Firasat

firasat

Firasat – Kata orang, hati nurani tahu segalanya. Ia dapat merasakan apa yang dilakukan oleh kita benar atau salah. Ia juga bisa menunjukkan kita jalan keluar saat kita merasa tersesat. Tersesat dalam suatu keadaan yang gelap dan mencekam. Katanya juga, hati nurani dapat membisikkan pada kita bila akan terjadi sesuatu yang buruk. Semacam firasat.

Hei, hebat sekali hati nurani itu. Apakah ia Tuhan? Atau kiriman spesial dari Tuhan? Malaikat, begitukah aku dapat menyebutnya?

Atau, peramal? Karena bisa memberitahu bila ada sesuatu yang buruk.

Selama ini aku merasa sepertinya hati nuraniku lupa kembali pada diriku. Sudah tiga tahun aku tidak merasa ditunjukkan apakah yang kulakukan benar atau salah. Dan juga tidak merasa ditunjukkan jalan keluar. Sepertinya ia pergi dan lupa kembali pada diriku. Atau, ia kebingungan antara aku dan orang lain? Mungkin ada seseorang yang benar-benar mirip denganku.

Tapi akhir-akhir ini, nampaknya hati nuraniku mulai kembali. Beberapa hari ini, aku mendapatkan firasat buruk. Aku sama sekali tidak sedang sedih, tapi rasanya ingin selalu menangis. Seperti ada sesuatu entah dimana, yang terjadi dan itu buruk. Sangat buruk, mungkin. Karena rasanya sangat sesak.

Hari pertama aku merasakannya, hari Selasa, kukira akan kudapat jawabannya esok. Tapi ternyata keesokannya semua berjalan seperti biasa. Aku bangun tidur dan kembali bekerja memberikan tiket pintu tol. Dan tidak ada yang terjadi. Bahkan kecelakaan lalu lintas yang beberapa kali terjadi di jalur tol pun tidak terjadi hari itu.

Hari itu aku kembali berpikir akan mendapat jawabannya esok, karena aku merasakan lagi firasat buruk itu. Kamis pagi masih seperti biasa. Sebelum berangkat kerja, aku mampir di toko dekat kontrakan untuk membeli roti dan kumakan di jalan.

Tidak ada hal aneh yang terjadi. Tetanggaku masih bising mengenai air yang sulit dan listrik yang sering mati. Ibu-ibu seberang warung meneriaki anaknya yang ketahuan mencuri di swalayan seberang pemukiman kami, seperti seminggu yang lalu.

Hari ketiga, keempat, dan kelima masih sama. Aku masih merasakan firasat buruk itu dan masih berpikir akan mendapat jawabannya esok harinya. Namun hal-hal tetap terjadi sebagaimana biasanya.

Pulang kerja aku membeli mie instan dan memakannya begitu sampai kontrakan petakku. Mengangkat pakaian yang kujemur tadi pagi, yang beberapa terkena sedikit percikan air selokan yang suka disiram tetangga belakang kontrakan ke jalanan. Supaya jalan tidak berdebu, katanya.

Aku hanya tersenyum waktu itu. Mau disiram dua gentong besar air juga tetap saja lingkungan ini berdebu dan panas.

Tunggu, apa ini bukan firasat buruk? Apa ada gangguan dengan pernafasanku, jadinya aku sering merasa sesak?

Meskipun aku tidak tahu bagaimana bentuk dan cara kerja firasat buruk, namun kurasa ini sudah terlalu lama sebagai firasat buruk. Dan rasanya sangat tidak enak. Aku selalu ingin menangis tanpa tahu ada apa, dan kenyataannya air mata tidak pernah keluar. Itu lebih menyakitkan daripada harus menangis semalaman dan membuat bengkak besar di mata pagi harinya.

Lagipula, sudah lama aku tidak menangis. Hal-hal dalam hidupku sekarang tidak menarik lagi untuk ditangisi. Lagipula aku tidak dapat merasakan apapun sekarang. Tidak sedih.

Tidak bahagia. Dan tidak ada yang diinginkan.

Jadi, karena tidak ada hal-hal yang dapat memancing emosi, kurasa ini memang bukan firasat buruk. Akan kuperiksakan ke dokter besok. Kurasa uang di bawah kasurku sudah banyak sekarang. Karena tak pernah kugunakan.


“Sudah berapa lama mengalami ini, Mbak?” tanya dokter cantik di hadapanku dengan ramah.

Tumben, biasanya dokter rumah sakit ini sudah tua. Dan juga tidak ramah. Apalagi pada pasien yang berpenampilan sepertiku –rambut acak-acakan, kaos oblong dan celana training pudar—, yang tidak meyakinkan mempunyai uang untuk menebus obat.

“Lima hari,” sahutku pendek. Aku memandangi isi ruangan ini. Semuanya serba putih dan sangat bau obat. Tapi tidak apa-apa, toh aku tidak terganggu dengan apapun sekarang.

“Dari hasil pemeriksaan sementara, tidak ada tanda-tanda ada penyakit yang berhubungan dengan pernafasan Mbak. Dilihat dari…,” Dokter cantik itu lalu berbicara panjang lebar mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pernafasan. Aku tidak mengerti.

“Jadi Mbak sehat, kok. Mungkin perlu sering-sering olahraga dan menghirup udara yang segar. Ini saya berikan vitamin aja ya, Mbak,” Dokter itu kemudian menuliskan resep.

Aku hanya mengangguk. Bahkan orang sehat pun diberi obat. Betapa mudahnya dokter mendapat uang. Tapi aku tidak berniat menyanggahnya. Lagipula uangku memang tidak kugunakan untuk apapun.

“Semoga sehat terus ya, Mbak,” ujar Dokter cantik itu dengan senyum lebar. Aku lagi-lagi mengangguk.


Setelah ke dokter dan ternyata aku sehat-sehat saja, ternyata aku masih merasakan hal tidak enak itu. Bahkan lebih parah. Dua hari ini aku terbangun tengah malam hanya karena rasa sangat ingin menangis dan sesak itu. Akhirnya kuputuskan itu memang firasat buruk.

Esoknya ketika di tempat kerja, aku menceritakan tentang apa yang kualami pada Mbak Dewi. Aku memang tidak dekat dengannya, namun ia paling tua dan kelihatan paling bijak di tempat kerjaku. Sebenarnya aku memang tidak dekat dengan siapapun. Dan jarang bicara dengan siapapun.

Mbak Dewi terpana beberapa saat begitu aku menceritakan firasat burukku ini. “Wah, Nita. Mbak baru pertama kali denger kamu ngomong sepanjang ini.”

Aku hanya tersenyum kecil. Alasanku bekerja sebagai penjaga gerbang pintu tol adalah pekerjaan ini tidak membutuhkan banyak bicara. Hanya menerima uang dan memberikan bon. Paling sepatah-dua patah kata pada pengemudi yang minta uangnya ditukar receh atau menanyakan sesuatu.

“Ada sesuatu sama keluarga kamu, kali? Kamu udah ngehubungin mereka?”

“Nggak ada, Mbak,” aku menggeleng. Bukan karena aku sudah menghubungi mereka, tapi karena mereka memang sudah tidak bisa dihubungi. Tiga tahun lalu mereka semua meninggal dalam kecelakaan pesawat.

Sebenarnya beberapa kali sempat terpikir untuk menyusul mereka. Namun kurasa tidak ada gunanya. Kalaupun aku mati, belum tentu aku berkumpul dengan mereka. Kata guru agama, kita di kuburan itu sendiri. Jadi meskipun aku mati, tidak akan bersama dengan keluargaku, kan?

“Atau, saudara yang lain? Tante atau Om, mungkin?”

Aku kembali menggeleng. Saudaraku semuanya ada di Australia, karena orangtuaku memang asli sana. Dan mereka pasti mengira aku juga meninggal dalam kecelakaan pesawat itu.

Akupun tidak menghubungi mereka atau keberatan dengan hal itu. Toh itu tidak mengubah apapun.

Mbak Dewi bersidekap, tampak berfikir. “Hmmm, apa ya? Kata kamu nggak ada hal-hal yang aneh seminggu ini. Apa temen deket kamu, mungkin?”

Aku mengangkat kepala.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

2 thoughts on “Firasat”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *