Aku menatap langit-langit kamar dengan pandangan nanar. Ini tempat kedua selain laboratorium yang tidak dipasangi alat perekam atau CCTV. Seharusnya nyaman, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur malam ini.
Salah satunya, karena ini malam pertamaku tidak berada di apartemenku. Sejak pertama menginjakkan kaki di Jakarta, aku tidak pernah bermalam di tempat lain selain apartemenku.
Hal lain, karena pistol yang tergeletak di meja dekat tempat tidur. Tadi ada seorang penjaga yang memberikan pistol itu dan meletakkannya di sana, karena aku tidak mengambilnya ketika di ruangan Zeus.
Tidak. Aku tidak akan menyentuh pistol lagi sampai kapan pun. Kurasa aku tidak akan bisa.
“Bagaimana bisa ia menjadi seperti itu?!” pekikku kaget.
“Ia meminum NM7, Alo!” seru Ben yang bersiaga di depanku. Mataku membesar. Tidak percaya kalau orang yang sudah seperti monster di hadapanku menjadi seperti ini karena obatku.
“Itu… itu belum sempurna. Kenapa Diaz meminumnya?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Itu salahnya, Alo! Dia mencurinya karena mendengar kegunaan obat itu!” ujar Ben.
Sementara, Diaz mengamuk semakin parah. Ia membanting apa pun di sekitarnya. Benar-benar seperti monster.
Aku dan Ben mundur perlahan. Menjauh dari Diaz. Anggota yang lain berjaga dengan pistol di tangan mereka, mengarah pada Diaz.
Diaz mengambil besi panjang yang tergeletak di lantai, bagian dari kaki kursi yang dibantingnya tadi. Ia memukul-mukul sekitarnya dengan besi itu. Dan mendekati Cortez, mengarahkan besi itu padanya.
“Cortez!” pekikku panik.
Tangan Cortez terpukul. Pistol yang berada di tangannya terlempar sampai ke dekat kakiku.
Aku melihat Cortez semakin tersudut. Ia tidak bisa bangkit karena terhimpit meja dan kursi yang sudah berantakan karena dibanting Diaz. Diaz memukul Cortez lagi, mengenai tubuhnya. Dan bersiap memberikan pukulan lagi yang mengarah pada kepala Cortez.
Aku segera mengambil pistol yang ada di dekat kakiku. Mengarahkannya pada Diaz.
DOR. DOR.
Semuanya terjadi begitu cepat.
Pistol di tanganku terjatuh bersamaan dengan tubuh Diaz yang tergeletak di lantai. Bersimbah darah. Tanganku gemetar.
Ben dan yang lainnya segera mendekat untuk memeriksa keadaan Diaz. Ia sudah tidak bergerak. Ben segera kembali ke tempatku, yang masih tidak bergeser seinci pun. Sementara yang lain segera memeriksa keadaan Cortez.
Ben memelukku erat. “Sudah berakhir. Tidak apa-apa.”
Tubuhku gemetaran. “D-dia… dia mati!”
“Sudah berakhir, Alo. Tidak apa-apa,” Ben berusaha menenangkanku.
Aku menggeleng kuat. Air mataku mulai turun. “Dia mati! Aku membunuhnya!”
“Tidak, Alo. Kau menyelamatkan Cortez.”
Air mataku semakin deras. “Aku membunuhnya!”
Ben melepas pelukannya dan berjalan mendekati Diaz. Ia menembak dengan pistolnya dua kali. Diaz benar-benar sudah tidak bergerak sekarang.
“Kau lihat itu? Aku yang membunuhnya. Bukan kau, Alo.”
Aku merasa dingin. Aku menggigil. Itu hal terburuk dalam hidupku. Itu pertama kali aku memegang pistol, dan terakhir kalinya.
Sejak hari itu, mimpi-mimpi buruk selalu datang. Berisi kejadian itu, namun dengan orang yang berbeda. Dan yang paling menakutkan adalah, orang dalam mimpi itu Ben. Esok harinya, Eli yang ada di mimpi itu. Esoknya, Tom muncul di mimpi itu.
Dan aku menarik pelatuk pada mereka. Mereka menjadi monster karenaku, dan aku membunuh mereka.
Itu sungguh rangkaian mimpi terburuk dalam hidupku. Semakin hari, aku jadi semakin takut. Takut kalau
aku terus bersama mereka, mimpi itu akan terjadi. Bencana akan datang menimpa mereka. Aku takut aku akan menjadi bencana bagi mereka.
Semuanya karena NM7. Itu bencana. Itu bukan obat, tapi bencana.
Dan sekarang, aku harus membuatnya lagi? Bagaimana kalau muncul monster lainnya?
Tapi, aku harus menyelamatkan Ben. Kali ini, aku harus membuatnya dengan sempurna. Tidak boleh lagi ada kesalahan. Demi Ben.
Walaupun ada keanehan soal Ben yang di tabung. Juga soal Zeus. Tapi kurasa tidak ada waktu. Bagaimana kalau Ben tidak tertolong karena aku memikirkan hal lain? Bagaimana kalau…
“Kau menyelamatkan Cortez, Alo! Sudah berapa kali kukatakan itu padamu. Ini bukan salahmu! Dan tidak ada yang menyalahkanmu!” seru Ben.
Aku tidak menatapnya. Pandanganku nanar. “Tapi Diaz anggota kelompok. Dia keluarga. Dan aku membunuhnya.”
“Kau tidak membunuhnya, Alo! Berapa kali kukatakan padamu kalau aku yang membunuhnya, bukan kau!” seru Ben frustasi. “Dan ia sudah bukan lagi kelompok kita ketika ia mencuri obat itu. Ia sudah berkhianat dengan tidak menuruti perintah Tom untuk tidak menyentuh temuanmu tanpa perintah darinya! Ia sudah berkhianat karena serakah ingin memiliki obat itu dengan cepat!”
“Ini tidak akan terjadi kalau aku tidak pernah membuat NM7.”
“Ini bukan salahmu, Alo.”
Aku menggeleng. “Itu bukan obat, tapi bencana! Ini semua sangat berbahaya! Ini semua terlalu tidak normal!”
“Kehidupan kita memang tidak normal, Alo! Kita, kau, tidak cocok dengan segala sesuatu yang terlalu normal. Kehidupan kita memang penuh dengan hal yang berbahaya, Alo! Kau tahu itu!” seru Ben keras.
“Aku tahu! Aku mengatakan itu karena aku sangat tahu!” seruku tak kalah keras. “Mungkin di masa yang akan datang, aku akan membunuh orang lagi. Dan mungkin, akan ada monster lain nanti! Aku, aku tidak bisa lagi melaluinya!”
Ben menggenggam tanganku erat. “Kau bisa, Alo. Kau pasti bisa. Ada aku disini. Ada Tom. Ada Eli. Ada semuanya.”
Aku mulai menangis. “Aku sudah berusaha keras, Ben. Tapi semua yang terjadi tidak bisa hilang begitu saja. Aku tidak pernah tidur nyenyak selama dua tahun ini. Mimpi-mimpi itu selalu mendatangiku.”
“Aku sudah tidak sanggup lagi, Ben. Tidak setelah kejadian itu,” aku menangis tergugu. Ben menghela nafas, memandangku serba salah.
Tangisku semakin deras. “Aku benar-benar tidak sanggup lagi, Ben. Tolong aku. Selamatkan aku.”
“Kalau kau pergi, kita tidak akan bisa bertemu sampai kapan pun, Alo. Tidak akan bisa lagi.”
Aku menghela nafas. Aku sudah tak lagi memimpikan kejadian buruk itu, tapi berganti dengan mimpi kepergianku dari kelompok. Selama tiga tahun pertama pergi dari kelompokku. Pergi dari Italia.
Karena itu aku selalu ke tempat yang ramai. Berbaur dengan banyak orang. Aku pergi ke pasar, ke pusat perbelanjaan, ke mana pun yang banyak orang. Aku selalu menggunakan angkutan umum seperti bus atau kereta. Berusaha menghalau mimpi-mimpi itu dan mengisinya dengan hal lain.
Dan berusaha mengusir rasa kesepianku. Dari kecil sampai aku berusia 22 tahun, usia ketika aku meninggalkan kelompokku, aku tidak pernah sendiri. Selalu ada Ben, Eli, atau Tom yang menemaniku. Atau Cortez. Jadi aku pergi ke tempat-tempat yang tidak membuatku sendiri.
Namun ternyata, kesepian itu lebih terasa ketika aku bersama banyak orang tapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa kuajak bicara.
Aku menghela nafas lagi.
Tuk. Tuk. Tuk.
Aku mengerutkan kening. Sepertinya ada suara. Aku duduk dan menajamkan pendengaranku. Mencari tahu dari mana suara itu berasal.
Tuk. Tuk. Tuk.
Itu dari jendela.
Aku bangkit. Melirik pistol yang masih tergeletak di atas meja, lalu menggeleng. Aku mengambil sebuah pajangan guci yang tak jauh dari pistol itu. Dan bergerak perlahan mendekati jendela. Membuka gorden perlahan.
Gelap.
Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku mengerutkan kening. Aku yakin sekali suara itu berasa dari sini. Aku pun memutuskan untuk membuka jendela yang besarnya setinggi tubuhku itu. Melihat keluar.
Mataku membesar.
“Ben?”
Baca juga bagian lainnya di sini.