Hati

hati

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana bisa hati yang ukurannya kecil dibanding seluruh tubuh bisa mempengaruhi seluruh tubuh itu sendiri? Bisa menggerakkan seluruh tubuh itu sendiri?

Hati yang begitu kecil, yang keberadaannya bahkan tak kasat mata, nggak seperti organ atau bagian tubuh lain; bagaimana bisa punya pengaruh sebesar itu?

Dan saat memikirkan hal itu, aku merasa kalau manusia benar-benar makhluk yang lemah. Kita bahkan nggak bisa menguasai hati kita sendiri; bagian kecil dari tubuh kita, dari hidup kita. Hati yang begitu kecil tapi menggerakkan seluruh tubuh itu bahkan bukan benar-benar milik kita. Kita nggak bisa selalu mengendalikannya untuk dapat bergerak sesuai apa yang kita inginkan, apa yang ada dalam logika kita.

Kalau bisa mengikuti keinginan dan logika, aku mau hatiku tetap tenang dan tentram. Tidak bersedih, tidak takut, tidak khawatir. Selalu bahagia. Selalu bersyukur. Lebih banyak mencintai dan tidak membenci. Mudah memaafkan orang. Tidak mudah terluka.

Kalau hati dapat selalu begitu, hidupku akan selalu tenang dan berjalan dengan baik, kan?

Tapi pada kenyataannya toh aku tidak bisa mengendalikan hatiku sendiri. Hati yang kecil itu. Yang tidak kasat mata kalau dari segi medis atau organ tubuh itu. Yang ada dalam tubuhku sendiri, dalam diriku sendiri. Sesuatu dalam tubuh dan diriku berarti adalah milikku, itu yang aku pikir.

Tapi tidak. Hati yang kecil tapi mengendalikan seluruh tubuh dan diriku itu ternyata bukan sepenuhnya milikku. Ternyata aku bahkan tidak dapat menguasai dan mengendalikan sesuatu yang hanya sekecil itu saja.

Jadi bagaimana bisa selama ini aku berpikir kalau aku dapat mengendalikan penuh hidupku, yang jauh lebih besar? Kalau hatiku sendiri saja tidak dapat aku miliki kendali sepenuhnya.

Ternyata lagi-lagi Al-Qur’an benar. Aku sangat tidak berdaya. Manusia sangat tidak berdaya. Kita benar-benar tidak berdaya atas hati kita sendiri, atas diri kita sendiri, atas hidup kita sendiri. Selama ini kita salah paham kalau semua yang kita kira milik kita adalah benar-benar milik kita. Yang selalu bisa kita atur, kuasai, kendalikan, sesuai dengan keinginan. Atau logika. Atau harapan.

Tapi ternyata tidak.

Jadi mungkin selama ini aku terlalu sombong, menganggap dapat mengendalikan hidupku karena berpikir hidupku adalah milikku sendiri. Mungkin selama ini aku terlalu sombong menganggap hal-hal baik dalam hidupku adalah berkat perjuanganku, dan hal-hal buruk adalah akibat aku salah mengambil keputusan.

Mungkin aku terlalu sombong hingga melupakan kenyataan absolut, tidak dapat diganggu gugat, bahwa Allah-lah pemilik hidupku dan diriku, juga hatiku. Kalau Dia-lah yang mengatur dan mengendalikan hidupku. Bukan aku sendiri. Sama sekali bukan diriku yang tidak berdaya ini.

(Migrasi dari Tumblr, 14 Agustus 2020)

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *