Kita Tak Harus Selalu Baik-Baik Saja

kita tak harus selalu baik baik saja

Kadangkala tak mengapa untuk tak baik-baik saja 

(Pelukku Untuk Pelikmu, Fiersa Besari)

Siapa yang udah pernah denger lagu di atas? Dan siapa yang langsung jatuh hati sama lagu itu kayak saya? 😀

Saya denger lagu ini pure kebetulan, pas lagi iseng-iseng dengerin lagu di bagian new arrival salah satu aplikasi streaming musik. Dan pas di bagian lirik itu, saya langsung jatuh hati. Langsung jleb masuk ke dalam lubuk hati saya. Kalau mau lebay sih, ya kayak judulnya; memang lagu ini untuk memeluk pelik lika-liku hidup manusia jaman sekarang.

Dan saya sangat suka, sangat setuju, sangat berterima kasih dengan lirik bagian itu. Bahwa memang sungguh tak mengapa kalau kita tak baik-baik saja. Bahwa memang kita tak selalu harus baik-baik saja, karena toh pada kenyataannya hampir tidak mungkin kita bisa selalu baik-baik saja. Hidup ini kan pada dasarnya memang penuh dengan ujian dan cobaan, dan Allah juga udah bilang kalau orang beriman pasti diuji. Jadi gimana mungkin kita selalu baik-baik saja sepanjang usia seumur hidup, kan?

Tapi kita terlalu biasa bilang kalau kita baik-baik saja meski sesungguhnya kita tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin kebiasaan turun-temurun tradisi tiap ditanya kabar sama orang kali ya, yang kalau ditanya “Apa kabar?” dengan otomatis kita jawab “Baik.” Di contoh-contoh buku pelajaran kita pas sekolah, mau Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, apapun itu; isi percakapannya selalu begitu. 

“Apa kabar?” 

“Kabar saya baik, kalau kamu?” 

“Saya juga baik.”

Selama ini saya sih belum pernah nemu ada contoh percakapan di buku pelajaran yang jawaban dari pertanyaan apa kabar yang beda, misalnya “Kabar saya nggak baik”, “I’m not fine, why you’re asking?” Oke, kalau ini kayak ngajak berantem sih 😀

Ya intinya, mungkin hal itu yang membuat kita kemudian terbiasa untuk secara otomatis bilang kalau kita baik-baik saja (meski pada kenyataannya tidak). Dan tidak terbiasa mengakui kalau kita tidak baik-baik saja, kalau saya sedang tidak baik-baik saja. Seolah mengakui kita tidak baik-baik saja adalah sesuatu yang aneh, yang keluar dari norma yang berlaku; dan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang salah, yang tidak seharusnya begitu.

Saya sendiri nggak tahu ya apa manfaat dari mengungkapkan atau mengakui ungkapan “Saya tidak baik-baik saja” secara ilmiah, psikologis, atau apapun yang lebih kredibel. Cuma menurut saya pribadi, ada dua hal penting dari ungkapan itu.

Pertama, kita nggak perlu berpura-pura kalau kita sedang baik-baik saja. Kita pasti tahu banget kalau berpura-pura baik-baik saja dan tidak ada apa-apa sementara kenyataannya tidak, adalah hal yang sangat sulit. Jadi ungkapan “Saya tidak baik-baik saja” kayak memberi kelegaan tersendiri untuk tidak berpura-pura baik-baik saja. 

Hal itu juga memberikan semacam keberanian untuk mengakui dan menghadapi apa yang sebenarnya kita rasakan. Mungkin kayak seolah hal sepele ya, mengakui dan menghadapi perasaan sendiri. Tapi kadang nggak se-sepele itu ternyata, kadang kita lebih memilih untuk mengabaikan atau bahkan menutupinya karena mungkin nggak mau ambil pusing; atau takut akan menyakitkan saat menghadapinya. Jadi terkadang memang butuh keberanian untuk mengakui dan menghadapi apa yang kita rasakan, apa yang bergolak di dalam hati terdalam.

Kedua, dengan mengakui dan menghadapi bahwa kita tidak baik-baik saja bisa membantu untuk terus berjalan. Ini mungkin lebih ke hal yang saya rasakan sendiri ya, nggak tahu juga apakah orang lain begitu. Tapi ketika saya mengakui dan menghadapi bahwa saya sedang tidak baik-baik saja, saya jadi lebih menerima semuanya. 

Termasuk kenyataan bahwa meskipun keadaan tidak baik-baik saja, saya harus tetap berjalan dan melanjutkan hidup. Tidak menunggu untuk menjadi baik-baik saja dulu, baru kemudian berjalan lagi. Tapi karena memahami bahwa tidak baik-baik saja adalah bagian dari diri dan hidup saya, seperti halnya baik-baik saja juga bagian dari hidup; membuat saya lebih mudah menerimanya. Berjalan dan terus melanjutkan hidup dalam keadaan yang tidak baik-baik saja itu.

Karena itu saya berharap kita lebih bisa mengakui dan menghadapi kalau kita mungkin sedang tidak baik-baik saja. Bukan berarti harus diumumkan kesana-kemari, diumbar sana-sini. Tapi lebih ke pengakuan diri kita sendiri, mengakui dan menghadapi bahwa kita memang tidak selalu harus baik-baik saja. Dan menerima bahwa itu adalah sesuatu yang normal, sesuatu yang bisa terjadi dalam kehidupan, sesuatu yang bisa terjadi juga kepada siapa saja di dunia ini.

Jadi begitulah cercauan saya kali ini, setelah sekian purnama nggak nengok-nengok lagi blog ini sampai lapuk hahaha. Bahasa saya mungkin agak ngejelimet dan butuh dua-tiga kali dibaca untuk dipahami, tapi ya semoga maksud tulisan saya ini bisa sampai dengan baik. Ini saya juga random banget sih tahu-tahu terdorong buat nulis begini di blog, dan emang udah kangen banget ngeblog lagi. Saya sampai bingung mikirin kalimat closing yang enak apa ya hahaha.

Ya pokoknya begitulah, pembaca sekalian. Intinya lagi, ya seperti kata Fiersa Besari, memang kadangkala tak mengapa untuk tak baik-baik saja ~

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *