah kepikiran kalau gue punya adik, pasti gue bisa jadi kakak yang baik karena gue bisa ngurus dia dengan baik.”

“Lo bisa ngurus gue. Gue anak tunggal, nggak punya saudara.”

“Benar, ya? Jangan protes nanti kalau gue benar-benar ngurusin elo ya, Mara.”

“Apa yang lo rencanain?” tanya Mara curiga. 

Ken tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. Perlahan, Ken menyadari kalau ternyata semua ini tidak seburuk yang ia kira. Ken pun mengucapkan isi pikirannya itu pada Mara.

“Mungkin karena udah terlalu lama juga, ya? Kan orang bilang waktu akan mengobati,” tambah Ken, mengira-ngira mengapa hal ini bisa terjadi. Hal yang sangat ia hindari dan terasa menakutkan selama ini. Tapi begitu ia memutuskan untuk menghadapinya, ternyata hal ini tidak sebesar dan se-menakutkan yang ada di pikirannya.

“Mungkin,” sahut Mara. “Mungkin juga karena lo selama ini berusaha menyembuhkan diri, Ken. Waktu nggak akan melakukan apa-apa kalau kitanya nggak melakukan apa-apa. Waktu kan cuma bisa berjalan.”

Ken tertegun. Ucapan Mara barusan seperti menyebutkan sebuah fakta yang selama ini luput dari pandangan Ken. Mara membuat Ken menyadarinya. Mungkin Ken terlalu sibuk melakukan hal itu – menyembuhkan diri, seperti kata Mara – sampai tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan. Dan kesadaran itu membuat Ken merasa ia melakukan hal yang benar selama ini.

Mara lalu menatap Ken lurus-lurus. “Ken, lo masih ingat yang dibilang Ibu Sri tadi?”

“Yang mana?”

“Lo udah hidup dengan baik.”

Lagi-lagi Ken tertegun. Ken merasa ada sesuatu yang hangat menjalar di dalam hatinya kini.

Mara mengangguk, memberi kesan kalau ia sungguh-sungguh dengan ucapannya barusan. “Lo bahkan hidup lebih baik daripada gue, Ken. Gue bahkan sempat iri sama lo karena lo benar-benar kebalikan dari gue. Karena lo begitu terang. Lo selalu ramah dan baik sama orang.”

Ken merasa hatinya semakin terasa hangat. Ken tak bisa menahan senyumnya, menatap Mara lekat. “Lo juga orang baik, Mara.”

Mara tidak menyahut. Ia tidak tahu ingin membenarkan ucapan Ken atau tidak. 

“Dan terima kasih, Mara. Gue merasa lega memutuskan datang ke sini. Gue juga bersyukur lo nemenin gue.” Ken menatap Mara lekat. “Gue nggak akan lupa hari ini sampai kapanpun.”

Lagi-lagi Mara tidak menyahut. Mara yang tidak tahu harus berkata apa itu juga semakin kesulitan berkata-kata dengan tatapan Ken yang lurus padanya. Ken masih menatap Mara, senyumnya semakin lebar. Selain merasa lega telah memutuskan datang ke sini, Ken juga merasa lega karena Mara adalah orang yang seperti dugaannya.

Bahwa Mara adalah orang yang baik. Yang menemani orang lain bukan hanya dengan tulisannya, tapi juga dengan keberadaannya. Yang melakukan sesuatu dari dalam hatinya.


Baca bagian lainnya di sini:

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *