Ala Santri

ala santri

Beberapa minggu yang lalu, saya menemukan sebuah akun instagram yang bernama Ala Santri, sama dengan judul tulisan ini. Isinya adalah kehidupan santri dan kekhasan santri.

Akun tersebut membuat saya nostalgia dengan kehidupan saya sebagai santri dulu, yang tidak akan terlupa sampai kapanpun. Hal itu sedikit banyak mendorong saya untuk menulis tulisan mengenai kehidupan santri tersebut dan keunikan-keunikan di dalamnya.

Tentang Pondok Pesantren dan Santri

Pondok pesantren sendiri beragam, ada yang berstatus sebagai pondok pesantren tradisional dan ada pondok pesantren modern. Pondok pesantren tradisional berciri khas hanya mempelajari ilmu agama, sedangkan pondok pesantren modern mempelajari ilmu agama dan juga ilmu umum seperti halnya sekolah umum lainnya.

Selain itu, ada juga pondok pesantren yang memiliki kurikulum dan tahun ajaran sendiri. Biasanya pondok pesantren seperti ini memiliki kalender akademis sekolah yang berbeda dengan pemerintah dan sekolah lain, misalnya tahun ajaran dimulai Januari dan berakhir bulan Desember. Juga sistem kelas yang berbeda, misalnya dari kelas satu sampai kelas enam setara dengan SMP dan SMA.

Di Indonesia, pondok pesantren tersebar di mana-mana. Para orangtua, yang mana memang memegang peranan penting dalam mengambil keputusan pendidikan anak, memiliki banyak pilihan pondok pesantren mana yang dirasa pas untuk anak-anaknya. Image pondok pesantren yang dulu dipandang sebagai tempat “pembersihan” anak-anak bandel pun sudah mulai hilang.

Dulu, orang memandang mereka yang masuk pondok pesantren adalah anak-anak nakal yang ingin didisiplikan supaya menjadi anak yang baik. Sekarang tidak banyak ada pandangan seperti itu. Pondok pesantren adalah selayaknya pondok pesantren, tempat para santri mempelajari berbagai ilmu agama.

Ditambah lagi sudah banyak pondok pesantren modern, yang membuat para orangtua terdorong untuk memasukkan anaknya disana. Selain mendapat pelajaran agama, anak tidak tertinggal pelajaran umum yang dipelajari oleh anak-anak lain seusianya.

Beberapa tahun lalu, saya masih berstatus sebagai santri di sebuah pondok pesantren daerah Kuningan, Jawa Barat. Saya menjadi santri cukup lama, enam tahun dari bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah) sampai MA (Madrasah Aliyah) bermukim di pondok pesantren yang sama. Kedua jenjang itu setara dengan SMP dan SMA, yang mana pondok pesantren saya selain mempelajari ilmu agama juga mempelajari juga ilmu umum sesuai dengan kurikulum pemerintah yang berlaku.

Kenangan Sebagai Santri

Ketika pertama kali memasuki pondok pesantren, saya juga tidak menyangka dapat bertahan selama enam tahun di tempat yang sama sekali baru dan sama sekali tidak ada orang yang saya kenal. Saya seorang gadis kecil berusia 13 tahun, baru lulus SD, berada di tempat yang sama sekali asing.

Tapi siapa sangka, keberadaan di tempat asing dan dikelilingi orang-orang asing itu kemudian memberikan saya berjuta pengalaman, pelajaran, dan tentunya kenangan yang sangat berharga dalam hidup saya.

Ketika masih berstatus sebagai santri, saya banyak sekali mendengar ucapan dari mereka yang pernah menjadi santri soal betapa tidak terlupakannya menjadi santri, betapa berharganya masa-masa menjadi santri, dan betapa rindunya dengan kehidupan santri.

Saat itu, saya merasa percaya tidak percaya mendengarnya. Karena saat itu ketika saya menjalaninya, tidak begitu terasa istimewa menjadi santri dan tinggal di pondok pesantren. Tapi semua alumni yang saya temui, bahkan alumni dari pondok pesantren lain pun mengatakan hal yang sama soal itu. Padahal ketika menjalaninya, saya merasa bosan setengah mati dan selalu ingin cepat-cepat lulus.

Tapi benar. Semua ucapan mereka yang pernah menjadi santri itu benar. Saya akhirnya merasakannya ketika sudah lulus. Betapa kehidupan di pondok pesantren itu begitu berkesan dan berharga, dan tidak akan lagi saya dapati di manapun. Banyak hal-hal yang tidak ada lagi di manapun, kecuali di pondok pesantren.

Meskipun di pondok pesantren mempelajari hal yang sama dengan yang ada di sekolah umum lain, tetap saja menjadi santri berbeda dengan siswa. Dan betapa saya rindu dengan masa-masa itu. Memang benar kata orang, sesuatu baru terasa berharga ketika sudah pergi atau sudah berlalu.

Uniknya Masa-masa Jadi Santri

Karena masa-masa itu sudah berlalu dan tidak bisa saya kunjungi lagi kecuali di lintas kenangan, saya mencoba menuangkannya di sini. Berbagi kisah dengan orang-orang baik yang pernah menjadi santri ataupun tidak. Bagi pernah menjadi santri, mari kita bernostalgia bersama dengan tulisan ini. Bagi yang belum pernah menjadi santri, mari membaca kisah yang mungkin belum pernah Anda temui sebelumnya ini.

Saya membagi hal ke dalam beberapa poin. Langsung saja saya bahas satu persatu, ya.

Pure Jail

Entah benar atau tidak dari segi grammar, tapi itulah sebutan gaul buat pondok pesantren. Pure jail, penjara suci. Karena di pondok itu kita dibatasi ketat tidak boleh keluar pondok semau kita, seolah-olah seperti di penjara saja. Tapi karena di dalamnya kita belajar banyak ilmu agama, kayaknya kok nggak sopan kalau plek disebut penjara. Makanya muncul sebutan penjara suci, atau pure jail.

Hal yang paling membedakan pondok pesantren dengan sekolah umum adalah adanya asrama yang mengharuskan santri tinggal di dalamnya. Asrama ini beda dengan kos-kosan, meskipun sama-sama tempat untuk tidur.

Di asrama, asrama pondok pesantren tepatnya, para santri dibatasi soal keluar asrama. Berbeda dengan kos-kosan yang sesuka kita mau pergi atau datang kapanpun. Karena itu, para santri selalu merasa terkekang karena tidak bebas keluar dari asrama. Merasa terkekang karena lingkungannya hanya seputar itu-itu saja.

Selain itu, di pondok pesantren semua ada jadwalnya. Bangun pukul berapa, shalat subuh pukul berapa, sarapan pukul berapa, dan seterusnya. Menjalani ritme kehidupan yang sama tujuh hari dalam seminggu tentunya membuat orang menjadi mudah bosan. Ditambah lagi, melakukan kegiatan yang sama di tempat yang sama.

Dan juga, fasilitas di pondok pesantren yang tentunya lebih terbatas dibanding di rumah. Tidak banyak hiburan, tidak ada televisi atau komputer, tidak ada tempat perbelanjaan yang bisa untuk selingan mata kalau sedang bosan, tidak ada smartphone yang bisa mengakses berbagai media sosial.

Karena itu juga, kebebasan untuk dapat keluar pondok pesantren adalah hal yang besar dan sangat penting.

Di pondok saya sendiri, kami dibatasi area tertentu yang menjadi kawasan pondok pesantren dan tidak boleh keluar melewati area tersebut. Ada satpam yang selalu berjaga di batas area tersebut sehingga para santri memang tidak bisa melewati batas tersebut. Kecuali sudah mendapat izin dari bagian asrama.

Untuk izin keluar pondok, kami diberi jatah maksimal dalam sebulan sekali boleh keluar pondok, dengan sebutan perijinan. Jatah perijinan untuk santri puteri adalah minggu kedua atau minggu keempat. Harus digarisbawahi kata atau di sini, karena kita memang hanya boleh melakukan perijinan salah satu dari dua opsi tersebut. Kalau tidak minggu kedua, ya minggu keempat.

Dan kalaupun kita tidak menggunakan jatah perijinan dalam sebulan, maka jatah kita hangus. Tidak lantas bisa menggandakan ke bulan selanjutnya.

Ketika mendapat giliran perijinan, wuih bukan main senangnya. Hari libur di pondok pesantren saya adalah hari Jum’at, dan otomatis perijinan pun pada hari Jum’at. Kalau bertemu Jum’at yang menjadi jatah perijinan, sudah dari hari Kamis kami tersenyum-senyum. Merencanakan dengan semangat bersama teman-teman mau kemana saja besok.

Padahal kalau saya pikir sekarang, keluar pondok pun kita tidak melakukan hal-hal yang istimewa.

Rute perjalanan perijinan kami tidak jauh dari belanja ke toserba, main internet ke warnet, dan makan bakso atau mie yamin langganan. Apalah yang bisa diharapkan dari sebuah kota kecil di bawah kaki gunung Ciremai, tidak banyak fasilitas dan tempat main yang bisa kami kunjungi. Tapi tetap saja, yang penting judulnya adalah keluar pondok. Masalah kemana nanti, itu belakangan.

Waktu yang paling membosankan adalah ketika liburan setelah ujian semester, atau ketika menunggu pembagian rapot. Pada waktu-waktu tersebut tidak ada kegiatan yang jelas dan teratur seperti biasa, karena kami tidak masuk sekolah. Tidak ada kegiatan di tempat yang itu-itu saja membuat kami merasa lebih terkekang dan tidak tahan menghadapi kebosanan yang harus dilalui.

Dan pada waktu-waktu itu juga kami merasa lebih urgent untuk segera meminta izin pulang atau setidaknya dapat keluar pondok. Segala alasan yang memungkinkan kami keluarkan, dari saudara menikah sampai mencari-cari apa ada yang sakit di tubuh kami supaya bisa pulang dengan alasan ke dokter. Tak jarang kami menangis-nangis di hadapan bagian asrama, yang biasa kami sebut teteh asrama, supaya mereka berikan izin.

Setelah lulus, saya menyadari bahwa banyak sekali pondok pesantren sekarang yang sangat bagus dari segi fasilitas dibanding pondok pesantren saya. Bisa dibilang lengkap, dari mulai untuk belajar sampai hiburan untuk para santri.

Namun ketika saya mengobrol dengan santri dari pondok-pondok tersebut, tetap saja mereka merasa bosan di dalam pondok dan selalu ingin keluar pondok. Tidak jauh berbeda dengan apa yang saya dan teman-teman alami di pondok pesantren kami.

Mungkin karena kegiatan yang itu-itu saja dan di tempat yang itu-itu saja, meskipun beragam fasilitas, namun tetap akan membuat bosan. Jadi sebagus dan selengkap apapun pondok pesantren, tetap saja para santri nya merasa ”terpenjara” dan selalu ingin keluar menghirup udara bebas.Tetap saja pondok pesantren menjadi pure jail bagi para santrinya.

Lidah santri mati rasa

Santri itu makan apa saja masuk. Makanan yang diberi pondok pesantren saya sendiri memang tidak selalu tidak enak, tapi ya tidak berarti juga selalu enak. Biasanya menu makan yang enak di pondok pesantren saya adalah menu makan malam.

Dan selain itu, tidak bisa banyak kami harapkan. Terutama menu makan siang. Ada beberapa menu yang sampai sekarang masih misteri buat saya, sebenarnya itu makanan apa namanya. Dari bahan apa dan bagaimana membuatnya, kok sampai menjadi seperti itu bentuk jadinya.

Pondok pesantren saya memiliki jumlah santri yang sangat banyak, sampai ribuan. Kru dapur yang tak seberapa harus selalu memasak dalam jumlah sangat besar. Tiga kali dalam sehari. Jadi sangat wajar kalau masakannya pun kadang terlalu asin, terlalu hambar, terlalu pedas, terlalu manis, dan sebagainya.

Selain itu, pondok pesantren saya termasuk pondok yang biayanya lebih murah dibanding pondok lainnya. Jadi wajar saja kalau dari segi makanan pun sering dihemat-hemat dan dikreasikan sedemikian rupa dari berbagai bahan supaya sesuai dengan budget pondok. Dan wajar saja kalau kemudian terciptalah berbagai menu unik dan misterius tersebut.

Ketika awal menjadi santri, saya masih bisa merasakan perbedaan berbagai rasa itu.

Mana yang rasanya pas, mana yang lebih ini, mana yang lebih itu. Tapi lama-lama, semuanya tidak terasa lagi; kecuali yang sudah sangat benar-benar tidak enak rasanya. Lagipula, kalau hanya kurang garam sedikit, kurang pedas sedikit, kurang apa sedikit; bagi para santri tidak masalah. Yang sering menjadi masalah adalah kurang banyak makanannya hehehe.

Mungkin karena lidah kami yang mulai mati rasa itu, ketika kami mendapat giliran perijinan dan memakan makanan di luar pondok rasanya enak sekali. Ada beberapa tempat yang menjadi langganan para santri, seperti warung bakso dan mie yamin. Seingat saya, ketika menjadi santri kedua tempat tersebut menyajikan makanan yang benar-benar enak.

Namun ketika saya sudah lulus dan main kembali ke kota tersebut, kok makanan-makanan tersebut rasanya tidak se-wah ketika masih menjadi santri. Apakah rasanya yang berubah, atau memang lidah kami dulu cukup parah mati rasanya sehingga merasakan makanan biasa pun terasa begitu enak bagi kami.

Sebenarnya setelah lulus dari pondok pesantren pun lidah saya pun masih mati rasa, meski mungkin tidak separah ketika masih menjadi santri. Di kampus, teman-teman malas menanyakan pada saya pendapat mengenai makanan tertentu karena bagi saya semua enak-enak saja.

Entah karena lidah saya memang benar sudah mati rasa, atau karena mungkin saya sudah pernah merasakan makanan yang jauh lebih tidak enak. Berbeda dengan teman-teman lain non-santri yang selama ini merasakan makanan “normal” buatan ibunya di rumah.

Tapi ketika saya bertemu dengan teman sesama lulusan pondok dari pondok pesantren lain, ternyata mereka mengalami hal yang sama juga. Ketika orang-orang protes kurang asin atau keasinan, kami tetap asyik menyantap makanan kami sambil saling menatap; memang apa masalahnya dengan makanan ini? Sungguh orang-orang yang menerima segala sesuatu apa adanya, kan? 

Jangan beli barang bagus, umurnya nggak panjang

Terutama sandal.

Sandal adalah barang yang paling riskan dan memiliki resiko berpindah tempat paling tinggi. Karena sandal selalu ada di luar ruangan, kan? Ketika sandal itu sedang tidak dipakai, ada saja yang meminjamnya sebentar. Di pondok pesantren, hal itu biasa kami sebut ghosob.

Ghosob adalah memakai barang orang lain tanpa ijin. Barang itu tidak diambil oleh orang lain untuk diberi stempel hak milik selamanya, hanya dipinjam sebentar. Dan ya, tanpa bilang ke pemiliknya. Karena di pondok itu orangnya banyak, kita sering tidak tahu itu barang siapa. Dan saat itu kita sedang butuh misalnya, jadi pinjam sebentar lalu taruh lagi.

Dan ya, menaruhnya juga tidak selalu di tempat semula. Entah di mana. Biasanya si peminjam juga lupa dari mana ia meminjam barang tersebut. Jadi si peminjam meletakkan barang tersebut di mana saja, seingatnya. Dan tentunya itu membuat si pemilik mencari-cari barang tersebut.

Selama enam tahun di pondok pesantren, barang yang masih setia ada dari awal sampai akhir hanya kasur, box buku, dan keranjang barang. Sisanya entah kemana. Meskipun barang-barang sudah ada nama besar-besar, tetap saja menghilang entah kemana. Dan meskipun para ustadz dan ustadzah sudah berulang kali mengingatkan dan memberi ceramah melarang perubuatan ghosob, tetap saja ghosob tidak bisa hilang dari pondok pesantren.

Selain sandal, barang yang memiliki resiko kehilangan terbesar kedua adalah kaus kaki.

Apalagi jika kaus kaki di sepatu, yang mana sepatu pasti selalu ada di rak sepatu. Di pondok pesantren saya, lingkungan santri wanita dibatasi oleh gerbang dan kalau mau keluar gerbang harus memakai kaus kaki.

Seringkali santri yang buru-buru ingin keluar gerbang meminjam kaus kaki siapapun yang ada di rak sepatu. Atau santri yang tidak punya kaus kaki karena kaus kaki miliknya di-ghosob juga, ia memakai kaus kaki lain yang ada di rak sepatu. Begitu selanjutnya, santri yang kehilangan kaus kakinya memakai kaus kaki milik orang lain.

Selain itu, kaus kaki yang rentan hilang adalah kaus kaki warna putih dan hitam. Kaus kaki putih biasanya hilang hari Sabtu, di mana pondok pesantren saya mengadakan upacara tiap hari Sabtu. Para santri wajib memakai kaus kaki putih ketika upacara, dan akan ada hukuman kalau kedapatan tidak memakai kaus kaki putih.

Sedangkan kaus kaki hitam diwajibkan pada hari Kamis ketika kami melakukan kegiatan Kepanduan, alias Pramuka. Dua kaus kaki warna tersebut sangat rawan hilang karena banyak yang kepepet butuh ketika hari Sabtu dan Kamis.

Barang selanjutnya yang tidak akan awet adalah sendok.

Sendok cenderung terlalu kecil untuk diberi nama, dan terlalu kecil juga untuk dijaga. Seringkali sendok jatuh, terselip, atau tertukar. Tak jarang, pemiliknya pun tidak menyadari mana sendok miliknya dan mana sendok orang lain.

Karena itu, para santri malas untuk membeli sendok stainless. Sayang, pasti hilang. Jadi kami sering membeli sendok plastik, yang disebut sendok bebek. Sendok plastik itu jauh lebih murah dan kalaupun hilang, kami tidak begitu merasa rugi.

Dan sepaket dengan sendok bebek, kami selalu membeli kertas nasi. Selain karena memakai piring selalu hilang, kertas nasi juga praktis dan tidak perlu kami cuci. Kami memang malas mencuci piring hehehe. Jadi kami memilih makan menggunakan kertas nasi dan menyetok banyak-banyak.

Maka dari itu, kalau di pondok sebaiknya jangan membeli barang yang bagus. Sayang, umurnya tidak akan lama di tangan kita.

Selalu bersama-sama

Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, di pondok pesantren itu kita tinggal bersama banyak orang. Selama dua puluh empat jam bersama, di asrama dan di kelas. Karena itulah, kedekatan yang terjalin sesama santri juga melebihi siswa di sekolah biasa.

Dari segi makan saja, jarang sekali ada santri yang makan sendiri. Biasanya di setiap kamar selalu ada beberapa kelompok makan, yang mana mereka akan makan bersama-sama menggunakan nampan atau kertas nasi. Ketika terkadang ada anggota kelompok makan yang tidak bisa makan bersama, jatah makan untuk si santri tersebut tetap diambilkan dan disisihkan supaya dia bisa makan nanti.

Hal ini menjadi kebiasaan ketika saya baru lulus dari pondok. Rasanya sepi sekali makan sendiri, satu piring untuk satu orang. Padahal biasanya selalu ramai-ramai dengan banyak orang. Ditambah lagi, di pondok pesantren makan pun ada jadwalnya. Jadi kami makan memang di waktu makan bersama-sama dengan santri lainnya, ramai dan seru sekali rasanya.

Selain makan, kebersamaan santri juga dilihat dari barang milik santri yang biasanya jadi milik bersama.

Misalnya baju. Saya punya sebuah baju warna merah, tapi mungkin lusa baju itu dipakai teman saya dari kamar sebelah. Minggu depan baju itu sudah dipakai oleh teman dari kelas sebelah. Terus begitu sampai orang-orang tidak tahu sebenarnya itu baju milik siapa. Tapi saya dan teman-teman sendiri tidak keberatan, karena kami memang senang saling pinjam baju kalau sedang bosan dengan baju milik sendiri.

Pinjam-meminjam bukan menjadi hal baru di kalangan santri. Namun berbeda dengan ghosob, pinjam-meminjam ini memang benar dikembalikan lagi barangnya kepada pemilik aslinya. Dan si pemilik juga tahu siapa yang meminjam barang miliknya, jadi ia ikhlas meminjamkan barang pada orang lain.

Kebersamaan santri juga saya rasakan ketika kami mengadakan acara. Dalam sebuah acara, kami dibagi ke dalam berbagai divisi yang tentunya memiliki tugasnya masing-masing. Namun tak jarang kami saling membantu divisi lain demi terlaksananya acara. Dengan kata lain, santri lebih terasa dalam gotong royong, tak pandang bulu. Hal ini yang sebenarnya agak jarang saya temui ketika lulus dari pondok pesantren.

Kreativitas dalam keterbatasan

Seprai menjadi kimono, sarung menjadi gaun puteri, background acara dari koran bekas.

Hal-hal itu saya temui di pondok. OSIS di pondok pesantren saya sering sekali mengadakan berbagai acara untuk para santri. Dan acara-acara tersebut selalu membutuhkan dekorasi panggung, minimal sebuah background.

Budget pun terbatas, karena dana dari pondok pesanren memang harus kami hemat-hemat. Tapi tetap saja, saya seringkali terkagum-kagum dengan dekorasi yang dibuat para panitia karena dapat indah dan maksimal.

Selain itu, sering sekali ada lomba fashion show dengan tema yang berbeda-beda. Pondok pesantren saya juga memiliki organisasi teater yang sering mengadakan pertunjukan rutin. Dan tentunya ketika pertunjukan, kami membutuhkan berbagai kostum untuk peran yang berbeda-beda. Darimana kami mendapat kostumnya? Tentu saja rombak dan modifikasi sendiri.

Kami tidak memiliki kebebasan untuk keluar pondok dan menyewa kostum. Selain itu, kami juga tidak punya uang untuk menyewa kostum di salon atau tempat lain. Jadilah kami selalu berkreasi sendiri untuk membuat kostum yang bagus. Kostum kerajaan, tentara, puteri, negara lain dan berbagai kostum lainnya.

Lalu, mengapa bisa? Jawabannya adalah karena kepepet. The power of kepepet selalu berlaku di manapun, kan?

Kreativitas santri lainnya juga terlihat ketika mengadakan bazaar. Kami membuka bazaar biasanya untuk menggalang dana acara-acara besar. Di bazaar itu biasanya kami membuat berbagai makanan yang terbuat dari bahan yang sangat sederhana. Namun tetap laku terjual di kalangan santri (seperti yang saya bilang sebelumnya, santri itu bisa makan apa saja). Contohnya saja, saya pernah menjual milkshake. Namanya saja keren milkshake, namun sebenarnya itu cuma susu kaleng yang saya tuang ke tempat besar dan saya beri es batu. Dan laku keras.

Tempat orang banyak ibadah, tapi horor

Ini yang terjadi hampir di semua pondok; santri kesurupan. Saya sendiri beberapa kali menyaksikan orang-orang kesurupan. Awal-awal tentunya menakutkan dan sangat kaget menyaksikan orang yang kesurupan. Namun lama-kelamaan, saya tidak sekaget ketika pertama-tama melihat orang kesurupan. Bahkan saya terkadang ikut membantu me-rukyah sedikit-sedikit ketika belum ada ustadzah yang datang.

Meskipun bukan hal yang baru lagi kalau di pondok ada yang kesurupan, tetap saja hebohnya menyebar ke seluruh penjuru pondok. Dan tetap saja kami merasa takut. Kalau sudah begitu, kita semua panik sendiri. Baca Al-Qur’an dan Al-Ma’tsurat yang banyak, menjaga diri karena takut jin nya berpindah. Takut akan ada orang lain yang akan kesurupan.

Padahal di pondok pesantren saya, selayaknya pondok pesantren lainnya, sering menyetel lantunan ayat Al-Qur-an di speaker yang terdengar ke seluruh penjuru pondok. Para santri juga sering membaca Al-Qur’an, baik di masjid, di kelas, maupun di asrama.

Kalau dibandingkan setelah lulus dari pondok, frekuensi membaca Al-Qur’an dan Al-Ma’tsurat jauh lebih sering ketika di pondok. Tapi justru kejadian kesurupan malah banyak terjadi di pondok pesantren yang notabene-nya tempat orang belajar ilmu agama dan banyak beribadah.

Ketika saya mengobrol dengan teman-teman dari pondok pesantren lain pun, hal seperti ini terjadi juga. Kesurupan bukan hal yang baru di pondok pesantren manapun. Entah mengapa. Ada beberapa pondok pesantren yang memang memiliki “riwayat” angker, seperti pernah menjadi tempat jin atau hutan. Kalau pondok pesantren saya sendiri, katanya memang dulu itu adalah sarang jin karena sebelumnya memang hutan bambu. Jadi masih ada jin-jin iseng yang tertinggal belum migrasi ke tempat lain.

Dan mungkin kasus kesurupan itu juga adalah salah satu ujian orang yang belajar agama.

Teman saya pernah bercerita bahwa kebanyakan orang yang diganggu jin adalah mereka yang pintar dan gigih belajar agama, atau belajar Al-Qur’an. Ada beberapa kasus orang-orang yang dekat dengan ilmu agama dan Al-Qur’an justru banyak diganggu jin. Meski ada banyak juga kasus diganggu jin karena imannya memang sedang lemah.

Namun saya setuju dengan pendapat bahwa kesurupan adalah bentuk ujian orang yang belajar agama. Menurut pengalaman saya, belajar agama memang lebih sulit daripada belajar ilmu umum. Hambatan pertama adalah ngantuk. Entah kenapa, kalau belajar pelajaran agama itu sering sekali terserang kantuk.

Ketika baru buka dan melihat tulisan Arab saja, mata langsung berat. Apalagi bahasanya yang menggunakan bahasa Arab, yang entah mengapa kok bawaan-nya sering malas dan ngantuk kalau mempelajarinya.

Tapi anehnya hal itu tidak terjadi ketika saya kuliah yang notabene nya ilmu umum. Padahal ketika kuliah pun kampus saya menggunakan bahasa Inggris yang notabene-nya sama-sama bahasa asing seperti halnya bahasa Arab. Jadi mungkin gangguan jin itu adalah salah satu upaya setan mengganggu manusia yang ingin belajar agama. Mungkin karena itu juga mengapa belajar agama mendapat pahala yang besar.

Keluarga tersebar di seluruh Indonesia

Teman-teman saya di pondok pesantren datang dari segala penjuru Indonesia. Saya baru memiliki teman dari jauh seperti Kalimantan dan Papua ketika di pondok. Bahkan saya baru tahu daerah bernama Majalengka ketika saya sudah di pondok memiliki teman dari daerah sana. Di pondok pesantren saya sendiri memang lebih banyak orang-orang dari luar daerah dibanding dari lokal daerah sekitar.

Dengan adanya teman dari berbagai daerah itu, saya jadi mengenal berbagai kebudayaan dan karakter orang. Kita tidak bisa memungkiri kalau kepribadian orang terpengaruhi dari lingkungan tempatnya berasal.

Awalnya saya merasa kaget bertemu dengan banyak orang dalam waktu singkat, dengan kepribadian yang sangat berbeda-beda. Namun lama-kelamaan saya terbiasa dan justru senang dengan adanya perbedaan tersebut. Kami unik dengan diri kami masing-masing.

Dan hal itu juga membantu saya menjadi mudah beradaptasi dengan orang lain ketika saya sudah lulus dari pondok. Saya telah terbiasa berinteraksi dengan orang dari berbagai daerah. Dan saya jadi memilliki pengetahuan mengenai daerah-daerah di Indonesia meskipun tidak pernah mendatangi daerah tersebut, karena cerita dari teman-teman saya tersebut.

Seperti yang sudah saya ulas diatas, kami para santri selalu bersama-sama dua puluh empat jam.

Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan itu membuat kami dekat satu sama lain, sudah seperti keluarga. Terlebih lagi, kami tinggal jauh dari keluarga kandung kami. Teman-teman di pondok adalah pengganti keluarga bagi kami, yang selalu ada menemani kami sehari-hari. Yang tertawa dan menangis bersama.

Bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Seperti teman pada umumnya, kami bertengkar dan kemudian berbaikan. Kami tidak selalu merasa senang satu sama lain, ada kalanya kesal karena satu dan lain hal. Kami marahan karena hal sepele, lalu berbaikan tanpa sadar. Seperti halnya remaja lainnya.

Tapi mungkin karena frekuensi kebersamaan kami lebih banyak dibanding remaja lainnya, kami jadi lebih dekat. Seperti yang saya bilang, seperti keluarga. Di pondok pesantren tidak ada handphone atau akses media sosial yang selalu on, tapi setiap kabar berita selalu tersebar dengan cepat. Hal itu karena kedekatan para santri satu sama lain.

Oh iya, di pondok pesantren juga lebih mudah mengumpulkan orang untuk melakukan tugas kelompok. Tinggal panggil di pusat informasi, orang-orang akan berkumpul di tempat yang ditentukan. Kadang saya suka heran sendiri, ketika kuliah kami memiliki handphone masing-masing tapi kok susah sekali kalau mau kumpul mengerjakan tugas kelompok hehehe.

Selulusnya kami dari pondok pesantren otomatis kami mulai jarang bersama. Mulai jarang bisa bertemu. Tentu perbedaan keadaan ini membuat kami kaget karena biasa kemana-mana bersama, tapi ya itulah yang harus kami hadapi. Kebanyakan para alumni kembali ke daerah asalnya masing-masing, yang mana tersebar di berbagai belahan Indonesia. Dari segi jarak saja kami sudah sulit untuk bertemu.

Selain itu, kami yang tinggal berdekatan pun tidak lantas bebas bertemu kapanpun. Kami memiliki kegiatan dan kesibukan masing-masing yang sulit dicocokkan jadwalnya, sehingga meskipun dekat tapi tetap jarang bertemu. Apalagi pada masa-masa sekarang, di mana kegiatan kami sudah sangat beragam. Ada yang kerja, bisnis, kuliah, bahkan menikah. Semakin sulit mencari waktu yang tepat untuk bertemu.

Namun di sisi lain, kami memiliki keluarga di seluruh penjuru Indonesia.

Ketika saya ingin berjalan-jalan ke daerah Jawa, saya tidak perlu repot-repot mencari penginapan. Saya tinggal mengontak teman saya yang ada di daerah itu, dan teman saya dengan semangat menawarkan untuk menginap di tempatnya.

Dan begitu pula sebaliknya. Ketika kami mengetahui ada teman yang berkunjung ke kota kami, bahkan ke kota sebelah kota kami; kami akan langsung menyuruh mereka menginap di rumah kami. Hitung-hitung reuni kecil-kecilan.

Kesimpulan dari beberapa poin yang saya tulis diatas adalah: RINDU.

Sungguh sangat amat rindu. Rindu dengan masa-masa di pondok, sudah tentu. Saya menghabiskan masa remaja disana, masa yang selalu menjadi kenangan indah setiap orang. Jadi gaulnya saya adalah gaulnya santri di sebuah pondok pesantren kaki gunung Ciremai.

Masa-masa itu adalah masa remaja saya yang indah, di tempat yang berkesan dan pengalaman-pengalaman yang tidak akan pernah dapat saya temui di manapun juga. Mungkin tidak banyak yang istimewa, mungkin terlihat biasa saja bagi orang lain. Tapi sungguh masa-masa itu adalah masa yang sangat berkesan dan istimewa dalam hidup saya.

Saking rindunya, saya pernah berharap bisa diberi kesempatan untuk bisa mengumpulkan semua teman-teman saya di pondok pesantren kami, memakai baju yang biasa kami pakai ketika kami menjadi santri, dan melakukan kegiatan seperti ketika kami menjadi santri. Sehari saja. Dengan semua teman tanpa terkecuali. Di tempat yang sama, dengan orang yang sama.

Tapi kemudian saya sadar, meskipun hal itu dapat terwujud ; tetap saja semua tidak akan sama.

Tetap saja kami tidak akan dapat tinggal di masa yang pernah kami tinggali dulu. Tetap saja kami tidak akan merasakan hal yang pernah kami rasakan dulu. Karena meski tempat yang sama, semuanya sudah berbeda. Karena waktu terus berjalan.

Jadi karena masa-masa itu sudah tidak bisa saya datangi lagi kecuali dalam kenangan, saya lebih merasa rindu pada orang-orang yang ada dalam masa tersebut. Rindu pada teman-teman saya yang sudah tersebar di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia. Berbeda dengan masa-masa tersebut yang hanya bisa didatangi dalam kenangan; kami, orang-orang dalam masa itu, masih dapat bertemu.

Yang saya lakukan sekarang adalah terus menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan teman-teman saya. Kalaupun memang belum bisa bertemu langsung, setidaknya kami berkomunikasi melalui telepon atau media sosial. Ya, kita harus memanfaatkan teknologi, kan? Hehehe. Jadi setidaknya meski jarang bertemu, kami masih tahu kabar masing-masing. Masih tahu cerita masing-masing.

Meskipun tidak dapat sering bertemu, semoga Allah menjaga kita di manapun berada. Dan semoga dapat segera bertemu dalam waktu dekat. Amin.

(NOTE: Tulisan ini dibuat saat mengikuti Komunitas Menulis Online pada 21 Desember 2015, diposting dengan beberapa penyesuaian)

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

One thought on “Ala Santri”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *