Yang Berjalan dan Yang Terbang: Mara

mara

Hari di mana Ken dan Mara berjanji untuk bertemu dan pergi ke panti asuhan itu pun tiba. Ken dan Mara bertemu pagi-pagi di stasiun untuk naik kereta ke Bogor, tempat panti asuhan tersebut. Mara melihat Ken sudah siap dengan peralatan yang dibutuhkan, dengan ransel dan kamera. Namun wajah pemuda itu tampak keruh. Seperti yang terakhir Mara lihat di pertemuan Icarus terakhir.

Ken juga tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya di mana Ken akan membicarakan apa saja yang terlintas di kepalanya. Apalagi mereka sedang berada di tempat umum, yang mana banyak objek yang seharusnya menarik perhatian Ken. Tapi Ken hanya bicara satu dua kalimat, kemudian lebih banyak diam dalam pikirannya sendiri. Mara yang tidak tahu bagaimana cara membuka percakapan pun menjadi bingung harus berbuat apa.

Dan mungkin memang percakapan bukanlah hal yang diinginkan Ken saat ini. Mara jadi mulai berpikir kalau sebaiknya ia mengiyakan ucapan Bagas untuk datang ke panti asuhan bersama pemuda itu saja. Setelah dari Icarus tempo hari, saat Mara mengetahui kenyataan mengagetkan itu, Mara terus memikirkan Ken. Ternyata Mara memang salah besar soal penilaian awalnya pada Ken, bahwa Ken adalah orang yang tumbuh tanpa beban dan masalah berarti dalam hidupnya. Tapi siapa yang bisa menyangka kalau Ken yang easy going dan terlihat selalu riang itu ternyata memiliki latar belakang tak terduga?

Mara menghela nafas. Ia benar-benar bertekad kalau itu adalah terakhir kalinya asal menilai orang seenaknya, benar-benar tidak akan mengulanginya lagi. Mara seharusnya tahu kalau ia tidak bisa tahu semua hal tentang orang lain, apalagi mereka yang belum lama ditemuinya. Jadi seharusnya juga ia tidak menyimpulkan dan menilai seenaknya.

Mara lalu melirik Ken yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu tampak sedang memandangi pemandangan di luar melalui jendela kereta, masih dengan raut wajah keruhnya. Sebentar lagi kereta sampai di stasiun Bogor, dan Ken bilang di stasiun tadi kalau mereka perlu melanjutkan perjalanan dengan naik angkot dua kali. Mara memutar otaknya, berusaha mencari ide bagus untuk membuat suasana hati Ken membaik. 

Dan datang ke panti asuhan itu sepertinya bukan ide yang bagus. Jadi Mara pun melontarkan gagasan lain.

“Ken, kita ke kebun raya dulu, yuk,” ujar Mara begitu kereta sudah melambatkan lajunya. Mereka sudah memasuki stasiun Bogor. Ken menoleh kaget. “Kebun raya? Kebun Raya Bogor?”

Mara mengangguk. “Mana lagi? Mumpung kita lagi di Bogor.”

“Mara, kita kan—”

“Gue lagi suntuk banget, Ken.” Mara memotong ucapan Ken, berlagak mengeluh. “Kerjaan gue lagi numpuk di kantor, ada masalah juga sama divisi lain. Kemarin malah sempat sampai berantem gitu gara-gara jobdesk jadi pada berantakan. Kepala gue mumet banget, pengen lihat yang hijau-hijau,” tutur Mara, masih dengan nada mengeluh. Ia tidak bohong dan semua itu memang benar-benar terjadi. Meskipun tentu saja bukan itu alasannya mengajak Ken ke kebun raya.

“Nanti kita bisa ke cek lokasi habis dari kebun raya,” tambah Mara lagi. Ken tampak berpikir, menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Agar Ken tidak menolak ajakannya, Mara buru-buru meniru apa yang dilakukan Ken tempo hari. Memasang wajah memelas. “Boleh, ya? Ya? Ken?”

Mau tidak mau, Ken tertawa geli melihatnya. Ken akhirnya mengiyakan ajakan Mara, dan mereka langsung menuju ke kebun raya begitu keluar dari stasiun. Sesampainya di kebun raya, mereka celingukan sendiri karena tempat itu masih sepi. Hanya ada beberapa orang selain mereka di situ.

“Gue rasa cuma kita yang iseng datang ke sini pagi-pagi, Mara,” komentar Ken. “Atau mungkin kita akan ketemu sama rombongan anak sekolah lagi study tour. Menurut lo, kira-kira tempat ini udah beroperasi jam segini belum, Ra?”

Mara meringis. Tapi ia tetap bersikeras mempertahankan gagasannya. “Kalau udah dibuka, berarti tempat ini udah beroperasi normal, Ken. Lagian malah bagus kan nggak terlalu ramai, kita bisa puas lihat-lihatnya.”

Mereka pun mulai berjalan menyusuri kebun raya itu. Melihat ini itu, mengomentari ini itu sedikit-sedikit. Mara benar, datang ke sini saat belum ramai adalah hal yang bagus. Terlebih lagi mereka masih dapat merasakan sisa-sisa kesegaran udara pagi. Mereka terus berjalan sampai tidak ada yang bersuara lagi karena mulai merasa capek. Hanya terdengar suara napas naik turun ngos-ngosan.

“Ra, time, time! Istirahat dulu,” ujar Ken dengan suara lelah. Mara menoleh, mendapati Ken sudah terduduk di bangku yang tak jauh dari mereka. Ken menyeka peluh yang bercucuran di keningnya. Mara pun menghampiri Ken dan mengambil botol minum dari tasnya. Lalu mengulurkannya pada Ken dan diterima oleh pemuda itu dengan wajah sumringah. Ken langsung meneguk minum itu dengan cepat.

Mara tersenyum kecil melihatnya. Akhirnya raut keruh pergi dari wajah Ken. Berganti dengan raut wajah lelah, namun tampak lebih hidup. 

“Masih banyak yang mau lo lihat, Ra?” tanya Ken setelah selesai minum. Mara yang sudah duduk di sampingnya, menoleh heran. “Bukannya kita baru lihat sedikit, ya?”

Ken mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal. “Tapi kita kan udah jalan lama. Kaki gue sampai hampir kram, Mara,” keluh Ken. “Di sini ada kendaraan yang bisa dipakai nggak, sih? Sepeda atau kereta-keretaan gitu. Kan bagus kalau ada kendaraannya, jadi bisa lebih puas lihat-lihat tanpa terhambat capek kayak begini.”

Mara tersenyum lagi. Ken melihatnya bingung. “Kenapa, Ra?”

Mara memalingkan wajahnya ke depan, melihat pada barisan tanaman di hadapan mereka. “Berjalan emang cara yang paling ampuh kalau lagi banyak pikiran. Sama lihat yang hijau-hijau,” ujar Mara. Ia bersyukur karena telah bersikeras mengajak Ken ke sini.

Sementara itu, Ken tertegun. Ken jadi tersadar kalau persoalan di kantor dan kepala yang mumet hanyalah alasan Mara saja. Kepala Ken lah yang mumet, yang banyak pikiran. Mara menyadari hal itu. Karena itu Mara mengajaknya ke sini, sampai memaksa-maksa segala.

“Jadi lo ngajak ke sini buat gue?” tanya Ken.

Mara menoleh kaget. Gadis itu buru-buru menggeleng dengan kikuk. “Gue kan tadi udah bilang kalau gue lagi suntuk. Dan berjalan selalu bisa jadi cara ampuh buat gue ngatasin suntuk itu.”

Ken tersenyum mendengarnya. “Lo kan tahu gue bisa lihat kalau raut wajah lo selalu jujur, Mara.”

Mara terdiam, lalu melihat Ken ragu-ragu. Mara tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan suara. “Kita nggak harus ke panti asuhan, Ken.”

Ken tercenung. Benar, Mara mengajaknya ke sini karena dirinya. Gadis itu tahu Ken merasa terganggu sejak bahasan di Icarus tempo hari, dan ingin melakukan sesuatu yang dapat membantu Ken. Dan Ken sungguh terbantu dengan itu. Pikirannya yang kusut selama beberapa hari ini mulai terurai sedikit demi sedikit. Mara benar, berjalan dan melihat pemandangan hijau ternyata membantu mengatasi pikiran yang menumpuk.

Mara buru-buru menambahkan. “Maksud gue, nggak harus hari ini. Kita masih punya banyak waktu buat cek lokasi, gue juga masih sempat buat nulis naskahnya.”

Perlahan, Ken tersenyum lagi. Melihat apa yang dilakukan Mara, menyadari Mara benar-benar melakukannya untuk Ken, membuat perasaannya membaik. Ken lalu berkata. “Ternyata gue benar, lo orang yang baik.”

“Hah?” Mara bingung dengan ucapan Ken yang tidak ada hubungannya dengan ucapannya.

Ken pun menjelaskan. “Pas gue baca naskah-naskah lo dulu, sebelum ketemu lo langsung, gue ngerasa kalau lo sengaja angkat tema-tema yang relatable biar orang ngerasa bukan cuma mereka yang mengalami hal-hal itu. Apa yang lo tulis sampai ke dalam hati gue, yang berarti lo nulisnya dari dalam hati lo. Dan dari situ gue merasa yakin kalau lo adalah orang yang baik.”

Mara mengusap pelipisnya, tidak tahu harus berkata apa. Mara tidak tahu apakah tulisan-tulisannya seperti kata Ken, tapi ia memang menulisnya dari dalam hati. Mengetahui ada orang yang menangkap hal itu tentu saja membuat Mara senang, tapi juga canggung. Tidak ada yang pernah bilang seperti itu pada Mara sebelumnya. Dan juga, Mara tidak yakin kalau ia adalah orang yang baik seperti kata Ken.

Sementara Ken terdiam, sedang menimbang-nimbang sesuatu. Menyadari apa yang dilakukan Mara hari ini membuat Ken berpikir kalau Mara akan menjadi salah satu orang yang dapat menerimanya apa adanya. Seperti dugaan Ken selama ini. 

Jadi Ken pun memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Mara. 

“Gue pikir, mungkin nggak apa-apa bilang ini ke elo, Mara.”

“Bilang apa?”

Ken menarik napas sebentar. Lalu meluncurlah kata demi kata dari mulut Ken, menceritakan tentang hidupnya. Ken yang ditemukan di pintu panti asuhan pada suatu malam berhujan, hanya dibungkus selimut seadanya. Ken tumbuh besar di panti asuhan itu, berusaha menjadi anak baik agar ada orang tua yang mau mengadopsinya. Tapi Ken tidak juga diadopsi, dan akhirnya tetap tinggal di panti asuhan hingga ia duduk di bangku SMP.

“Pas SMA, gue masuk asrama. Di situ gue ketemu Rendy sama Bagas. Terus gue kuliah di Jakarta, satu kampus sama Rendy juga. Ketemu sama Kania. Bagas kuliah di Jogja, baru ketemu lagi pas udah lulus terus bikin Icarus bareng.” Ken mengakhiri ceritanya. Menatap Mara yang sedari tadi menyimak ceritanya itu dengan serius.

Ken berusaha mencairkan keadaan. “Kok muka lo serius banget sih, Ra?”

“Kayaknya ada yang kelewat nggak lo ceritain,” ujar Mara.

Ken tertegun. Gadis ini sudah mulai dapat membaca dirinya. Ken kemudian menceritakan hal yang terlewat itu. 

“Sekarang gue baik-baik aja. Tapi dulu keadaan gue sangat kacau. Gue ngerasa dibuang sama semua orang dan nggak diterima siapa-siapa. Apalagi gue lihat anak-anak yang datang setelah gue malah lebih cepat diadopsi, gue dilewati begitu aja. Saat itu gue bertanya-tanya ada masalah apa dengan diri gue, kenapa orang lain mudah disukai tapi gue enggak.”

Mara menggigit bibir bawahnya. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan Ken itu. Mara seperti dapat melihat sosok Ken kecil dan Ken remaja yang rapuh, yang sakit, yang terluka.

“Semuanya mulai membaik saat gue masuk asrama. Gue ketemu teman-teman dan guru-guru yang baik di sana, yang ternyata sangat bisa menerima gue apa adanya. Gue juga jadi mulai belajar menerima diri gue sendiri dan meyakini kalau memang nggak ada masalah sama diri gue. Jalan hidup gue aja yang agak berbeda dari kebanyakan orang. Lama-lama, gue mulai senang ngomong sama banyak orang, sama siapa aja. Gue senang berada di antara banyak orang dan ngomong sama banyak orang.”

Kini Mara tertegun. Ken ternyata begitu berbeda sekaligus sama dengannya. Berbeda, karena masa SMA justru menjadi titik terang bagi hidup Ken. Tidak seperti Mara yang merasa hidupnya semakin gelap sejak masa itu. Sama, karena Ken juga senang berada di antara banyak orang. Karena Ken juga tidak suka sepi dan sendiri seperti dirinya.

“Dan seperti yang gue bilang, gue baik-baik aja sekarang. Tapi tetap aja, panti asuhan itu merupakan tempat yang mengingatkan gue akan masa-masa yang nggak gue sukai dalam hidup gue. Tempat itu kayak mengingatkan gue akan satu masa dan bagian dalam diri gue yang ingin gue tutup rapat. Gue masih kontak sama pengurus di sana, tapi belum pernah ke sana lagi. Gue bahkan belum pernah datang lagi semenjak lulus SMP.”

“Kalau begitu, kita nggak usah ke sana,” ujar Mara cepat. Ia tidak mau melihat Ken menjadi rapuh kembali hanya karena harus datang dan melihat tempat yang memberikan kenangan menyakitkan baginya itu. Mara lalu menyesali usulan tema untuk film selanjutnya itu, yang memang berasal darinya. “Harusnya gue nggak ngusulin ide itu. Masih banyak draft ide lain yang bisa gue usulin untuk project-project Icarus, tapi harusnya bukan yang itu.”

Ken menggeleng. “Justru saat ide itu muncul, gue berpikir mungkin ini saatnya gue menghadapi semuanya. Menghadapi masa dan diri gue sendiri yang selama ini gue tutup rapat. Kalau bukan dari elo, ide ini nggak akan pernah muncul. Anak-anak nggak akan angkat tentang ini sampai kapan pun karena mikirin gue, tapi mereka tahu kalau ini adalah tema yang bagus,” Ken menjeda ucapannya. “Bukan cuma buat Icarus, tapi juga buat gue sendiri.”

Mara terdiam.

“Dan sebenarnya itulah yang ada di pikiran gue beberapa hari ini. Gue selama ini tahu cepat atau lambat gue harus menghadapi hal ini. Otak gue tahu itu, tapi ada bagian dalam diri gue yang kayak enggan melakukannya. Tapi terus gue mikir lagi, udah terlalu lama gue menghindar dari tempat itu, dari masa-masa itu. Tapi juga tetap aja gue merasa berat hati.” Ken menghela napas. “Isi pikiran gue benar-benar ruwet dan kacau beberapa hari ini, berputar terus tentang hal-hal itu.”

Mara masih terdiam, menunggu Ken melanjutkan ucapannya.

“Dan berkat lo, pikiran gue udah bisa terurai dengan baik sekarang. Gue udah bisa memutuskan apa yang seharusnya gue lakukan. Gue rasa lo benar, Ra. Berjalan sangat membantu buat pikiran yang kacau,” ujar Ken. Ia menatap Mara sambil tersenyum. “Masih ada yang ingin lo lihat, nggak? Kalau enggak, gue rasa kita bisa berangkat ke tempat itu sekarang.”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *