Last Mission: The Past Begins

last mission

Last Mission Bagian 1 | The Past Begins – CEKLEK.

Aku menghela nafas, kesal. Jemariku yang tadi sedang asyik mengetik langsung berhenti. Aku bangkit dari duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela dengan bantuan cahaya ponsel. Melihat keadaan sekitar apartemenku, dan ternyata semuanya gelap. Berarti mati lampu.

Kenapa mati lampu lagi? Padahal sekarang sama sekali tidak ada hujan atau petir. Aku buru-buru kembali ke laptopku, lalu menggerakkan mouse untuk menekan save. Jangan sampai kejadian seperti seminggu yang lalu file-ku hilang karena lupa di-save. Aku tidak mau pekerjaanku yang susah payah kukerjakan sampai menjelang pagi ini sia-sia.

Aku membetulkan letak kacamataku dan menekan ponsel, bermaksud menelpon PLN. Bagaimanapun juga pekerjaanku harus selesai.

Terdengar bunyi sambung di seberang sana. Aku menunggu. Tidak lama kemudian, terdengar suara sibuk. Mungkin banyak orang yang menghubungi PLN dini hari ini.

Aku mencoba menelpon lagi. Masih menunggu, sambil melilit-lilitkan jari telunjuk pada rambut panjangku.

“Ada yang bisa saya bantu?” terdengar suara operator.

Aku menghela nafas lega sebelum menyahut. “Mas, di tempat saya—”

Tiba-tiba semuanya semakin gelap. Bahkan cahaya dari ponsel pun tidak terlihat lagi.


Aku membuka mataku perlahan dan mendapati diriku sedang berbaring di sebuah kamar mewah. Tepatnya, setelah melihat sekeliling, di atas tempat tidur mewah dalam kamar mewah dengan perabot mewah juga.

Aku bangkit dan duduk, menyandar bantal kutumpuk tinggi sebelumnya. Mataku masih berkeliling mengamati seisi kamar ini. Dengan setumpuk pertanyaan di kepalaku.

Di mana ini? Siapa yang membawaku kesini? Apa aku diculik? Mengapa aku diculik dan ditempatkan di ruangan serba mewah dan tidak kurang satu apapun di tubuhku? Dan ada makanan dan minuman di meja dekat tempat tidur, apa itu aman dimakan? Atau ada racun di dalamnya?

Mataku berhenti pada satu titik. Tengkorak merah yang tergantung tidak jauh dari jam dinding.

Pertanyaan-pertanyaanku terjawab sudah. Aku tahu semua ini.

Pintu terbuka. Aku tersenyum sinis, menyadari kalau semuanya sudah dimulai. Kembali.

“Tidur nyenyak, Alora?” sapa seorang pria paruh baya berwajah khas Italia yang tadi membuka pintu. Ia kemudian duduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidur.

Aku bergerak, mengambil minum yang ada di meja dekat tempat tidur dan meneguk isinya. Seperti yang kubilang tadi, pertanyaan-pertanyaanku sudah terjawab. Termasuk di bagian apakah makanan dan minuman ini diracuni atau tidak.

“Oh, jangan bilang kau lupa dengan nama itu setelah sekian lama?” pria paruh baya itu mengangkat alis. “Jadi, apa aku harus memanggilmu Nia Rahmawati?” pria itu lalu tertawa terbahak-bahak, seolah melihat lawakan terlucu dalam hidupnya.

“Hei, kau tidak cocok dengan segala sesuatu yang terlalu normal. Apa ada yang pernah mengatakan itu sebelumnya?”

Aku meletakkan gelas. Mempertahankan ekspresi datar pada wajahku, dan itu bukan hal mudah. Tidak mudah ketika ada seseorang yang mengatakan hal yang paling kau benci di dunia ini.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah pukul 08.00.

“Aku harus menyerahkan laporan hari ini,” dengusku kesal. “Jadi, ada apa dengan semua ini? Sebaiknya ini merupakan hal yang penting, karena aku telah melewatkan hal yang sangat penting.”

Pria paruh baya itu terkekeh. “Apa itu? Laporan keuangan bulan kemarin dan perencanaan anggaran untuk semester depan? Mereka tidak akan memecat seorang ahli keuangan sepertimu hanya karena telat beberapa waktu, Alora.”

Aku mengumpat dalam hati. Aku memang tahu siapa yang kuhadapi, tapi aku tidak menyangka mereka mendapatkan informasi cukup lengkap mengenaiku. Tidak ada yang berhasil melakukannya setelah sepuluh tahun yang lalu.

Berarti mereka tidak bisa diremehkan.

Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju sofa menghampiri pria paruh baya itu. Aku lalu duduk di seberangnya.

“Cukup dengan basa-basinya. Langsung ke poin utama dan jangan bertele-tele. Aku tidak punya waktu,” ujarku. Aku memang benar, aku sudah tidak punya waktu untuk hal-hal seperti ini. Lagi.

“Aku setidaknya harus memberitahukan namaku dulu. Itu juga termasuk poin utama, kan?” pria paruh baya itu tersenyum lebar. Aku hanya menatapnya datar.

“Oke, oke. Aku Zeus. Senang akhirnya dapat bertemu denganmu,” pria itu mengulurkan tangan. “Aku pernah mendengar tentangmu. Juga tentang Benjamin. Ben-mu.”

Aku merasa wajahku memias mendengar nama-nama itu. Ben. Dan Zeus.

“Oh, jangan katakan kau tidak pernah bertemu lagi dengan Benjamin? Setelah sepuluh tahun, kau sama sekali tidak pernah melihat Ben-mu itu?” ujarnya lagi, menarik tangannya yang tidak disambut olehku. Ia tahu benar bagaimana membaca raut wajah seseorang. “Atau, kau kaget dengan Bahasa Indonesiaku yang lancar? Bukan hanya kau yang bisa belajar, Alora.”

“Cukup perkenalannya. Jadi ada apa dengan semua ini?” sahutku cepat.

Zeus terkekeh. “Kau tahu, Alora? Hanya kau yang berani memerintahkanku dua kali berturut-turut. Tapi tidak apa-apa, karena kau adalah Alora. Our great Alora.”

Aku menyipitkan mata, tidak suka mendengarnya.

“Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau sampaikan, sebaiknya segera kembalikan aku ke apartemenku. Aku sungguh-sungguh tidak punya waktu untuk semua ini,” ujarku lugas.

Zeus terkekeh lagi.

“Kau juga satu-satunya yang enggan untuk mendengarkanku, Alora. Dan siapa bilang ini tidak penting? Kau pasti tahu betul kalau segala urusan dalam dunia kita itu sangat penting,” Zeus menekan suaranya pada kata kita.

Aku tahu maksudnya. Karena itu, aku hanya memandangnya lurus-lurus.

“Ah, Alora. Kau benar-benar tidak punya sense humor, ya?” Zeus berlagak mengeluh. “Tinggal di negara yang terkenal dengan ramah-tamah dan basa-basi selama bertahun-tahun tidak membuatmu memiliki sifat seperti itu?”

Aku terdiam. Berarti setidaknya, aku masih di Indonesia. Atau bahkan mungkin masih di Jakarta.

“Soal dunia kita yang kau bicarakan, kau seharusnya tahu aku sudah lama bukan bagian dari kita itu,” ujarku, juga menekankan pada kata kita. “Ah, kau pasti tahu. Dengan kenyataan kalian mengetahui informasi tentangku.”

“Apakah dunia kita merupakan sesuatu yang bisa dengan mudah dimasuki dan ditinggali seperti hal lainnya? Seperti ketika kau berganti-ganti pekerjaan?” tanya Zeus, retoris.

Tidak. Itu sama sekali tidak mudah.

“Jadi, sebenarnya kau membawaku kesini untuk mendengar cerita hidupku?” sahutku sinis.

Zeus mengangkat kedua tangannya.

“Oke, oke. Nona ini sungguh tidak sabar, rupanya,” Zeus lalu menyilangkan kedua kakinya. “Ini persoalan hidup mati. Cukup penting, bukan?”

Aku terdiam. Mulai menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini.

“Kau tahu apa yang membuatku mengatakan kalau kau adalah Alora yang hebat? Karena setiap aku mengatakan kata NM7, tidak ada keterangan selanjutnya. Butuh waktu lima tahun untuk mendapatkan bahwa nama Alora berhubungan dengan hal itu. Dan empat tahun untuk mencari keberadaan Alora yang hebat itu.”

Deg. NM7.

“Itu bukan obat, tapi bencana! Ini semua sangat berbahaya, Ben!”

“Kehidupan kita memang penuh dengan hal yang berbahaya, Alo! Kau tahu itu!”

“Akan ada monster lain nanti!”

“Kehidupan kita memang tidak normal, Alo! Kita, kau, tidak cocok dengan segala sesuatu yang terlalu normal.”

“D-dia… dia mati!”

Aku membuang muka. Sekaligus berusaha mengusir bayang-bayang yang tiba-tiba muncul, setelah sepuluh tahun aku berusaha membuangnya jauh-jauh.

“Jadi, sekarang kau mengerti kalau ini urusan hidup mati? Ada seseorang dari kelompokku yang sedang sekarat dan sangat membutuhkan obat itu,” Zeus mengambil tablet PC dan menunjukkannya padaku.

Aku melirik sekilas. Tampak seseorang berada dalam sebuah tabung besar, dengan berbagai kabel melilit pada tubuhnya.

“Apa kau yakin dia sekarat? Kurasa kau yang membuatnya sekarat, untuk menjadi percobaan barang itu,” aku menekan suaraku pada kata barang.

Zeus tertawa kecil. “Alora, apa kau selalu sesinis ini? Bahkan dengan obat ciptaanmu sendiri,” Zeus menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik kembali tablet PC-nya.

Aku menepuk celana jins-ku pelan. Membersihkan debu yang baru kusadari ada di sana. Mungkin kudapat dalam perjalanan kesini.

“Kurasa, kau sudah tahu jawabanku. Ini semua sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Aku harus pergi sekarang. Kalian punya manner untuk mengembalikanku lagi, kan? Atau hanya akan menunjukkan pintu keluar? Aku tidak masalah dengan itu,” ujarku panjang lebar, bersiap bangkit.

“Bukankah sebelum itu, kau harus mendengarkan sampai selesai, Alora?”

Aku menoleh pada Zeus, yang menyodorkan lagi tablet PC. Mataku memendar, tidak percaya dengan yang kulihat di sana. Dengan ruangan, tabung, dan kabel yang serupa. Namun orang yang berbeda.

“Oh, jangan bilang padaku kau lupa orang ini?” Zeus berlagak mengeluh. “Baik, aku akan berbaik hati memberitahukan padamu. Dia Benjamin. Ben-mu, Alora.”

Mataku perlahan beralih menatap Zeus, yang kini sudah menyeringai lebar.

“Aku tidak seburuk yang kau pikirkan, Alora. Mana mungkin aku mengundangmu kesini tanpa ada sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu? Itu hanya akan membuang waktumu yang berharga, aku tahu,” ujar Zeus santai.

“Apa yang kau lakukan padanya?” tanyaku geram.

“Memangnya apa yang kulakukan? Ia sekarat, seperti anggota kelompokku yang kutunjukkan sebelumnya. Alora, apa kau tidak merasa kau terlalu pilih kasih? Terhadap dua orang dalam kondisi yang persis sama, kau memiliki respons yang jauh berbeda.”

Aku tercengang mendengarnya. Persis sama? Berarti, dia juga…

“Kau tahu, Alora? Aku tidak pernah mendesak siapa pun untuk melakukan sesuatu dengan cepat. Sudah kubilang, aku tidak seburuk yang kau pikirkan, kan?” ujar Zeus sambil tersenyum lebar. Senyum yang aku sadari persis seperti yang kudengar. Mematahkan lawan bicaranya.

“Jadi, sekarang gunakanlah waktumu dengan santai. Kau mungkin perlu istirahat beberapa waktu berhubung akhir-akhir ini kau kelelahan mengejar deadline pekerjaan kantormu, bukan?” Zeus bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.

Aku hanya terdiam, menatapnya lurus-lurus.

Beberapa langkah mendekati pintu, Zeus menoleh padaku. “Ah, aku baru ingat sesuatu. Kau tahu, aku bisa menunggu sampai kapan pun. Tapi ada orang yang tidak bisa menunggu lama, bukan?”

Ben yang di dalam tabung langsung terlintas di pikiranku.

“Selamat beristirahat, Alora,” Zeus melanjutkan langkahnya.

“Tunggu,” tahanku.

Zeus menoleh lagi. Menunggu aku berbicara.

“Di mana dia?”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

2 thoughts on “Last Mission: The Past Begins”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *