Pendidikan, Jembatan Antara Tahu dan Tidak Tahu

pendidikan

“Ada perbedaan besar antara tahu dan tidak tahu, dan muaranya adalah pendidikan.”

It’s been a loooooong time blogging 😀

Topik pendidikan sendiri sebenarnya merupakan salah satu topik yang menjadi interest saya. Jadi ketika teman saya; Ratih Cahaya, nanya apa pendapat soal pendidikan, saya sangat amat bersemangat share opini itu.

Dan jadi terdorong juga buat sharing di blog. Didorong Ratih juga sih hehehe karena sejujurnya sampai beberapa jam yang lalu saya masih ragu bakal bisa posting lagi nggak. Karena seperti yang saya bilang di awal, it’s been a long long long time 🙂

Oke, balik lagi ke pendidikan. Sebenarnya saya masih dalam sisa-sisa patah hati (?). Karena kebetulan beberapa bulan yang lalu saya baru saja terlewatkan oleh kesempatan buat lanjut kuliah lagi.

Saya sangat suka Ilmu Komunikasi, bidang yang saya ambil pas S1. Sangat suka pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari kuliah dulu dan sangat ingin bisa lanjut belajar di jenjang yang lebih tinggi. Cuma ya belum rejeki kali yaa, mungkin lusa atau di lain hari saya bisa dapat kesempatan buat lanjut kuliah. Sambil sekarang terus belajar dari berbagai sumber nggak harus bangku formal dulu hehehe.

Oke (lagi), setelah opening dan curcol; sekarang masuk ke paragraf topik yang mau saya bahas dari judul yang saya tulis di atas. Jadi statement “Ada perbedaan besar antara tahu dan tidak tahu, dan muaranya adalah pendidikan,” itu saya sadari pas saya lagi nulis bahan buat persiapan saya tes beasiswa tahun kemarin (iya yang terus terlewatkan itu :D).

Tahu dan tidak tahu ini mungkin seperti hal sepele. Tapi kalau kita pikirkan lagi itu memberikan perubahan yang besar bagi kehidupan kita. Jadi kayak ada perbedaan fase antara saat kita belum tahu, dan saat kita sudah tahu di mana segala sesuatu tidak terlihat sama lagi.

Ketika kita tidak tahu, kita tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang kita alami, lihat, atau rasakan. Mungkin cuma bisa merasa ada sesuatu yang tidak beres tapi tidak tahu apa. Karena kita tidak tahu kalau itu adalah suatu masalah, kita tidak bisa berbuat apa-apa lalu akhirnya membiarkan terus terjadi lagi dan lagi. Dan sebenarnya bukan cuma masalah, perkara tahu dan tidak tahu ini mempengaruhi hal-hal paling kecil sampai yang besar.

Hal simpel yang pernah saya alami adalah rute perjalanan saya dari rumah ke kantor, yang sudah mengalami tiga kali perubahan berkat revolusi (?) dari tidak tahu menjadi tahu. Pertamanya saya pakai jalur yang terjauh, karena saya tahunya daerah kantor itu cuma ada satu pintu dari depan.

Ternyata ada pintu baru di belakang yang membuat perjalanan saya terpangkas lebih cepat sekitar 10 menit. Dan saya baru tahu itu dari teman kantor. Lalu setelah hampir satu tahun lewat rute itu, saya baru sadar ada rute yang lebih cepat lagi. Ketika iseng-iseng lihat di google maps ternyata ada jalur yang lebih cepat dan memangkas perjalanan sekitar 5-10 menit lebih cepat.

Ketika saya menyadari kalau selama ini saya menggunakan jalur yang lebih jauh, saya bertanya-tanya sendiri. Kalau saja saya mengetahui jalur ini lebih cepat; berapa banyak waktu yang bisa saya hemat?

Hal lain yang agak lebih serius dibanding rute perjalanan adalah bullying. Istilah bullying itu belum begitu ramai digunakan pas saya masih sekolah. Dan saya baru sadar kalau dulu saya belum tahu ketika bahas soal bullying dengan adik saya yang terakhir (waktu itu dia sekitar kelas 5 atau 6 SD).

Di situ saya kepikiran, dulu waktu saya seumur dia mana tahu soal bullying. Nggak ada yang edukasi kami soal itu; cuma dibilang jangan ini jangan itu tapi ya sudah sampai situ saja.

Dan kalau saya pikir-pikir lagi, mungkin dulu pun saya dan teman-teman saya pernah melakukan praktik bullying itu tanpa sadar. Meski dalam skala yang ringan; atau setidaknya mengarah ke arah bullying itu.

Tapi saat itu kami tidak tahu dan tidak paham. Yang kami tahu cuma kami sedang bercanda dengan teman dan mengabaikan kenyataan bahwa teman kami sakit hati dengan perlakuan kami. Rasa bersalah itu muncul kemudian ketika saya tahu dan sadar apa itu bullying. Dan sayang sekali itu sudah sangat lama berlalu.

Ketika itu saya pun bertanya-tanya. Kalau saja saya mengetahui soal bullying itu lebih cepat; kalau saja ada yang mengedukasi kami dengan baik soal itu, mungkin kami bisa mempunyai kesempatan meminta maaf pada teman kami itu?

Hal lain yang lebih serius dan mungkin agak berat pembahasannya. Yaitu fenomena sosial lain terkait power seperti sexual harrasment, gender discrimintation, dan power abuse. Saya mengenal istilah-istilah itu sejak belajar Ilmu Komunikasi dan teredukasi juga dari beberapa media lain, yang kemudian membuat hal-hal terlihat berbeda dibanding saat saya belum tahu.

Saya banyak membatin, “Oh ternyata yang waktu itu sebenarnya termasuk sexual harrasment. Oh ternyata waktu itu sebenarnya termasuk gender discrimination, power abuse.” Hal yang dulu saya lihat dan rasakan cuma sebatas sesuatu yang tidak mengenakkan tapi tidak tahu apa namanya dan di mana letak salahnya, kemudian terlihat menjadi sesuatu yang berbeda dan jauh lebih jelas; sesuatu itu sudah bernama.

Dan lagi-lagi, perbedaan besar antara tahu dan tidak tahu ini sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang di sekeliling saya juga mungkin melihat hal-hal yang saya lihat, tapi karena tidak tahu maka mereka hanya sebatas merasakan sesuatu yang tidak enak dan ada yang tidak beres; seperti saya dulu.

Dan sedihnya, karena masih belum tahu juga; hal-hal yang terus terjadi dianggap sesuatu yang wajar dan memang begitu seharusnya. Jadi yang awalnya merasa kesal karena diperlakukan berbeda, wanita dianggap tidak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sebanyak pria, menjadi sesuatu yang dianggap lazim saat pria yang terus mendapatkan kesempatan lebih besar dalam jenjang karir pekerjaan.

Yang awalnya kesal karena disuruh-suruh sesuatu di luar pekerjaan, menjadi dianggap biasa. Biasa untuk mengurus bayaran listrik rumah pribadi bos atau mengantar istri bos ke salon.

Hal ini kembali lagi ke edukasi, pendidikan. Di negara kita memang belum cukup besar awareness mengenai fenomena-fenomena tersebut, mungkin baru merambah di kota besar dan itu juga belum merata. Karena belum gencar edukasi soal fenomena-fenomena tersebut, maka semua itu belum akan dianggap masalah. Sama ketika beberapa tahun lalu saat saya belum mengetahui apa itu bullying, belum bisa melihat kalau itu adalah sebuah permasalahan yang serius.

Dan soal pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada pendidikan di bangku formal saja. Karena itu saya menggunakan juga kata edukasi, yang kesannya lebih mencakup berbagai pihak tanpa harus belajar di bangku sekolah. Pendidikan itu bisa kita dapat di mana saja. Dengan syarat kita mau terus belajar dan membuka pikiran lebih luas dengan hal-hal yang ada di sekitar. Termasuk dengan hal-hal baru yang mungkin awalnya terasa asing.

Bukan berarti serta merta semua yang asing dan baru harus kita telan mentah-mentah. Tapi justru dengan semakin banyak tahu, semakin banyak belajar; maka semakin kita bisa menyaring mana yang memang pantas mana yang tidak, mana yang benar mana yang salah.

Hal ini terkait juga dengan statement menyedihkan yang sering saya dengar soal pendidikan, bahwa “Sekolah-lah tinggi-tinggi supaya dapat pekerjaan yang bagus.” Memang kita bisa memanfaatkan apa yang kita dapat di bangku sekolah untuk pekerjaan. Dan saya pun melakukan hal yang serupa; memanfaatkan apa yang saya dapat di bangku sekolah untuk pekerjaan saya.

Tapi yang saya sayangkan adalah penciptaan sudut pandang bahwa kita sekolah buat dapat kerja. Padahal belajar dan mengetahui ilmu-ilmu esensinya jauuuuuuh lebih luas dari sekadar itu.

Mungkin ini terdengar muluk atau idealis. Tapi buat saya esensi belajar itu ya untuk diri kita sendiri sebagai manusia, untuk kehidupan kita sebagai manusia di dunia ini. Yang amat disayangkan jika hanya dikurung dalam kotak bernama pekerjaan. Kalau kita belajar untuk dapat pekerjaan, berarti saat sudah bekerja kita nggak belajar lagi, dong?

Sedangkan belajar itu, pendidikan itu; sesuatu yang terus harus kita lakukan sampai kita mati. Dan belajar itu kan bukan berarti sesuatu yang baku harus di kelas, harus baca buku-buku tebal, dan hal-hal yang kelihatannya udah susah duluan. Kita bisa belajar dari mana-mana. Dari media-media yang kredibel, dari para ahli yang udah terbukti karya-karya nya, bahkan dari orang-orang di sekeliling kita.

Dan belajar juga kan nggak berarti harus sesuatu yang terlihat berat, pelajaran ini itu; tapi bisa berbagai hal berbagai aspek. Saya tahu ada jalur lebih cepat juga hasil belajar dari google maps, tahu rute bis nanya dari abang-abang kenek, tahu cara nawar buah lihat dari ibu-ibu di pasar.

Intinya belajar itu adalah sesuatu yang membuat kita dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan kita mendapat manfaat dari ke-tahu-an kita itu. Entah untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, atau menghindari dari sesuatu yang buruk.

Ternyata ini ya makna hadits yang sering kita denger di ceramah-ceramah, yang intinya seruan buat menuntut ilmu dari buaian sampai liang kubur. Dulu saya pas denger itu, nggak begitu mendalami maknanya cuma sepintas aja. Tapi sekarang saya baru sadar maknanya, esensinya; kalau memang belajar itu sesuatu yang terus menerus harus kita lakukan kayak cycle kehidupan. Terus mengedukasi diri, terus berusaha tahu, terus membuka pikiran lebih luas lagi.

Sebenarnya saya membuat tulisan ini selain memang buat sharing, juga buat pengingat diri saya sendiri. Saya nggak tahu kan apa yang akan terjadi di masa depan. Kali aja saya meleng atau lupa dengan apa yang pernah menjadi interest saya ini; jadi biar reminder juga.

Tulisan saya juga ini menclak-menclok dan agak kaku hahaha karena udah lama nge-blog lagi. Tapi saya seneng banget bisa nulis di sini lagi. Kayak ada api kecil di dalam hati yang perlahan mulai bergolak kembali, tsaaah 😀

Oke sekian saya sudahi tulisan dengan closing yang kurang smooth ini hahaha. Semoga kita semua diberi kesempatan buat terus belajar dan dibukakan pikiran untuk menerima hal-hal baru buat kemajuan diri kita. Ini sudah jam 11 malam, tapi masih di tanggal 2 Mei 2019 kan yaa jadi anggap aja ikut menyemarakkan hari pendidikan nasional 😀

Selamat hari pendidikan! Mari terus membangun jembatan dari tidak tahu menjadi tahu!

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *