Sekarang aku baru tahu, kalau orang yang menabrakku tempo hari itu merupakan salah satu anggota kelompok Zeus. Aku melihatnya di koridor sebelum masuk laboratorium tadi. Dan baru menyadari kalau orang itu menempelkan alat pelacak di tubuhku sehingga mereka mengetahui tempat tinggalku lalu membawaku kesini. Tampaknya orang itu memang sudah mengikutiku selama beberapa hari.
Masa lalu datang lagi. Padahal kemarin semuanya sangat normal.
Kemarin aku masih mengejar busway untuk berangkat kerja. Dewi masih mengomel karena tidak habis pikir mengapa aku memilih menggunakan angkutan umum dibanding menggunakan mobil, padahal gajiku sangat lebih dari cukup untuk membeli mobil. Lalu atasanku masih memintaku untuk segera menyelesaikan laporan keuangan yang dimintanya dari tiga hari yang lalu. Semuanya masih sangat normal.
Atau mungkin, inilah kehidupan normal-ku sebenarnya?
Aku menghela nafas. Memandangi berbagai cairan kimia di depanku. Setelah berusaha keras sepuluh tahun, sekarang aku harus menghadapi semua ini lagi. Setelah berusaha keras pergi.
Aku menatap cairan berwarna bening di hadapanku.
“Ini namanya benzana, Alo,” suara Tom yang tiba-tiba muncul di belakangku. Tabung kecil di tanganku sempat oleng karena aku kaget, namun segera ditahan Tom. “Hati-hati, Alo. Ini mudah terbakar.”
Aku menoleh. Aku yang berusia sepuluh tahun harus mendongak untuk melihat wajah karismatik Tom, yang sedang tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum, merasa lega karena ia tidak memarahiku karena masuk ke laboratorium dengan sembunyi-sembunyi.
“Aku suka wanginya. Seperti rasa manis,” ujarku. Tom tertawa kecil. “Tapi kau tidak boleh memakannya, Alo. Kau akan mendapat masalah dengan Eli nanti.”
Aku mengangguk patuh. Elizabeth memang cukup mengerikan kalau sudah marah.
“Kau suka dengan tempat ini?” tanya pria yang masih gagah di usianya yang kepala empat itu. Suara Tom sangat meneduhkan. Aku mengangguk lagi. Kali ini dengan mata berbinar. “Tempat ini sepertinya menyenangkan. Aku ingin melakukan hal seperti Cortez.”
Tom baru mau bicara lagi, ketika ada satu suara melengking yang memutusnya.
“Astaga, apa yang kau lakukan di sini, Alo?!”
Aku dan Tom menoleh. Tampak Elizabeth memasuki laboratorium dengan wajah cemas bercampur panik. “Di sini banyak barang berbahaya, Alo sayang! Banyak yang mudah terbakar!”
“Eli, ini tidak—“
“Dan Tom! Astaga, aku tidak percaya ini! Bagaimana bisa kau membiarkan Alo masuk ke tempat ini? Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan Alo kita tersayang ini?” Elizabeth memotong ucapan Tom dan langsung memelukku erat. Lalu wanita seusia Tom itu memeriksa setiap detail tubuhku.
“Apa ada yang terluka? Apa kau mengenai sesuatu?”
Aku tersenyum manis pada Elizabeth. Berusaha meluluhkan hatinya. “Aku tidak apa-apa, Eli. Sungguh. Aku hanya ingin melihat-lihat tadi.”
“Tidak, Alo, tidak. Kau tidak boleh masuk kesini lagi. Tempat ini terlalu berbahaya! Bagaimana kalau kau tidak sengaja menyenggol salah satu cairan lalu membakar—ah! Bahkan membayangkannya pun terlalu menyeramkan untukku!”
Tom menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan kekasihnya itu. Elizabeth adalah wanita yang dingin ketika memegang senjata, namun langsung berubah seperti ibu yang protektif ketika berurusan denganku.
“Mengapa kalian semua disini?”
Tampak Ben yang memasuki laboratorium dengan wajah heran. Elizabeth segera berseru padanya. “Ben! Mulai sekarang, kau kuberi tugas untuk mengawasi Alo agar jauh-jauh dari tempat ini! Di sini sungguh berbahaya baginya!”
Laki-laki yang terpaut tiga tahun lebih tua dariku itu memutar bola matanya. “Lagi-lagi protektif pada anak kesayangan.”
“Ben! Apa yang kau katakan? Kita ini keluarga, harus menjaga satu sama lain,” ujar Elizabeth.
“Baik, baik,” sahut Ben, tidak mau mendengar omelan Elizabeth lebih lama lagi. Ben lalu menggamit tanganku untuk keluar dari laboratorium.
Elizabeth lalu berbalik dan memandang Tom tajam. “Urusanku belum selesai denganmu, Tuan Tom.”
Aku menoleh pada Tom, mengatupkan kedua tanganku di depan hidungku sebagai tanda permintaan maaf. Tom akan dimarahi habis-habisan oleh Elizabeth setelah ini.
Tom hanya tersenyum lebar.
Aku menggenggam tabung kecil berisi benzana erat. Berusaha menahan air mataku yang hampir tumpah. Lalu memandang Ben dalam tabung besarnya.
“Apakah Eli masih marah padaku, Ben?”
Kini air mataku benar-benar tumpah. Eli tidak mau menemuiku sampai saat-saat terakhir aku pergi. Dan aku mengerti hal itu. Eli menyayangiku lebih dari siapa pun.
Aku memandang Ben lagi. “Kau harus segera bangun, Ben. Aku akan membuatmu bangun.”
Aku bergerak mendekat, mengamati Ben lekat. Sedari tadi, aku memang belum memulai meracik NM7. Aku perlu mengecek semua hal yang kubutuhkan supaya tidak terjadi kesalahan yang sama seperti dua belas tahun yang lalu.
Dan Zeus memang memberiku kuasa penuh atas laboratorium ini, termasuk tidak boleh ada alat perekam atau penyadap dan penjaga. Dan kemampuanku masih tinggi untuk menyadari ada tidaknya hal-hal itu. Terlebih lagi, kemampuan kelompok kami memang di atas Red Skull, kelompok Zeus ini.
“Tentu saja kelompok kita paling hebat, Alo,” ujar Ben ketika aku bertanya siapa kelompok terhebat dalam dunia kami.
Aku dan Ben sedang berada di laboratorium, mencoba membuat sesuatu yang baru. Setelah membujuk Elizabeth dengan gigih, akhirnya aku dibolehkan menggunakan laboratorium ketika usiaku 13 tahun. Dua tahun berjalan, dan aku tidak mengecewakannya dengan selalu membuat hal-hal baru dan tentunya berguna untuk kelompok kami. Bahkan Cortez, ahli kimia kelompok kami, kagum dengan kemampuanku.
Mataku membesar. “Benarkah? Tom dan Eli sehebat dan sekuat itu?”
“Tentu saja! Aku sering diceritakan oleh Martius betapa hebatnya Tom dan Eli ketika sudah berurusan dengan musuh. Apalagi ketika mereka sedang menembak atau berkelahi. DUAR, DUAR!” seru Ben semangat dengan memperagakan tembakan jarinya.
Ia duduk tidak jauh dari tempatku. Meskipun sudah diizinkan menggunakan laboratorium, Eli masih tetap menyuruh Ben untuk mengawasi dan menjagaku. Pandangan soal laboratorium itu berbahaya masih tidak berubah di mata Eli.
“Lalu siapa yang kedua?” tanyaku lagi.
“Red Skull,” ujar Ben. “Pemimpin mereka bernama Zeus. Ia dibilang menyeramkan karena selalu dapat membuat orang takut di saat ia tersenyum lebar. Tapi tentu saja ia tidak bisa mengalahkan Tom!”
“Apa mereka musuh kita?”
“Tidak ada musuh atau teman abadi di dunia kita, Alo,” ujar Ben. Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti apa yang diucapkannya.
“Yang ada hanya kepentingan abadi,” lanjut Ben. “Musuh hari ini bisa menjadi teman esok hari, karena memiliki kepentingan yang sama. Begitu sebaliknya.”
Aku terdiam mendengarnya. Berusaha mencerna apa yang dikatakan Ben.
“Tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya di dunia ini, Alo,” Ben menatapku lekat. “Kecuali kelompok kita sendiri. Karena kita keluarga.”
“Kau tahu, mengapa kita menjadi kelompok yang paling hebat?” tanya Ben, melihatku masih diam. “Selain karena Tom dan Eli yang hebat, juga karena kita keluarga. Kita saling peduli dan menjaga seperti keluarga. Itulah yang membuat kita kuat dan hebat.”
Ben bangkit dari duduknya, lalu menepuk bahuku pelan. Aku tersenyum memandangnya.
“Aku akan selalu menjagamu, Alo. Sampai kapan pun. Karena kita keluarga.”
Air mataku semakin deras. Aku menatap Ben semakin lekat. Pandanganku mengabur.
Sampai aku tersadar sesuatu.
Aku sedikit merunduk, memperhatikan pinggang Ben bagian kanan. Kuusap air mataku supaya bisa melihat lebih jelas.
Aku menekan tombol untuk membuka tabung. Selang oksigen terpasang pada hidung dan mulut Ben, sehingga aman untuk membuka tabung ini. Aku semakin merunduk, memperhatikan dengan lebih jelas lagi.
Mataku mengerjap, tidak percaya.
Seharusnya ada bekas luka di pinggang kanan Ben. Aku tahu benar itu. Ben mendapatkannya setelah berlatih pedang dengan Tom, yang membuat Tom dimarahi sepanjang hari oleh Eli karena kurang berhati-hati. Tom berulang kali meminta maaf pada Ben, sementara Ben hanya cengengesan. Ia justru bangga memiliki bekas luka—tentunya tidak dikatakan di hadapan Eli.
Aku mengerutkan kening. Bagaimana mungkin bekas luka itu tidak ada? Ben sangat bangga dengan bekas luka itu, bahkan sering memamerkannya padaku. Tidak mungkin itu menghilang.
Ada yang aneh di sini.
“Apa yang sebenarnya kau rencanakan?” tanyaku pada Zeus begitu aku memasuki ruangannya.
Zeus yang sedang menikmati segelas anggur, mengerutkan keningnya. “Ada apa, Alora? Bukankah kita sudah membahas hal itu?”
Aku duduk di hadapannya. “Aku merasa ada hal lain yang kau rencanakan. Dan jangan bilang lagi kalau tujuanmu sama dengan tujuanku dua belas tahun yang lalu. Kita berbeda.”
Zeus mendesah. “Kau meragukanku, Alora?”
“Lalu kau berharap aku mempercayaimu?” aku bertanya balik.
“Memangnya kau pikir apalagi hal yang ingin dicapai kelompok seperti kita? Kehidupan yang lebih lama untuk menikmati kekuasaan dan kekayaan yang didapat akan membuat hidup kita lebih sempurna, bukan?”
Aku hanya terdiam. Zeus mendesah lagi. “Kau benar-benar tidak percaya?”
“Aku rasa ada hal yang aneh. Ada yang kau sembunyikan.”
Zeus mengambil pistol dari ikat pinggangnya, lalu meletakkannya di atas meja. “Ambil itu, Alora. Kalau kau khawatir, kau bisa menggunakannya. Itu
pistol pribadiku.”
Aku terdiam. Mataku menatap pistol itu nanar.
“Kau masih meragukanku, Alora? Memangnya apa yang kau rasa aneh?” Zeus menghela nafas. “Itu pistol yang sudah 20 tahun bersamaku. Kesayanganku, Alora. Ambillah.”