Setelah kejadian makan siang itu, Mara benar-benar menghindari Ken. Setiap ada pertemuan Icarus selama dua minggu ini, Mara selalu jauh-jauh dari Ken. Kalau Ken mencoba membuka percakapan, Mara hanya menjawab pendek lalu pergi. Mara tidak mengiyakan ajakan Ken untuk makan siang bersama lagi. Mara tidak membalas pesan Ken kalau tidak ada hubungannya dengan urusan Icarus.
Intinya, Mara melakukan semua hal yang ia bisa untuk menghindari Ken. Semua orang di Icarus pun menyadari hal itu. Jadi seharusnya Ken juga menyadarinya, kan? Tapi Ken seperti biasa, tidak merasa terganggu dengan hal itu dan tetap bersikap seperti sebelumnya. Menyapa Mara, mencoba membuka percakapan dengan gadis itu. Mara jadi mulai bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan otak Ken? Atau orang super friendly seperti Ken itu selalu dapat menjaga sikap ramahnya meski apa pun yang terjadi? Mara tidak begitu paham dengan hal itu, merasa mustahil dapat memahami Ken yang jelas-jelas berbanding terbalik dengannya.
Dan sesungguhnya, untuk pertama kalinya Mara merasa begitu sulit menghindari orang lain. Biasanya ketika dari awal orang menyadari kalau Mara menjaga jarak, mereka tidak akan mendekat lagi. Apalagi kalau ia benar-benar menghindar. Tapi sekali lagi Mara mengakui kalau Ken ini benar-benar kasus langka.
Untungnya selama dua minggu ini Icarus sangat sibuk. Mereka mengejar keterlambatan shooting karena kendala tempo hari. Banyak yang harus mereka lakukan agar film itu dapat selesai sesuai jadwal, seperti yang selalu ditekankan Rendy soal tepat waktu. Jadi Mara sedikit terbantu untuk menghindari Ken.
Tapi anehnya juga, di sela-sela upaya menghindari Ken, Mara malah semakin memperhatikan pemuda itu. Saat Ken tidak sedang berusaha mengajaknya bicara dan melakukan hal lain tentunya. Mara jadi tahu kalau ken ternyata sangat berdedikasi untuk Icarus dan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Bahkan sudah beberapa hari ini Ken menginap di markas untuk mengedit film mereka bersama Rendy dan Bagas.
Sebenarnya bukan hal aneh melihat anggota Icarus berdedikasi untuk apa yang mereka lakukan karena Mara tahu betul mereka semua sangat menyukai film. Mereka tidak mungkin dapat terus menjalankan klub film ini kalau tidak benar-benar mencintai film dan ingin membuat film yang mereka inginkan. Tapi melihat Ken juga ternyata seperti itu, entah mengapa membuat Mara merasa sedikit aneh. Atau tepatnya, terkejut.
Mungkin karena hal itu tidak seperti persepsinya soal Ken selama ini? Mungkin karena sikap Ken yang easy going membuat Mara tidak menyangka kalau pemuda itu ternyata bisa serius juga? Atau mungkin karena ternyata Ken lebih baik dari dugaannya? Entahlah, Mara juga tidak tahu.
“Mara! Udah lama?” sapa Kania yang baru memasuki markas Icarus. Gadis itu lalu duduk di samping Mara yang sedang merapikan properti bekas shooting mereka.
“Lumayan. Gue datang jam 7 tadi,” sahut Mara.
Kania mengangguk-angguk. Wajahnya tampak lelah. “Gue baru bisa keluar kantor jam 7 malah, banyak dokumen yang harus diurus.”
“Nggak apa-apa. Di sini juga udah nggak banyak kerjaan, tinggal nunggu selesai ngedit.”
Kania lalu melihat kepada Ken, Rendy, dan Bagas yang masih sibuk dengan layar masing-masing. Memang pekerjaan editing itu sebentar lagi selesai. “Mereka nginap lagi di sini semalam, kan?” Kania menunjuk ketiga pemuda itu dengan dagunya.
Mara mengangguk. “Gue rasa masih ada yang dinilai Rendy kurang pas, makanya mereka masih ngotak-ngatik.”
Kania mengangguk-angguk paham, sudah hafal dengan tabiat Rendy yang agak perfeksionis itu. Kania kemudian menjentikkan jari, teringat sesuatu. “Oh iya, lo pasti belum tahu. Kemarin lusa pas lo nggak datang karena harus lembur di kantor, sempat ada bahasan buat ngubah editan dan motong adegan yang ada di naskah. Karena waktunya udah mepet dan capek juga begadang terus.”
“Oh ya?” Mara mengangkat alis.
“Tapi terus Ken ngotot kalau kita harus ngikutin naskah yang lo bikin. Kan kita udah percaya buat pakai naskah lo, jadi ya harus komitmen buat ngikutin sepenuhnya. Terus Ken bilang, lo juga pasti nggak akan suka kalau naskah lo diotak-atik. Untuk hal itu gue setuju sama Ken.”
Mara tertegun mendengarnya. Ia tidak menyangka Ken akan melakukan hal seperti itu. Jadi Ken benar-benar tahu tentang dirinya? Hanya dari membaca naskah-naskah yang Mara tulis, Ken dapat mengenal dirinya? Hal itu terdengar seperti sesuatu yang mustahil bagi Mara, tapi mendengar apa yang diceritakan Kania membuatnya mau tidak mau mempercayainya.
Jadi Ken benar tentangnya. Di sisi lain, Mara mulai merasa kalau mungkin ia salah menilai Ken.
Tiba-tiba saja, Mara tersadar akan sesuatu. Lagi-lagi ia melakukan hal seperti ini, hal yang sering ia sesali tapi kemudian dilakukannya lagi. Mara terlalu cepat menilai orang lain – terutama mereka yang berbanding terbalik darinya seperti Ken – lalu menganalisa mereka dan membuat dugaan ini itu soal mereka. Mara tahu ia seharusnya tidak begitu karena ia juga tidak ingin orang lain melakukan hal yang sama padanya. Mara bahkan pernah berjanji pada dirinya sendiri tidak melakukannya lagi. Tapi ternyata ia kembali melakukannya.
Mara juga merasa kalau dirinya berlaku tidak adil. Ia seenaknya menilai dan menganalisa Ken, menyimpulkan ini itu tentang pemuda itu. Tapi ia merasa kesal dan terganggu saat tahu Ken juga menganalisa dirinya. Mara pun menghela napas.
Saat Mara sedang tenggelam dalam rasa bersalahnya, pemuda yang ada dalam pikirannya itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Ken berbalik dan menyapa Kania yang baru dilihatnya.
“Mana titipan gue, Ya?” tagih Ken kemudian.
Kania manyun. “Gue bela-belain turun dari ojek buat beliin titipan lo, nih.”
“Thank you, thank you.” Ken nyengir senang. Ia lalu menerima bungkusan plastik yang mengeluarkan wangi harum dari Kania. Kania geleng-geleng kepala melihatnya. “Lo kok jadi doyan martabak sih, Ken? Perasaan dulu lo nggak doyan-doyan amat, deh.”
“Di Aussie nggak ada martabak,” sahut Ken enteng. Ken meletakkan martabak itu di atas meja depan sofa yang diduduki Mara. “Lo belum makan kan, Ra? Ayo makan dulu.”
Mara hanya menatap Ken tanpa suara. Ia jadi bingung harus bagaimana dengan pemuda ini.
“Kenapa malah diam aja? Lo doyan martabak, kan?” tanya Ken sambil membuka bungkusan martabak itu. “Waktu itu gue lihat lo kayak senang pas makan martabak, dan makan cukup banyak juga.”
Mara tertegun lagi. Ia rasa, beginilah Ken yang sesungguhnya. Ken adalah orang yang memperhatikan orang lain, bahkan detail-detail kecil. Ken peduli pada orang lain, dalam arti yang baik. Kalau dipikir-pikir, selama ini juga Mara sering melihat Ken berusaha mengurus orang lain di sekitarnya. Seperti saat setiap jeda shooting, Ken memastikan kalau semua orang benar-benar beristirahat dan makan dengan baik.
“Ra?” Terdengar suara Ken lagi. Mara lalu tersadar, dan menyahut sedikit tergagap. “O-oh, iya.”
Sementara itu, Kania yang menyaksikan mereka berdua tanpa suara pun memiringkan sedikit kepalanya. Di bibirnya tersungging senyum kecil. “Oh, jadi bukan gara-gara Aussie,” gumamnya. Kania lalu bangkit dari situ untuk menghampiri Rendy yang memanggilnya. Biasanya itu berarti Rendy ingin meminta pendapatnya mengenai sesuatu.
Dan Mara pun akhirnya mengambil sepotong martabak telur dari atas meja. Melihat hal itu, Ken mengerutkan kening. “Gue kira lo sukanya sama martabak manis.”
Ken benar-benar memperhatikan hal detail. Mara jadi ingin tahu apa saja yang diketahui Ken tentang dirinya, apa saja yang diperhatikan Ken. Mara mengunyah martabaknya tanpa suara, sambil menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya.
“Sebenarnya gue bukannya doyan sama martabak manis.” Mara akhirnya memutuskan untuk mengucapkan hal itu. Hal yang tadinya menurut Mara tidak perlu ia bilang pada Ken. “Waktu itu gue lagi pengen makanan manis dan kebetulan lo bawa martabak. Kebetulan juga gue belum makan dari siang, jadi waktu itu emang lapar banget.”
“Oh gitu.” Ken mengangguk-angguk. Ia juga sudah mulai mengambil sepotong martabak dan memakannya. “Berarti lain kali gue nggak harus beliin martabak, ya?”
Mara mengangkat alis. “Gue rasa lo nggak harus beliin apa-apa.”
“Kenapa?” tanya Ken heran.
“Gue kan bisa beli makanan gue sendiri,” sahut Mara tak kalah herannya.
Ken mengangguk. “Gue tahu.”
“Terus?”
“Lo bisa beli makanan sendiri dan gue yang beliin makanan adalah dua hal yang berbeda, Mara,” sahut Ken enteng, seolah itu adalah sebuah fakta yang tidak perlu dipertanyakan. “Jadi itu bukan halangan.”
Mara memiringkan kepalanya sedikit, tak habis pikir dengan ucapan Ken barusan. Nah kan, bagaimana ia tidak berpikir kalau Ken seperti playboy jika kelakuannya begini?
“Oh, dan tolong usir raut wajah ‘dasar playboy’ dari muka lo itu.” Ken menunjuk wajah Mara, membuat gadis itu kaget karena Ken bisa membaca pikirannya. Ken terkekeh pelan. “Lo itu kalau apa-apa kelihatan banget dari muka lo, Ra. Raut muka lo itu selalu jujur.”
Mara mendengus kesal. Saat itu, Mara mulai merasa kalau mungkin tidak apa-apa kalau ia menunjukkan dirinya yang sebenarnya pada Ken. Mara merasa kalau Ken mungkin akan dapat menerima dirinya tanpa merasa tersinggung dengan ucapan-ucapannya yang lugas, jujur, dan satir.
“Benar-benar playboy material,” sahut Mara akhirnya.
Dan benar saja, Ken tertawa lagi mendengarnya. “Istilah yang benar itu friendly, Mara. Gue emang orangnya ramah dan baik, gimana dong? Bukan salah gue dong kalau terus teman gue banyak, termasuk cewek.”
Mara mengangkat alis, menatap Ken tidak percaya.
“Tapi gue masih tahu batas-batas antara friendly dan PHP ke cewek, kok.”
Mara masih menatap Ken, semakin tak percaya.
“Beneran, lo tanya aja sama anak-anak!” seru Ken. “Cuma ya kalau ternyata orangnya baper, bukan salah gue juga. Maksud gue, mungkin aja pada dasarnya orang itu suka sama gue terus salah paham. Kalau udah begitu, gue bisa apa coba?”
Mara ternganga mendengarnya, menatap Ken yang masih tertawa-tawa. Mara tahu kalau Ken jelas-jelas bercanda dengan ucapannya barusan. Tapi tetap saja ia tidak habis pikir. Akan banyak hal. Termasuk pada kenyataan bahwa ia merasa lega telah memutuskan untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya pada Ken.
Juga pada kenyataan bahwa pada detik selanjutnya, Mara sudah tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala melihat Ken.
Baca bagian lainnya di sini: