Kondangan

kondangan

Kondangan – Alunan musik khas Sunda terdengar merdu. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai lagu atau musik daerah. Meskipun aku memiliki darah sunda, aku tidak sepenuhnya mengerti Bahasa Sunda karena terlalu lama tinggal di Jakarta. Bahkan terkadang musiknya malah membuatku ingin tidur.

Tapi mendengarnya saat peristiwa sakral seperti ini terasa khidmat, dan menenangkan.

“Nanti pas nikah begini juga bagus, nih,” ujar Lisa yang berdiri di sampingku. Ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Dengan rambut yang sedikit tidak rapi itu pun Lisa masih terlihat cantik.

Aku mengangguk-angguk setuju. Melakukan pernikahan secara adat tidak seburuk perkiraanku dulu ternyata. Malah karena mengikuti prosesinya sejak awal, aku merasa tertarik dan ingin melakukan proses serupa untuk pernikahanku kelak.

Aku melambaikan tangan pada Devi, yang sedang berdiri anggun di pelaminan, bersama Danang yang kini resmi menjadi suaminya. Devi tersenyum lebar padaku, sambil bersiap-siap melakukan sungkem pada kedua orang tuanya.

Sungkem ini juga termasuk ritual, di mana kedua mempelai meminta doa restu pada orang tuanya. Danang memulai sungkem terlebih dahulu pada ibunya, diikuti Devi.

Ketika tiba giliran sungkem pada ibu Devi, Devi menangis deras. Aku termangu melihatnya, teringat saat lamaran seminggu yang lalu.

“Devi sebenernya juga belum siap nikah, Teh,” ujar Devi sambil menundukkan kepalanya.

Aku yang sedang menemani Devi di kamarnya, mengerutkan kening. “Loh, terus kenapa nikah sekarang?”

Devi masih tertunduk.

“Kasihan Ambu[1], Teh. Devi teh sebenernya mau kuliah dulu kayak Teteh, tapi Ambu bilang mumpung sudah ada yang melamar nikah saja dulu. Ambu pengen cepat tenang melihat Devi nikah, menjalankan pesan Abah. Devi mau liat Ambu bahagia, Teh.”

Aku terdiam mendengarnya. Abah Devi, yang merupakan pamanku, memang sudah meninggal sejak Devi duduk di bangku SMP. Pamanku itu memang ingin Devi segera menikah begitu ada pria baik yang melamarnya.

“Ya sudah nggak apa-apa, kan kamu bisa kuliah pas udah nikah nanti,” ujarku kemudian, agak tidak yakin.

Devi mengangkat kepalanya, menggeleng. “Akang Danang mah nggak akan kasih ijin, Teh. Akang Danang maunya Devi ngurus rumah aja.”

Aku membuka mulut, hendak protes dengan pemikiran calon suami adik sepupuku itu. Namun Lisa yang duduk di sebelahku langsung menahanku, menggelengkan kepala. Bukan saat yang tepat untuk protes.

Aku menurutinya. Akhirnya aku menggenggam tangan Devi erat, tersenyum padanya. “Devi anak baik. Bi Endah pasti bahagia punya anak kayak Devi.”

Lamunanku buyar begitu menyadari ada seseorang yang memanggilku. Aku menoleh, dan mendapati seorang wanita paruh baya sudah ada di belakangku. Aku tersenyum dan segera salim padanya, menyalami dan mencium tangannya.

“Duh neng geulis[2], sehat? Uwak[3] teh asa lama sekali tidak melihat si neng,” ujarnya, dengan Bahasa Indonesia yang cenderung baku diiringi logat Sunda yang masih kental. Sebagian besar saudaraku memang tahu kalau aku tidak begitu mahir berbahasa Sunda, jadi mereka berusaha berbicara menggunakan Bahasa Indonesia padaku.

“Sehat, Wak. Iya Wak baru pulang seminggu, pas lamaran Devi. Uwak sehat?” aku bertanya balik. Lebih pada basa-basi, karena sesungguhnya aku lupa siapa orang yang di hadapanku ini.

“Sehat atuh Uwak mah, rajin olahraga sudah tua juga!” serunya sambil tertawa. Aku ikut tertawa, sekali lagi demi basa-basi.

“Kamu kapan atuh nikah? Tuh si Devi aja yang baru lulus sekolah sudah nikah,” wanita ini menunjuk Devi yang masih melakukan sungkem. Kali ini pada mertua wanitanya.

Aku dan Lisa langsung saling pandang, tersenyum. Sudah terbiasa dengan perkataan seperti itu.

“Jangan lama-lama nikah mah, susah kalau sudah semakin tambah umur nanti,” ujar Uwak-ku itu lagi. “Sayang atuh cantik-cantik belum nikah juga.”

Aku hanya mengangguk-angguk. Tak lama, ia dipanggil oleh saudaraku yang lain— yang entah juga siapa namanya.

“Ngomong-ngomong, orang-orang pada ngeliatin lo dari tadi,” ujar Lisa. Mata indahnya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang luas ini. “Eh ralat, cowok-cowok, deh. Seperti biasa. Itu saudara-saudara lo?”

Aku mengikuti arah pandang Lisa, dan memang benar. Beberapa ada yang langsung mengalihkan pandangannya karena tertangkap basah sedang mengamatiku. Beberapa malah balik menatapku dan tersenyum lebar.

Gue nggak tahu. Lo kan tahu, gue nggak kenal saudara. Udah lama banget gue nggak pulang kampung,” sahutku kemudian.

“Mungkin sebentar lagi akan ada yang nyamperin lo terus nanya udah nikah apa belum,” ujar Lisa sambil terkekeh geli.

Ketika resepsi Wulan sebulan yang lalu, memang ada orang yang melakukan hal itu. Sampai sekarang aku masih ingat wajah pria itu, yang tampak sangat percaya diri namun membuatku melongo dengan pertanyaannya. Bagaimana bisa kau menanyakan hal seperti itu pada orang yang baru kau temui?

“Gue cuma nggak mau buang-buang waktu aja. Ngapain basa-basi ngajak kenalan terus pedekate, kelamaan.” Begitu yang dikatakan oleh pria itu.

“Ya nggak di sini juga kali, Sa. Ini kan Garut, bukan Jakarta. Nggak akan ada yang senekat itu!” sahutku geli. Setiap mengingat hal itu kami pasti tertawa geli. Kejadian langka yang selalu jadi hiburan tersendiri.

Aku lalu melihat ke arah kedua mempelai yang sudah menyelesaikan sungkem dan berdiri. Diikuti orang tua dan kerabat yang lain, kedua mempelai berjalan ke arah pintu keluar.

“Mau pada ngapain?” tanya Lisa heran. Aku mengangkat bahu, sama-sama merasa heran.

“Bu, ini mau ngapain?” tanyaku segera begitu mendapati ibuku ada di belakang kedua mempelai. Ibu langsung menarikku ke dalam barisan. “Ini mau melepas burung merpati. Kamu kemana aja dari tadi, Kak?”

Aku menunjuk tempatku berdiri tadi. “Di situ, ngeliatin Devi dan ngobrol sama saudara.”

Ibu mengangkat alisnya. “Saudara? Siapa?”

Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu. Ngobrol aja, orang diajak ngobrol masa aku diemin.”

Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Jarang pulang kampung sih, jadi nggak kenal saudara. Oh iya, Nisa mana, Kak?” Ibu celingukan mencari adikku itu.

“Nah itu juga yang mau aku tanyain ke Ibu. Nisa mana? Aku nggak liat dari tadi,” ujarku.

“Kalian kalau lagi acara begini suka menghilang begitu, sih,” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kami sudah di luar ruangan. Kulihat mertua wanita dari kedua belah pihak sudah memegang merpati. Aku mengerutkan kening. “Bu, kok yang megang merpati malah ibunya, sih? Bukan pengantinnya?”

“Melepas merpati itu simbol bagi orang tua melepas anaknya untuk kehidupan rumah tangga, Kak. Ibunya Devi megang merpati betina, Ibunya Danang megang merpati jantan,” Ibu menunjuk ke arah kedua mertua tersebut. Aku mengangguk-angguk dan siap memotret momen itu dengan ponselku.

“Makanya kalau ada saudara nikah tuh datang, biar tahu pernikahan adat. Kalau kamu sama Devi nggak dekat dari kecil, Ibu yakin kamu nggak akan datang juga,” ujar Ibu kemudian. Ibu mulai mengomel.

Aku hanya terus mengangguk-angguk, karena kalau dibantah akan panjang urusannya.

“Tadi saudara-saudara sampai nanyain terus ke Ibu, itu anak yang pertama siapa namanya? Mereka lupa nama kamu saking lamanya nggak ketemu. Sibuk kerja boleh, tapi jangan putus silaturahmi dong, Kak. Silaturahmi kan memperpanjang umur juga,” Ibu melanjutkan ceramahnya. Ibu lalu memandangi kedua mertua yang tersenyum bahagia itu. “Kapan ya, Ibu yang ngelepas merpati buat kamu?”

Aku terdiam. Kalau Ibu sudah begitu, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Bu!”

Aku dan Ibu menoleh, mendapati Nisa sudah ada di belakang kami. Aku tersenyum lebar. Di mataku, Nisa yang baru datang dengan terengah-engah itu adalah pahlawan yang menyelamatkanku dari pertanyaan Ibu yang tidak enak tadi.

“Kamu dari mana aja? Ibu cari-cari dari tadi!” seru Ibu gemas.

“Ini nyari si Iyan! Tahu nggak Bu, dia dari tadi udah makanin kue cucur aja sendirian. Aku cari-cari ke mana ternyata lagi mojok aja makan,” ujar Nisa sambil membersihkan sisa-sisa kue dari mulut anaknya. Iyan yang berada di gendongannya itu memang sangat suka makan.

“Duh si gendut Iyan, udah kelaparan, ya? Kasian amat sih orang gedenya pada sibuk, Iyan jadi nyari makan sendiri deh,” aku mencubit pelan pipi anak usia tiga tahun yang tembam itu.

“Tante…,” Iyan mengulurkan tangannya, meminta untuk digendong olehku. Aku memasukkan ponselku ke dalam tas, lalu menarik Iyan ke pelukanku. “Aduh aduh Iyanku yang ganteng, mau makan lagi, nggak?”

Iyan langsung mengangguk. Aku, Nisa, dan Ibu tertawa melihatnya.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

4 thoughts on “Kondangan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *