Almost

almost

Almost – Short Story. “Dian, itu barang-barang di atas lemari kamu beresin!”

Dian yang baru saja merebahkan tubuhnya di sofa, terlonjak kaget mendengar teriakan ibunya itu. Sambil ngedumel dalam hati mengenai betapa ibunya tidak bisa membiarkan dirinya beristirahat barang sebentar, Dian melangkah menuju kamarnya.

“Itu kamu naruh apa aja sih di atas lemari? Kan Ibu udah bilang jangan suka numpuk barang, kalo nggak kepakai ya buang. Itu kayaknya udah lama banget ada disitu,” cerocos Ibu panjang lebar begitu Dian sudah muncul di ambang pintu.

“Lupa, Bu,” sahut Dian seraya menarik kursi dari depan meja rias. Diiringi dengan suara omelan Ibu mengenai keteledoran dan kemalasan dirinya yang susah hilang, Dian menaiki kursi dan mengambil kardus yang cukup besar dari atas lemari.

Bruk.

Beberapa benda terjatuh. Dian menoleh ke bawah, melihat Ibu memungut benda-benda itu. Ibu lalu mengulurkannya pada Dian. “Ini bekas kamu OSPEK, bukan?”

Dian termangu. Dilihatnya notes kecil, name tag, pita, dan tas karung yang menjadi atribut khas OSPEK dengan pandangan nanar. Ia lalu berucap pelan. “Oh, ini masih ada?”

“Ya masih ada lah, kan kamu nggak pernah beresin!” seru Ibu seraya menyerahkan benda-benda itu ke tangan Dian. Masih terus bicara, Ibu beranjak keluar kamar Dian.

“Udah kamu beresin cepet, Ibu mau masak dulu.”

Sementara Dian masih termangu, menatap benda-benda di tangannya. Pikirannya langsung melayang ke masa lalu.


September, 2009.

Dian memainkan name tag sebesar layang-layang yang dipakainya dengan wajah memberenggut. Dian sudah ada di posisi seperti itu sejak setengah jam yang lalu, ketika diputuskan kalau ia menjadi wakil ketua dari kelompok Mangga ini.

Ah, Dian juga masih sangat memiliki protes mengenai nama kelompok yang diberikan oleh panitia itu. Ini sudah tahun berapa, mengapa masih saja nama kelompok OSPEK perguruan tinggi menggunakan nama buah?

Oke, lupakan sejenak soal nama kelompok. Karena meskipun nama itu kekanakan dan agak memalukan, Dian masih bisa bercanda dengan teman-teman barunya sebelum setengah jam yang lalu. Tapi tidak setelah

“Udah dong, Di. Cemberut lo kelamaan tuh,” senggol Ambar, yang sudah mengenal Dian sejak SMA. Ambar sudah paham betul bagaimana watak temannya ini kalau sudah bad mood.

“Ya abis gimana gue nggak bete coba, Mbar? Lo lihat sendiri tadi tuh anak gimana kelakuannya! Masa mau nambah lagi pake tali rafia buat dandanan kita, nggak lihat segini juga udah kayak orang gila?!” seru Dian berapi-api.

Ambar menepuk-nepuk bahu Dian, berusaha menenangkan temannya itu. Namun Ambar sendiri menahan tawa teringat kejadian tadi. Dian dan Bima, ketua kelompok mereka, berdebat panjang soal penambahan atribut khusus untuk kelompok mereka saja. Bima bersikukuh kalau itu akan jadi ciri khas kelompok, sedangkan Dian menentang mati-matian karena itu terlalu memalukan. Pertengkaran itu mungkin mengesalkan bagi Dian, tapi jadi hiburan tersendiri bagi anggota kelompok lain yang asyik menonton mereka.

“Ya, namanya juga anak Seni, Di. Wajar lah kalo pikirannya agak-agak…,” Ambar memikirkan kata yang tepat. “…unik.”

“Nyeleneh!” sergah Dian cepat. Lalu mengeluhkan hal yang sudah ia ucapkan setengah jam terakhir. “Lagian kenapa sih OSPEK-nya digabung satu kampus? Kenapa nggak satu jurusan aja?”

“Itu sih kebijakan kampus yang udah nggak bisa lo protes, Di,” sahut Ambar. Dalam setiap kelompok OSPEK memang terdiri dari mahasiswa berbagai jurusan. Dian dan Ambar sendiri dari jurusan Manajemen.

“Oke, oke,” Dian mengangguk-angguk, tapi kemudian mengeluarkan hal lain yang ia keluhkan juga setengah jam ini. “Tapi kenapa harus milih ketua yang kayak gitu, sih? Kan banyak anak yang lain!”

“Ngomongin gue, ya?”

Dian dan Ambar menoleh, mendapati Bima sudah ada di belakang mereka sambil cengengesan. Dian semakin kesal melihatnya. “Iya!”

Bima berlagak kaget. “Wah, apa lo nggak terlalu jujur? Bener kata orang, jujur itu menyakitkan.”

Ambar menahan tawa mendengarnya, sementara Dian sudah melotot garang. Bima tertawa-tawa kecil seraya mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke. Gencatan senjata, dong! Gue udah bilang ke anak-anak nggak usah pakai atribut tambahan.”

Mata Dian memendar, menjadi lebih rileks. Bibirnya juga tidak mengerucut lagi. “Beneran?”

“Bener, dong! Bohong kan dosa,” seloroh Bima enteng. Ia lalu menepuk-nepuk bahu Dian. “Nah, gini dong. Jangan marah-marah aja. Masa cewek cemberut terus?”

Dian langsung menepis tangan Bima, memelototi cowok itu lagi. “Jangan pegang-pegang! Apaan sih lo?” seru Dian galak.

Bima melongo, sementara Ambar sudah terbahak-bahak menyaksikan kedua orang itu sedari tadi. Dian sendiri masih mengomel panjang-pendek. Bima lalu mengangkat kedua tangannya lagi.

“Oke, oke. Gila, galak banget sih lo,” ujar Bima, tapi bibirnya mengulas senyum kecil. “Sepuluh menit lagi kumpul, ya. Jangan lama-lama marahnya!” seru cowok itu seraya beranjak pergi.

“Di, Di,” Ambar geleng-geleng kepala, di sisa-sisa tawanya. “Lo berdua lucu banget, sih. Bisa-bisa lo cinlok sama si Bima nanti.” Dian melotot untuk yang ketiga kalinya. “Gila lo, sembarangan aja kalo ngomong! Nggak bakal, lah!”


Tapi ucapan Ambar benar. Setelah hampir dua minggu berdebat mengenai berbagai hal, karena Bima yang suka melontarkan ide-ide aneh dan Dian yang paling tidak terima dengan semua ide itu, OSPEK pun selesai. Dan Dian mulai menyadari kalau ada berbeda dengan hatinya.

Perbedaan itu mulai dirasakan Dian ketika matanya selalu mencari-cari sosok yang biasa dilihatnya dua minggu belakangan, sosok yang sebelumnya sangat mengesalkan bagi Dian. Namun karena tidak satu jurusan, Dian tidak kunjung melihat Bima. Tak kehabisan akal, Dian kerap mengajak Ambar ke perpustakaan yang berdekatan dengan gedung Seni. Siapa tahu berpapasan dengan Bima.

Hingga Ambar merasa kalau aneh seorang Dian Nurmala yang dikenalnya baru belajar sehari sebelum ujian itu selalu mengajaknya ke perpustakaan. Tidak mungkin temannya itu berubah dalam satu malam menjadi rajin. Setelah diinterogasi Ambar sepanjang makan siang, Dian pun menceritakan yang sebenarnya.

“Lo sih Mbar, pake ngomong yang enggak-enggak. Kejadian beneran, kan?” gerutu Dian, setelah mengakhiri pengakuannya.

“Kok gue disalahin? Yang punya hati kan elo,” sahut Ambar seraya terkekeh. Dian hanya manyun mendengarnya. Ambar pun berkata lagi. “Jadi gimana? Mau gue bantuin? Gue kan ada kenalan tuh anak Seni, nanti bisa minta tolong dia juga buat comblangin.”

Dian langsung menggeleng cepat.

“Jangan lah! Urusan gue kok se-RT yang turun tangan,” ucap Dian. “Lagian tengsin gue, selama ini kan gue berantem mulu sama tuh anak kerjaannya.”

“Benci jadi cinta dong,” Ambar bersiul, tapi langsung berhenti begitu dipelototi Dian. Ambar lalu berlagak serius, mencoba menganalisis keadaan. “Kalo gue lihat sih, kalian tuh sebenernya udah deket. Ya meskipun berantem mulu, tapi karena itu kan lo jadi deket sama dia.”

“Terus, terus?” tanya Dian, tertarik dengan analisa Ambar.

“Yaa terus, lebih gampang buat membuat skenario pertemuan kalian terjadi. Kita bilang aja reuni Mangga kek, atau apa kek. Gampang lah,” sahut Ambar.

“Skenario? Emang ini film?” Dian meringis. “Gue nggak mau ah, yang terlalu direncanakan gitu. Lagian reuni kelompok OSPEK tuh maksa banget nggak, sih?”

“Yee, mau ketemu Bima, nggak?” todong Ambar. Dian mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal, lalu mengangguk malu-malu. Ambar menjentikkan jarinya, mulai menyusun berbagai skenario di kepalanya.

“Eh tapi, dibikin lebih natural ya, Mbar? Jangan keliatan direncanain banget gitu, nanti ketahuan dong. Pokonya kayak biasa aja, jangan heboh gitu. Terus—”

“Iya, iya. Lo jangan bawel dong, gue lagi mikir nih. Udah lo percaya aja sama mak comblang handal ini,” ujar Ambar, memotong rentetan penuh kekhawatiran dari Dian.

Dian mencibir. “Handal apaan? Jomblo dari lahir juga lo.”

“Siapa yang jomblo dari lahir?”

Dian dan Ambar terlonjak kaget mendengar ada yang tiba-tiba menyahuti pembicaraan mereka. Ketika menoleh, mereka melihat Bima yang cengengesan di belakang mereka. Lalu dengan santainya cowok itu menarik bangku plastik dari kolong meja. Duduk berseberangan dengan Dian dan Ambar.

“Lo dari kapan disitu? Lo nggak nguping, kan?” tanya Dian cepat, setengah panik. Kalau Bima mendengar semua percakapan mereka, mau taruh dimana mukanya?

Bima terkekeh mendengarnya.

“Masih galak aja lo. Padahal gue kira dua minggu nggak ketemu bakal lebih jinak,” ujar Bima. “Tenang aja, gue bukan tukang nguping, kok. Kebetulan tadi gue ngelihat kalian dari jauh, terus gue kesini aja.”

“Kok lo bisa ada di kantin sini?” tanya Dian lagi.

Bima mengangkat bahu.

“Yaa, lagi main aja. Emang nggak boleh, anak jurusan lain makan di kantin Manajemen?” seloroh Bima santai. Ia lalu memandangi Dian dan Ambar bergantian. “Jadi, siapa yang jomblo dari lahir?”

Dian baru mau menyahut lagi ketika Ambar segera berucap. “Gue,” ujar Ambar, nyengir.

Ia lalu melirik Dian, memberi isyarat untuk tidak meledak-ledak lagi. Bisa kacau misi percomblangannya kalau orang yang mau dicomblangkan malah marah-marah terus pada target.

“Cuma elo?” tanya Bima.

Dian dan Ambar berpandangan bingung. Tapi kemudian Ambar menyadari sesuatu, dan tersenyum. Ia langsung menggeleng cepat. “Dian juga, kok.”

Bima tersenyum. “Bagus.”

Dian terpengarah mendengarnya. Di kepalanya langsung berkecamuk berbagai pertanyaan. Gue nggak salah denger, kan? Itu apa maksudnya? Apa maksudnya?

“Oh iya Bim, weekend ini lo ada acara, nggak?” tanya Ambar, memecah keheningan yang sejenak muncul di antara mereka. “Gue sama Dian tadi lagi ngomongin, seru kali ya kalo kelompok kita kumpul-kumpul gitu.”

Dian meringis kecil, tidak menyangka Ambar benar-benar menjalankan ide itu.

“Yakin lo berdua ngomongin itu? Kok muka temen lo ini nggak enak abis lo bilang gitu?” tanya Bima, sambil menunjuk wajah Dian. Dian langsung menghalau jari telunjuk Bima yang ada di depan hidungnya. “Apaan sih lo, tunjuk-tunjuk muka orang!”

“Ya abis kalo megang kan nggak boleh,” sahut Bima enteng. “Apa sekarang udah boleh?”

Dian melotot. “Ya enggak, lah!”

“Terus kalo nggak boleh orang pegang elo, kenapa lo boleh pegang orang?” tanya Bima, melirik jari telunjuknya yang masih dipegang Dian. Dian yang baru menyadari hal itu segera melepaskan tangannya dari jari Bima. Dian lalu berdehem, jadi salah tingkah sendiri.

Bima menahan senyum melihatnya, namun segera memasang wajah galak yang dibuat-buat.

“Nah, curang kan lo? Gue nggak boleh megang, tapi lo megang. Sini gantian tangan lo gue pegang!” seru Bima seraya mengulurkan tangan hendak menyentuh tangan Dian.

Dian segera menyembunyikan tangannnya di balik punggung. “Ih apaan sih lo, kan gue nggak sengaja!”

“Nggak mau tahu, pegang ya tetep aja pegang. Nyawa dibalas nyawa, pegang dibalas pegang!” ujar Bima sambil bangkit dari tempat duduknya menghampiri Dian. Dian menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ikut bangkit dan  berlindung dibalik Ambar.

Ambar hanya tertawa-tawa melihat kelakuan mereka berdua. Membayangkan rencana percomblangan yang sudah tersusun manis di kepalanya akan berjalan lancar.

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *