Yang Berjalan dan Yang Terbang: Icarus

icarus

Icarus berdiri sekitar dua setengah tahun yang lalu. Penggagasnya adalah Rendy, Ken, dan Kania yang sama-sama tergabung dalam klub film di kampus mereka dulu. Bagas bergabung setengah tahun kemudian saat ia mulai bekerja di Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang suka film dan ingin membuat film, tapi sama-sama bukan berasal dari jurusan perfilman. Mereka hanya berbekal kecintaan pada film dan pengalaman di klub kampus dulu.

Kesamaan lainnya adalah mereka sepakat untuk membuat film yang benar-benar mereka inginkan. Film yang menggambarkan realita kehidupan yang sesungguhnya, yang benar-benar berkualitas dalam versi mereka. Jadi tak heran ketika kemudian film-film Icarus muncul dan dipublikasikan melalui YouTube, banyak pecinta film indie yang menggemari karya mereka. Respon yang paling mereka sukai adalah ketika penonton merasa relatable dengan film-film yang mereka buat. Mara termasuk salah satu penggemar film Icarus yang kemudian mendaftarkan diri ketika Icarus membuka posisi penulis naskah.

Awalnya Icarus membuat film dokumenter dengan objek realita sosial di ibu kota. Kemudian perlahan mereka mulai menggarap tema serupa namun merambah ke daerah-daerah lain. Mereka juga membuat satu dua film pendek dengan genre fiksi, namun genre itu baru benar-benar sering mereka angkat saat Mara bergabung. Karena sebelumnya Icarus tidak memiliki penulis naskah, biasanya Rendy atau Kania yang menulis naskah seadanya.

Icarus tidak memiliki peraturan khusus tentang kapan mereka harus membuat film baru, tapi Rendy selalu mendorong mereka untuk dapat menghasilkan film baru setiap tiga atau empat bulan. Rentang waktu ini mungkin terbilang cukup lama untuk pembuatan film pendek, tapi itu adalah waktu yang realistis mengingat semua anggota Icarus memiliki pekerjaan utama. Ditambah lagi mereka memang ingin film yang mereka buat benar-benar berkualitas, sesuai dengan keinginan mereka.

Dan Icarus benar-benar non profit. Dulu ketika awal berdiri, mereka memanfaatkan peralatan yang sudah mereka punya sebelumnya. Kekurangannya ditutupi dengan sumbangan mereka – Rendy, Ken, Kania, dan Bagas kala itu – yang mereka anggap sebagai bentuk menanam modal. Namun seperti kata Rendy, Icarus masih belum bisa balik modal. Kalaupun ada dana yang masuk biasanya digunakan untuk membayar talent, ijin lokasi, dan semacamnya.

“Tapi maksud Rendy soal tawaran High Teen itu bukan semata-mata karena dananya,” ujar Ken pada Mara. Saat ini mereka sedang makan siang bersama di foodcourt belakang gedung kantor Mara, yang menjadi tempat yang sering mereka datangi akhir-akhir ini. Seperti siang itu, saat Mara bertanya pada Ken tentang Icarus lebih jauh.

“Iya, gue tahu,” sahut Mara. Matanya tampak agak menerawang ketika kemudian melanjutkan ucapannya. “Rendy juga mungkin punya orang-orang yang ingin dia buktikan dan tunjukkan hasil dari sesuatu yang dia sukai.”

“Juga?” tanya Ken. “Lo juga begitu?”

Mara tidak menjawab. Beberapa hari yang lalu, orang tua Mara berkomentar soal kegiatannya di Icarus yang memang cukup memakan waktu itu. Mara tahu tujuan mereka baik. Mereka tidak tega melihat Mara terkapar kelelahan hampir setiap hari, bahkan di akhir pekan. Apalagi Icarus juga tidak memberikan apa-apa, menurut orang tua Mara. 

Ingin rasanya Mara bilang pada orang tuanya kalau justru kegiatan Icarus lah yang membuat hidupnya terasa benar-benar hidup. Mara tidak bisa membayangkan betapa monoton hari-harinya jika ia hanya bekerja di kantor saja, hanya menunggu dari gaji ke gaji. Tapi di sisi lain, Mara juga merasa orang tuanya tidak akan mengerti soal itu. Karena bagaimanapun orang tuanya sama seperti orang kebanyakan, akan menganggap Icarus bukan sebuah klub film bergengsi yang memiliki berbagai pencapaian.  Hal itu membuat Mara teringat lagi dengan ucapan Rendy soal membuktikan diri.

“Icarus emang nggak ada duitnya.” Suara Ken membuat Mara kaget. Tidak menyangka kalau pemuda itu, lagi-lagi, bisa membaca pikirannya. Mara menatap Ken curiga. “Lo bisa ilmu hitam, ya?”

Ken terkekeh mendengarnya. “Gue nggak perlu belajar ilmu hitam buat nebak apa yang lo pikirin, Mara. Muka lo ngasih tahu semuanya,” ujar Ken seraya menunjuk wajah Mara.

Mara menurunkan telunjuk Ken itu sambil bersungut-sungut kesal.

“Oke, jadi seperti yang gue bilang, Icarus emang nggak ada duitnya.” Ken mengulang ucapannya. “Tapi kan kita di Icarus bukan pengen kaya, tapi pengen bikin karya.”

Mara tertegun.

“Tapi karena kita juga pengen punya duit sendiri sebagai orang dewasa dan pengen ngerasain jadi orang kaya, makanya kita kerja juga,” tambah Ken sambil terkekeh lagi. “Dan karena kita udah punya uang sendiri, kita jadi fokus di Icarus buat bikin film aja. Bukan buat cari duit juga.”

Perlahan, senyum Mara terkembang. Membenarkan ucapan Ken. Memang itu alasan kuat mengapa Mara tetap bekerja dan tetap di Icarus juga. 

“Bukan cuma lo yang begitu, Ra. Kita semua di Icarus juga begitu, kok,” ujar Ken. “Icarus ini terlalu besar untuk cuma disebut sebagai hobi, tapi juga nggak sebesar itu untuk termasuk sebagai sesuatu yang profesional.”

Mara melongo, tapi kali ini terlalu malas untuk mengomentari Ken yang sudah seperti peramal itu. Mungkin lama-lama Mara akan terbiasa dengan Ken yang dapat membaca pikirannya. Gadis itu akhirnya memilih untuk menyahuti ucapan Ken.

“Tapi itu kayak kontradiksi nggak, sih? Kayak paradoks, kayak plin-plan juga,” sahut Mara. “Kita mau melakukan apa yang kita inginkan, tapi kita mau punya uang juga. Kita mau terus bisa bikin film, tapi kita juga tetap mau bisa sukses di tempat kerja.”

“Emang kontradiksi dan paradoks,” ujar Ken. “Tapi emang begitu kenyataannya, kan? Mungkin bagi orang-orang kebanyakan, kita terlalu idealis dan terlalu muluk soal mimpi. Dan mungkin bagi orang-orang yang idealis beneran, kita ini plin-plan. Setengah-setengah, nggak totalitas mengejar mimpi.”

Mara terdiam, menyimak ucapan Ken yang juga sering ada di pikirannya itu.

“Tapi ya balik lagi, emang begitu kenyataannya. Kita tetap mau dapat dua-duanya. Kita mau bisa hidup layak tanpa harus mikirin kekurangan uang, dan kita juga mau bisa melakukan hal yang kita suka. Meski kita tahu kalau badan kita akan capek, waktu kita akan terkuras. Belum lagi omongan orang. Tapi kita tetap nggak bisa berhenti.” Ken menjeda ucapannya. “Kayak Icarus. Dia juga tahu kalau dia bisa terbakar, tapi dia tetap terbang juga sampai dekat matahari. Ah, gue pernah bilang soal ini, kan?”

Mara tertegun. Ken dapat menjelaskan semua yang mereka alami, yang mereka hadapi, dengan sangat baik. Dengan sangat logis sekaligus realistis. Hal yang tidak banyak diakui orang, tapi Ken dan anggota Icarus lainnya mengakui hal itu. Mengakui keinginan mereka, realita mereka, mimpi mereka; bahkan keserakahan mereka yang ingin memiliki semuanya itu. Juga resiko yang harus ditanggung dari pilihan mereka.

“Jadi ini alasannya kenapa pakai nama Icarus,” ujar Mara kemudian. Ken mengangguk-angguk antusias. “Pas kan buat keadaan kita? Kan gue bilang juga cerita Icarus itu benar-benar menggambarkan bagaimana diri manusia dan kehidupan yang dijalaninya.”

“Meski banyak yang berpendapat kalau yang dilakukan Icarus itu salah?”

“Hidup kan bukan sekadar soal salah atau benar, Mara. Emangnya ujian sekolah?” seloroh Ken enteng. “Lagian apa yang membuat manusia merasa berhak menilai-nilai manusia lain seenaknya soal benar atau salah? Kan sama-sama manusia, kedudukannya sama. Yang kedudukannya paling tinggi itu kan cuma Tuhan. Harusnya manusia cuma tunduk sama Tuhan, bukan sama sesama manusia.”

Ucapan Ken itu membuat Mara tersenyum, sambil geleng-geleng kepala. Tak percaya akan mendengar semua ini dari Ken yang terlihat sering tidak serius itu.

“Gue serius, Mara,” ujar Ken melihat senyum Mara itu. Mara buru-buru berdehem, berusaha memasang wajah datar. “Emangnya gue ngomong sesuatu?”

Ken berdecak, tapi tidak membahas soal itu. Ken lalu berbicara lagi. “Dan yang terpenting, kita kan menjalani semuanya dengan sepenuh hati. Kita sebenarnya totalitas, nggak setengah-setengah, berusaha se-profesional mungkin. Baik di kerjaan kita maupun di Icarus. Kita menjalani resiko yang kita hadapi dengan penuh usaha maksimal.”

Mara tersenyum lagi, tapi kali ini sambil mengangguk puas. Membenarkan ucapan Ken.

“Jadi gimana? Udah bisa memutuskan soal tawaran High Teen itu?” tanya Ken kemudian. Ken tahu kalau Mara bertanya soal Icarus ada hubungannya dengan keputusan yang harus dibuatnya. Mara merasa kesulitan untuk memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan.

Mara terdiam sejenak. Lalu berucap pelan. “Sebenarnya mungkin dari awal juga gue udah tahu keputusan apa yang harus gue ambil. Apa yang gue inginkan.” Mara menatap Ken. “Dan mungkin, Rendy juga. Tapi dia terbentur dengan realita, dengan tapi-tapi yang menghambat. Kayak gue. Jadi mungkin Kania salah paham dengan maksudnya Rendy.”

Ken mengangguk-angguk. “Gue tahu. Dan Kania juga sebenarnya tahu itu. Dia yang paling tahu Rendy di antara kita semua, Ra.” Ken balas menatap Mara. “Kania bukannya salah paham atau apa. Dia cuma menyampaikan apa yang ada di kepalanya, Rendy juga begitu. Emang agak ekstrim, tapi anggap aja itu cara mereka berkomunikasi satu sama lain.”

Mara melongo mendengarnya. Bagaimana mungkin ia bisa menganggapnya semudah itu setelah menyaksikan sendiri pertengkaran hebat mereka?

“Udah lo nggak usah mikirin gimana Rendy sama Kania. Nanti pas ketemu lagi juga paling mereka udah baikan. Percaya ama gue. Gue udah mengalami hal ini bertahun-tahun dari jaman kuliah dulu,” ujar Ken meyakinkan Mara. “Sekarang yang penting gimana lo. Anak-anak juga pasti akan menghormati pendapat lo.”

Mara terdiam. Inilah hal yang juga mengganggu pikirannya. Selama ini Mara tidak terlalu aktif memberikan pendapat di Icarus. Selama tidak ada yang terlalu bertentangan dengan apa yang diyakininya, Mara ikut saja dengan pendapat mayoritas. Lagipula sejauh ini Mara belum pernah merasa keberatan dengan apa pun yang diputuskan di Icarus, karena cara pandang mereka mirip-mirip dengan cara pandangnya. Mara khawatir kalau ia malah akan merusak suasana dan membuat orang lain tersinggung lagi kalau membiarkan dirinya terlalu vokal. Kalau membiarkan ia menyampaikan pendapatnya dengan sifat aslinya yang lugas dan sinis itu.

“Kenapa malah diam? Gue rasa itu bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan,” ujar Ken lagi. “Lo hanya perlu jujur soal pendapat lo tentang hal ini.”

“Justru itu masalahnya.” Mara mengeluh. “Gue nggak seharusnya terlalu jujur sama orang lain.”

“Kenapa? Lo selalu jujur sama gue,” sahut Ken heran.

“Itu kan elo, Ken,” keluh Mara lagi. “Gue nggak yakin apa gue bisa begitu juga ke anak-anak Icarus yang lain.”

“Gue rasa nggak masalah. Meski mereka bukan anak baik-baik amat, tapi mereka juga bukan anak-anak yang bakal protes kalau lo jujur. Atau merasa sakit hati dan semacamnya,” ucap Ken. Ken lalu menatap lurus pada mata Mara. “Gue yakin mereka juga bisa nerima lo, kayak gue.”

Mara tertegun. Lagi-lagi Ken bisa memahami apa maksud dari ucapannya, dan membaca dirinya. Dan mungkin, ada bagian dari dalam diri Mara yang sengaja mengutarakannya pada Ken. Agar pemuda itu dapat mengatakan sesuatu yang dapat menguatkan dan meyakinkannya. Karena sebenarnya akhir-akhir ini Mara pun mulai berpikir kalau para anggota Icarus itu memang orang-orang yang baik. Kalau mereka mungkin, seperti kata Ken, dapat menerima Mara meskipun Mara menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

Sementara itu, kening Ken berkerut. Ia merasa ada sesuatu yang penting yang terlewat olehnya. Tapi apa?

Sedetik kemudian, Ken menjentikkan jarinya. Ia sudah menyadari apa yang hampir luput darinya. Pemuda itu langsung berseru dengan antusias dan mata berbinar pada Mara. “Mara! Tadi lo bilang, itu kan gue. Kenapa kalau gue nggak apa-apa? Berarti gue spesial? Lebih spesial dibanding anak-anak Icarus lain?”

Mara mengeluh. “Ken, ini gue lagi serius. Jangan bahas yang aneh-aneh dulu.”

“Gue juga serius, Mara! Dan ini bukan hal yang aneh. Gue harus dengar jawaban lo sekarang.” Ken bersikeras. Mara mengangkat alisnya malas. Ia pun bangkit dari tempat duduk setelah melihat jam di pergelangan tangannya hampir menunjukkan kalau jam istirahat mereka akan habis.

“Mara, lo utang jawaban sama gue!”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *