Yang Berjalan dan Yang Terbang: Icarus

icarus

Meskipun Ken sudah bilang pada Mara untuk menyampaikan pendapatnya soal tawaran High Teen dengan jujur, tetap saja hal itu mengganggu pikiran Mara. Ketika akhirnya hari di mana Mara harus memberikan pendapatnya itu datang, Mara tidak bisa tidur pada malam sebelumnya dan memikirkan kalimat-kalimat yang tepat untuk dikatakan pada anggota Icarus lainnya.

Saat Mara tiba di markas Icarus, tempat itu tampak lebih ramai dari biasanya. Empat anggota Icarus lainnya sudah berkumpul dan mereka tampak sedang heboh membicarakan sesuatu. Tepatnya, Ken dan Bagas yang heboh melontarkan berbagai kalimat sambil sesekali berseru girang. Sementara Rendy dan Kania hanya menanggapi satu dua kalimat malu-malu, sesekali saling pandang dengan wajah tersipu.

Mara mengerutkan kening melihat keadaan itu. Ada apa ini?

“Mara!” sapa Ken yang menyadari kehadiran Mara di antara kehebohan itu. Ken lalu menunjuk Rendy dan Mara bergantian, sambil berseru. “Anak dua ini udah jadian!”

Mara melongo. Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tapi melihat Rendy dan Kania kembali tersipu malu-malu, Mara pun menyadari kalau apa yang diucapkan Ken memang benar.

Tapi bukankah mereka bertengkar hebat terakhir kali? Mengapa tahu-tahu…

“Kok bisa?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Mara begitu saja tanpa bisa ditahan.

Sontak saja, Ken dan Bagas tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Rendy mengusap-usap kepalanya salah tingkah. Sementara Kania semakin bersemu merah.

“Bukannya kok bisa, Ra. Tapi, akhirnya jadi juga.” Kali ini Bagas menyahut. Ken mengangguk-angguk membenarkan, kembali menunjuk kedua tokoh utama dalam pembicaraan ini. “Mereka berdua ini dramanya udah kelamaan, bertahun-tahun! Sampai bosan gue,” seloroh Ken.

“Gue juga,” ujar Bagas mengamini ucapan Ken.

Mara masih tidak mengerti. “Terus berantemnya?”

“Ya udah baikan. Ditambah bonus jadian,” sahut Bagas enteng.

Mara melongo lagi. Jadi dua orang itu benar-benar dapat bertengkar dan berbaikan dengan mudahnya? Yang seperti kata Ken, itu adalah cara berkomunikasi mereka? Mereka bahkan berpacaran sekarang. Mara mengusap-usap pelipisnya. Jadi untuk apa ia menghabiskan waktu beberapa hari ini memikirkan keduanya?

“Lo pasti sekarang lagi meratapi betapa sia-sianya waktu lo mikirin mereka berdua ini, Mara.” Suara Ken mengagetkan Mara. Lagi-lagi Ken membaca pikirannya. Mara buru-buru mengubah raut wajahnya, berusaha agar wajahnya terlihat sedatar mungkin.

Ken terkekeh geli melihatnya. Pemuda itu kembali mengulang ucapannya tempo hari pada Mara. “Gue kan bilang nggak usah pikirin mereka, nanti juga baikan sendiri.”

“Emang Mara mikirin kita kenapa?” tanya Kania.

“Ya mikirin gara-gara lo berdua berantem. Mara pikir lo salah paham sama maksud Rendy soal tawaran High Teen itu, Ya. Terus dia jadi galau harus gimana. Makanya gue bilang ke Mara, nggak usah dipikirin dan sampaikan aja pendapat apa adanya,” jelas Ken.

Kania mengangguk-angguk. “Ken benar, Mara. Kita udah sering berantem kayak gitu, terus baikan lagi. Jangan dipikirin dan jangan sampai itu mempengaruhi pendapat lo.”

Rendy juga ikut membenarkan. Ia lalu bertanya pada Mara. “Jadi pendapat lo gimana, Ra? Pendapat lo sejujurnya ya, jangan karena hal-hal lain.”

Sejujurnya? Mara tertegun. Apakah ia benar-benar bisa menyampaikan pendapat sejujur-jujurnya pada orang-orang ini?

Mara melihat keempat orang itu sudah menatapnya, menunggu Mara mengucapkan sesuatu. Mara lalu melihat Ken mengangguk padanya, seolah meyakinkan Mara untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.

Mara pun menghela napas sebelum akhirnya bersuara.

“Gue nggak setuju dengan tawaran High Teen itu,” ucap Mara lugas. Ia mengamati reaksi mereka, tapi keempatnya tampak serius menyimak ucapan Mara. Seolah menunggu Mara menyelesaikan ucapannya.

Sementara Mara mengusap pelipisnya. Apa yang tadi itu terlalu jujur?

“Maksud gue, sebaiknya kita nggak ambil tawaran itu.” Mara mencoba memperbaiki susunan kalimatnya. Tapi Mara juga tak yakin apa ia melakukannya dengan baik atau tidak. Meski begitu, Mara tetap berusaha melanjutkan ucapannya.

“Tema yang diangkat High Teen nggak sesuai sama Icarus. Harusnya kalaupun mau cari sponsor, Icarus cari yang sesuai. Bukan Icarus yang menyesuaikan.”

Ucapan Mara itu membuat mereka tertegun. Mara jadi merasa kalau ia mungkin melakukan kesalahan karena terlalu jujur. “Lagian yang bisa bikin tema yang diinginkan High Teen itu kan banyak. High Teen juga pasti bisa cari orang buat bikin film yang mereka mau dengan mudah.” Mara buru-buru mengucapkan apa yang ada di kepalanya. Berharap bisa memperbaiki keadaan.

Tapi masih tidak ada respon lanjutan dari mereka. Mara menarik napas, dan berkata lagi.

“Kita kan bukan mau bikin sesuatu yang banyak, tapi mau bikin karya yang bagus,” ujar Mara lagi. Kali ini adalah kalimat terakhirnya. Mara tidak tahu lagi harus berkata apa.

Suasana hening beberapa saat. Sampai kemudian, keempat orang yang sedari tadi mendengarkan itu pun saling pandang dan tersenyum. Ken bahkan mengacungkan jempol pada Mara.

Apa ini berarti semua baik-baik saja? Mara bertanya-tanya.

“Oke.” Suara Rendy mengambil alih situasi. “Jadi suara akhir tiga banding dua, yang terbanyak nggak setuju. Berarti kita nggak ambil tawaran High Teen itu, ya.”

Ucapan Rendy itu disambut tepuk tangan meriah oleh yang lainnya, kecuali Mara. Gadis itu melongo, masih mencoba mencerna situasi yang terjadi. Bahkan Bagas dan Rendy, yang memiliki pendapat bertentangan, pun bertepuk tangan sambil tersenyum lebar. Menerima keputusan akhir itu dengan hati ringan.

“Kalau lo jadi caleg di dapil gue, pasti gue ngajuin diri buat jadi timses lo, Ra!” seru Bagas dengan ekspresi kagum di wajahnya. Ia lalu meniru ucapan Mara. “Harusnya Icarus cari yang sesuai, bukan Icarus yang menyesuaikan.”

“Kita kan bukan mau bikin sesuatu yang banyak, tapi karya yang bagus.” Kania ikut-ikutan meniru ucapan Mara. Bagas menjentikkan jarinya. “Beuh. Mati langsung lawan-lawan lo, Ra. Fix kepilih udah.”

Rendy dan Ken terkekeh melihat mereka. Sementara Mara menyaksikan semua itu dengan perasaan berkecamuk. Jadi semua baik-baik saja? Jadi mereka tidak tersinggung dengan ucapan lugasnya?

Jadi… mereka dapat menerima dirinya yang sesungguhnya?

Pandangan Mara lalu beralih pada Ken, yang sudah tersenyum kepadanya. Ken lalu beranjak ke samping Mara, lalu berbisik. “Benar kan, kata gue? Mereka pasti bisa menerima lo.”

Perlahan senyum Mara terkembang, lalu mengangguk-angguk membenarkan ucapan Ken. Mara merasa dirinya dibanjiri rasa lega yang luar biasa. Mara juga merasa telah mengambil keputusan tepat dengan menyampaikan pendapat jujurnya.

“Oke, berarti sekarang kita bahas ide-ide untuk project selanjutnya, ya.” Rendy kembali mengambil alih situasi. Mereka semua mengangguk dan suasana pun kembali tenang.

Pada saat itu, Mara teringat hal yang terlupakan olehnya.

“Oh iya, gue lupa kasih ini,” ujar Mara. Ia mengambil secarik kertas dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Rendy. Sebuah bukti transfer. Rendy mengerutkan keningnya tak mengerti. “Ini apa, Mara?”

“Gue dengar pas awal bikin Icarus, kalian pada sumbangan buat modal. Anggap aja itu gue nyumbang modal juga,” jawab Mara.

Mereka saling pandang.

“Tapi lo nggak usah sampai begini juga, Mara,” sahut Rendy kemudian. 

“Kenapa?” tanya Mara heran. “Gue kan anggota Icarus juga.”

Ken tersenyum mendengarnya. Ken paham kalau Mara ingin melakukan sesuatu untuk Icarus yang sudah menjadi bagian dalam dirinya. Ken pun mendukung ucapan Mara. “Iya, Ren. Mara kan anggota Icarus juga. Pada saat-saat begini, kita cuma perlu bilang terima kasih. Terima kasih ya, Mara.”

Ucapan Mara dan Ken itu membuat yang lainnya ikut tersenyum juga.

Thank you, Mara. Service komputer aman berarti,” seloroh Bagas. Kemarin-kemarin ia memang mengeluh soal komputer yang biasa mereka gunakan untuk editing itu ngadat dan memang sudah harus diperbaiki. Bagas lalu mengambil kertas bukti transfer itu. Matanya membesar kaget melihat nominal yang tertera pada kertas itu. “Wah, ini sih lebih banget kalau buat service. Kok banyak banget, Ra? Dulu kita awal patungan aja nggak segini.”

Ken dan Kania ikut melihat kertas itu, lalu keduanya menunjukkan ekspresi kaget yang serupa. Kania sampai menatap Mara tidak percaya. “Ini beneran banyak banget, Ra.”

“Ya, kan ada perhitungan inflasi, perubahan nilai mata uang. Yang kalian sumbang dulu nilainya pasti beda sama sekarang.” Mara mencoba membela diri.

“Kita kan bukan patungan sepuluh tahun lalu, Ra,” sahut Ken, dibarengi anggukan setuju yang lain.

Mara buru-buru mengeluarkan pembelaan lain. “Waktu itu kan kalian pada baru kerja. Kalau sekarang gue udah ada tabungan.”

Mereka melongo. Bagas yang pertama kali sadar, meringis membenarkan.

“Kenyataan pahit, but d*mn it’s true. Dulu kita emang kere banget, guys. Gue tiba-tiba jadi sedih ingat masa-masa itu,” ujar Bagas sok-sok melankolis.

“Ini tapi lo nggak ambil dari tabungan penting masa depan lo kan, Ra?” tanya Kania, tak menggubris drama melow Bagas. Mara mengerutkan keningnya bingung. Kania pun melanjutkan. “Tabungan nikah, misalnya.”

Mara seperti baru tersadar soal itu. “Ah.”

“Ah? Jangan bilang lo selama ini nggak punya tabungan nikah?” Mata Kania membesar, seolah itu adalah sesuatu yang benar-benar tidak bisa diterimanya. Jiwa pegawai banknya pun keluar. “Mara, kita itu penting punya tabungan masa depan. Tabungan nikah, tabungan pendidikan anak, tabungan pensiun.”

Kania terus bicara panjang lebar tentang pentingnya mempersiapkan tabungan di usia mereka sekarang ini, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mara mengusap-usap pelipisnya, merasa seperti orang tuanya yang sedang berbicara padanya. Apalagi orang tuanya memang sering menyuruhnya untuk menabung, meski tidak sampai sedetil Kania penjelasannya.

Sementara yang lain sudah terbiasa dengan situasi itu dan maklum, memberi isyarat agar Mara bisa maklum juga. Rendy hanya mengulum senyum, dan Bagas geleng-geleng kepala. “Kadang lo bisa lebih bawel dari Ken, Ya.”

Sementara Ken yang namanya dibawa-bawa itu kini merangkul Mara dengan satu gerakan enteng. “Lo tenang aja, Ra. Gue udah ada kok tabungan nikah.”

Sontak saja ucapan Ken itu membuat suasana heboh kembali.

“Wah, apa tuh maksudnya? Apa maksud lo, Ken?” Kania.

“Kayaknya akan ada pasangan baru di Icarus. Tunggu, gue doang dong yang jomblo?” Bagas.

Rendy bertepuk tangan sambil tertawa-tawa.

Sementara itu Mara memutar mata mendengar ucapan Ken, dan sahutan-sahutan dari yang lain itu. Mara buru-buru melepaskan tangan Ken dari bahunya dan berdecak kesal. “Dasar playboy material!”

Dan seperti biasa, Mara kemudian mendengar Ken protes panjang pendek soal sebutannya itu. Berusaha keras membela diri kalau ia benar-benar bukan pria semacam itu. Mara hanya bisa memutar matanya kembali.


Baca bagian lainnya di sini:

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *