Yang Berjalan dan Yang Terbang: Segelas Cokelat Hangat

segelas cokelat hangat

“Udah lebih baik, Ra?”

Suara Ken menyadarkan Mara dari lamunannya. Mara menoleh dan mendapati Ken sudah duduk di sampingnya dengan membawa dua gelas, satu diberikan pada Mara. Cokelat hangat. Mara mengulas senyum lemah. “Thank you, Ken.”

Tadi setelah acara nangis-nangisan dengan Sophie yang sukses membuat teman-teman mereka kaget dan reuni dihentikan secara darurat, Mara memang langsung menghubungi Ken. Ken sempat panik saat melihat Mara yang sembab di pinggir jalan, depan kafe tempat reuni. Apalagi Mara kembali menangis saat melihat Ken datang menjemputnya.

Ken lalu membawa Mara ke kafe lainnya yang tidak jauh dari situ, yang menjadi tempat perkumpulannya dengan teman-teman Cahaya Hati. Pemiliknya merupakan salah satu anak Cahaya Hati juga, jadi Ken meminta izinnya untuk menggunakan lantai dua yang kosong. Teman-teman yang lainnya sudah pulang beberapa waktu lalu.

Mara pun menyesap cokelat hangat yang diberikan Ken itu. Perlahan, efek cokelat hangat itu membuatnya berangsur-angsur menjadi lebih tenang. Mara menyesap sekali lagi sebelum berkata. “Segelas cokelat hangat emang paling pas untuk saat-saat seperti ini.”

“Segelas cokelat hangat dan gue, tepatnya,” seloroh Ken. Mara hanya tersenyum kecil dan mengangguk-angguk mendengarnya. Mara lalu menyahut asal. “Iya, iya.”

“Lo mau puding? Tadi Pram sempat tinggalin puding di kulkas. Lo suka makanan manis, kan?” tanya Ken. Pram adalah teman Ken dan pemilik kafe ini.

Mara menggeleng. “Makasih, Ken. Gue rasa ini udah cukup,” ujar Mara sambil mengangkat gelasnya. “Lagian gue bukannya suka makanan manis, tapi ada saat-saat di mana gue butuh makanan manis. Kayak sekarang. Makanan manis membantu banget buat memperbaiki mood.

“Betul. Rasa manis ada kalanya jadi penolong yang baik dalam hidup, kan?” sahut Ken. Mara hanya mengangguk-angguk, menyesap cokelat hangatnya lagi.

Ken menatap Mara untuk beberapa saat. Tadi Mara sudah menceritakan semuanya, di sela-sela tangisnya. Hal itu cukup mengagetkan Ken, sama sekali tidak disangka kalau begitu kejadiannya. Jadi Ken berpikir kalau itu pasti akan jauh lebih mengejutkan bagi Mara. Tapi karena Mara sudah tampak lebih tenang, Ken pun bertanya dengan hati-hati.

“Jadi, apa lo udah merasa lebih baik?”

Mara terdiam sejenak, balik memandang Ken. Mara lalu mengangkat bahu lemah. 

“Nggak tahu juga,” jawab Mara jujur. “Tadi gue benar-benar campur aduk rasanya. Marah juga, sakit hati juga. Ngerasa nggak adil dengan semua ini.”

Ken tidak menyahut, hanya mendengarkan Mara dengan seksama.

“Maksud gue, kejadian itu menghantui gue bertahun-tahun dan sangat mempengaruhi hidup gue. Gue begitu terluka karena itu. Tapi ternyata…” Mara tidak bisa melanjutkan ucapannya. Matanya berkaca-kaca lagi, tapi air matanya tidak tumpah. “Gue merasa ini begitu nggak adil. Hal itu sangat menyakitkan buat gue, tapi ternyata begini kejadiannya.”

Ken masih mendengarkan.

Mara menghela napas. “Tapi anehnya, di satu sisi gue merasa lega juga. Karena ternyata ini semua bukan salah gue. Selama ini gue merasa bersalah dan takut melakukan kesalahan yang sama, tapi ternyata bukan itu yang terjadi.”

Ken mengangguk. “Baguslah kalau begitu.”

“Iya, baguslah.” Mara ikut mengangguk. “Anehnya juga, gue kayak bisa paham posisi Sophie saat itu. Seperti katanya, waktu itu dia masih labil dan kekanakan. Anehnya, gue kayak bisa nerima alasan itu. Nggak masuk akal, ya? Padahal gue udah merasa begitu sakit selama ini.”

“Mungkin karena dia orang yang berarti buat lo, Mara,” ujar Ken. “Karena itu, apa yang dia lakukan waktu itu terasa sangat menyakitkan buat lo. Kita akan merasa lebih sakit ketika itu datang dari orang-orang yang berarti buat kita. Kita pikir mereka nggak akan menyakiti kita. Dan karena itu juga, lo bisa nerima alasan itu sekarang.”

Mara tertegun. Meski tidak ingin diakuinya, tapi ucapan Ken memang benar. Sophie adalah teman yang sangat berarti untuk Mara. Teman yang sangat dekat dengan Mara, melebihi orang tuanya sendiri. Dan mungkin, seperti kata Ken, karena itulah ia merasa kejadian itu begitu menyakitkan. Sekaligus dapat menerima alasan yang diberikan Sophie itu.

“Tapi, gue nggak mau merasa sakit lagi,” gumam Mara. “Selama ini gue begitu takut akan menyakiti dan tersakiti orang lagi, gara-gara kejadian itu. Sekarang gue nggak tahu harus gimana.”

“Semua orang begitu, Mara. Kita semua takut merasa sakit dan menyakiti orang lain, apalagi orang-orang yang berarti buat kita,” sahut Ken. Ia menatap Mara lekat. “Tapi gimana pun juga, dalam hidup ini kita nggak bisa terhindar dari rasa sakit. Mungkin ada kalanya rasa sakit itu jadi penanda kalau kita masih hidup. Mungkin juga ada kalanya rasa sakit jauh lebih baik daripada mati rasa sama sekali.”

Mara tertegun lagi. Selama ini Mara berpikir kalau hanya dirinya yang merasa seperti itu, karena ia pernah terluka. Mara begitu ingin hidup normal seperti orang-orang lainnya. Mara merasa dirinya berbeda dari orang kebanyakan karena luka dalam dirinya. Karena itu Mara begitu ingin bisa menghilangkan luka dalam dirinya itu sepenuhnya, hingga tidak membekas lagi. Lalu hidup dengan baik tanpa merasa sakit, seperti orang-orang.

Tapi sekarang Mara tersadar, kalau tidak ada orang yang tidak memiliki luka dalam dirinya. Kalau mungkin memang tidak ada orang yang normal di dunia yang penuh luka ini. Atau kalau mungkin, memang itulah makna dari normal itu sendiri. Bahwa manusia memang mendapatkan luka dan akan merasa sakit saat menjalani hidupnya.

“Semua orang begitu, Mara.” Ken bersuara lagi, seolah berusaha meyakinkan Mara. “Jadi yang bisa kita lakukan cuma menerimanya. Menerima diri kita sendiri. Menerima kenyataan kalau dengan semua yang terjadi pun, kita sebenarnya baik-baik saja. Kita sebenarnya bisa hidup dengan baik. Kita sebenarnya bukan orang yang bermasalah. Jadi nggak apa-apa untuk menerima diri kita sendiri, untuk mencintai diri kita sendiri.”

Ucapan Ken itu membuat airmata Mara terjatuh lagi. Entah mengapa, ucapan itu seolah masuk ke lubuk hati Mara terdalam. Bagian dalam diri Mara yang selama ini berusaha ditutup rapat, diabaikan oleh Mara.

Sementara itu, Ken jadi panik melihat Mara menangis lagi. “Tunggu, kenapa lo malah nangis? Apa gue salah ngomong?”

Mara buru-buru mengusap air matanya dan menggeleng. “Enggak, Ken. Lo nggak salah, kok. Apa yang lo bilang itu benar. Cuma gue baru menyadari kebenarannya.”

Ken mengangguk-angguk.

“Singkatnya, lo terharu sama apa yang gue bilang,” seloroh Ken, berusaha mencairkan keadaan. Dan tampaknya hal itu berhasil karena Mara tersenyum kecil mendengarnya. Ken tersenyum lega melihatnya. “Nah, gitu dong senyum. Udah cukup sekali gue panik karena lihat lo nangis di pinggir jalan tadi.”

Mara meringis mendengarnya. Teringat lagi saat ia menangis di depan kafe tadi, apalagi saat melihat Ken datang. Mara tidak bisa menggambarkan perasaannya saat itu. Tapi saat itu Mara merasa kalau ia bisa menangis sepuasnya dan menceritakan semua pada Ken. Lalu Ken akan mendengarkannya dengan baik, menerimanya apa yang dikatakannya dengan baik. Lalu semuanya akan baik-baik saja dan berjalan normal lagi. Seperti biasanya.

Kenyataan itu membuat Mara tertegun. Sejak kapan Ken memiliki peranan begitu besar dalam hidupnya?

Mara menatap Ken yang masih berbicara soal betapa kagetnya ia tadi. Ken sudah berpikir yang tidak-tidak waktu itu, bahkan sempat akan masuk ke kafe untuk menanyakan siapa yang membuat Mara menangis begitu. Kalau ternyata yang membuat Mara menangis adalah pria, Ken sudah siap untuk menonjoknya sampai babak belur.

Perlahan, Mara merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

“Mara?”

Suara Ken membuat Mara tersadar. Mara buru-buru mengalihkan pandangannya, lalu berdehem. “Ah, gue pasti udah jadi bahan gosip yang empuk sekarang. Dua cewek nangis-nangisan di acara reuni pasti akan dibahas sampai kapanpun,” keluh Mara, mengucapkan apa saja yang terlintas di kepalanya sekarang.

Ken mengangguk-angguk. “Pasti. Kalau gue sebagai penonton juga akan melakukan hal yang sama,” ujar Ken. “Ngomong-ngomong, gimana teman-teman SMA lo? Lo ketemu ama banyak orang?”

Mara mengangguk. “Ternyata angkatan gue termasuk yang sering adain reuni, dan sering pada datang juga. Yah, kecuali gue. Gue sampai pangling lihat banyak yang berubah, dulu kan masih bocah banget. Sekarang udah pada kerja. Beda banget tampilannya, apalagi anak-anak cowok.”

“Cowok?” Alis Ken terangkat. “Tunggu. Nggak ada cowok yang macam-macam di reuni itu, kan? Nggak ada yang model-model playboy ngedeketin lo, kan?”

“Wah, udah lama gue nggak dengar kata itu,” sahut Mara. Mara memang sudah lama tidak mengucapkan playboy material dan mengatai Ken dengan sebutan itu. Entah sejak kapan, Mara menyadari kalau Ken memang bukan orang seperti itu dan sebutan itu tentu saja tidak cocok dengan Ken.

“Jawab pertanyaan gue dulu, Mara.” Ken tampak tidak sabar.

“Nggak ada, Ken,” sahut Mara malas-malasan. “Boro-boro mikirin soal begitu, kan gue keburu bikin drama sama Sophie.”

“Bagus.” Ken mengangguk-angguk puas. “Eh, tapi after-effect juga sering kejadian saat reuni. Kalau cowok yang tahu-tahu ngontak lo terus ngedeketin lo, jangan diladenin. Kalau perlu bilang sama gue, biar gue yang urus.”

Kalau kalimat itu Ken ucapkan beberapa bulan lalu, Mara akan langsung menyahut malas dan mengatainya playboy material. Tapi kini Mara hanya bisa terdiam. Mara buru-buru mengalihkan pandangannya dan berdehem.

Mara merasa ia memiliki masalah baru sekarang.


Baca bagian lainnya di sini:

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *