Yang Berjalan dan Yang Terbang: Ken

ken

“Oke kalau begitu. Sampai ketemu Senin ya, Mara!”

Mara mengeluh mendengar ucapan Ken itu. Bukan ini yang ia inginkan dan rencanakan tadinya. 

Kronologis yang membuat Ken mengucapkan kalimat itu adalah begini. Mereka – bukan hanya berdua, tapi dengan anggota Icarus lainnya – berkumpul kembali pada akhir pekan di lokasi shooting. Dari awal persiapan hingga di sela-sela mereka melakukan shooting, Ken selalu mengajak Mara bicara ini itu. Bukan hal-hal yang serius sebenarnya, lebih ke hal-hal remeh dan tidak penting menurut Mara. 

Dan hal itu membuat Mara tidak habis pikir. Mara yakin betul kalau dirinya jelas-jelas menghindari Ken, yang harusnya dilihat jelas juga oleh pemuda itu, dan tidak merespon dengan baik apa yang dikatakannya. Tapi Ken sepertinya tidak peduli dan terus saja mengajak Mara bicara dengan antusias. Kebanyakan orang menyerah saat menghadapi Mara yang minim respon itu dan tidak banyak bertanya lagi, tapi Ken merupakan kasus yang langka.

One of a kind? batin Mara bertanya-tanya.

“Lo kerja di Sudirman juga, Ra?” Mara mendengar Ken bertanya dengan antusias untuk kesekian kalinya. Sekarang ini mereka sedang break untuk makan siang. Rendy dan Bagas yang duduk tak jauh dari keduanya hanya geleng-geleng kepala, sudah terbiasa dengan tingkah Ken itu. Kania sedang mengurus konsumsi untuk talent mereka.

Mara mengangguk pendek atas pertanyaan Ken tadi, lalu menyuap makannya dan mengunyah cepat-cepat. Ia ingin segera pergi dari situ.

“Serius? Di mana? Kantor apa? Gue kerja daerah sana juga!” suara Ken terdengar lebih antusias dari sebelumnya. Mara tidak langsung menjawab. Dalam kepalanya bertanya-tanya apa yang membuat Ken berkelakuan seperti ini. Karena sifatnya yang memang friendly over friendly, menurut Mara – pada semua orang? Bahkan kepada orang seperti dirinya? Hal itu sulit dimengerti oleh Mara, bagaimana bisa seseorang memiliki sifat yang tidak pernah bisa dibayangkan Mara sebelumnya.

Melihat Ken yang masih menunggu jawabannya, Mara akhirnya menyebutkan sebuah gedung perkantoran yang cukup terkenal di daerah Sudirman. Ken memekik girang, ternyata kantornya bersebelahan dengan gedung kantor pemuda itu. Ken langsung mengajak Mara untuk makan siang bersama di hari Senin nanti.

Mara mengusap tengkuknya, kebiasaannya saat tidak tahu harus berkata atau melakukan apa. Ia tidak tahu harus merespon apa atas ajakan Ken barusan. Mara ingin langsung menolak ajakan pemuda itu, tapi melihatnya berseru girang menahan Mara melakukan hal itu. Ken terus memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, seolah tidak akan berhenti sebelum mendengar Mara mengiyakan ajakannya.

“Gimana, Ra? Mau, kan? Ada foodcourt enak banget di belakang gedung kantor lo. Pernah nyoba, nggak? Kita kesitu Senin, ya?”

Mara kembali bertanya-tanya. Sebenarnya, apakah ada sesuatu yang benar-benar menjadi alasan sebenarnya Ken berkelakuan seperti ini? Apa yang ada di pikiran pemuda itu? Apa yang sebenarnya diinginkannya?

Kepala Mara semakin penuh dengan pertanyaannya sendiri, dan pertanyaan Ken yang seolah tidak ada habisnya. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri semua ini, dan caranya adalah mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Untuk melakukan hal itu, Mara memutuskan untuk menerima ajakan Ken.

“Oke kalau begitu. Sampai ketemu Senin ya, Mara!” seru Ken sumringah. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya ketika mendengar Bagas memanggilnya untuk mempersiapkan shooting mereka selanjutnya.

Sedangkan Mara mendapati munculnya pertanyaan baru dalam kepalanya, apakah yang ia lakukan adalah hal yang tepat? Mara mulai menemukan penyesalan muncul di dalam hatinya. Mungkin seharusnya ia biarkan saja kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan daripada malah mengikuti arus tak terduga dari Ken.

Tapi penyesalan tidak menghentikan waktu yang berjalan dan hari Senin pun datang. Ken benar-benar menagih ucapan Mara untuk makan siang bersamanya. Pemuda itu sudah ribut mengirimkan pesan lewat WhatsApp sejak pagi, memastikan Mara untuk tidak lupa dengan rencana mereka. Mara menghela napas. Makan siang bersama dengan orang yang baru ditemuinya dua kali dikenalnya tentu saja bukan ide yang bagus. Mara sendiri baru makan bersama dengan rekan kerja di kantornya setelah seminggu di sana, itu juga karena mereka yang mengajaknya duluan. 

“Mara!”

Mara melihat Ken melambaikan tangan padanya begitu ia sampai di lobi kantor. Pemuda itu ternyata sudah menunggunya di sini dari tadi. Mara pun menghampirinya.

“Lo mau makan apa, Ra?” tanya Ken saat mereka mulai melangkah meninggalkan lobi menuju foodcourt yang dibilang Ken itu.

“Apa aja.”

“Hmmm, itu jawaban yang susah dipahami. Apa aja dan terserah adalah dua kata yang menakutkan saat keluar dari mulut cewek,” seloroh Ken.

Dalam hati Mara membenarkan ucapan Ken barusan. Tapi dalam kasus Mara saat ini, apa yang diucapkannya itu memang yang sebenar-benarnya. Ia tidak bersemangat memikirkan mau makan apa dengan Ken sehingga apa pun tidak akan menjadi masalah buatnya.

Tapi seperti biasa, Mara tidak menanggapi ucapan Ken secara langsung meski pikirannya terus berjalan. Dan seperti biasa pula, Ken tidak merasa terganggu dengan hal itu. Pemuda itu pun bertanya lagi.

“Lo sukanya apa, Ra? Kali ini tolong kasih jawaban yang spesifik. Kuah, goreng, bakar? Atau lo vegetarian mungkin, sukanya sayur-sayuran?”

Mara terdiam sejenak, akhirnya malas-malasan menyahut. “Goreng.”

Ken mengangguk-angguk seraya menjentikkan jari, seolah jawaban pendek Mara barusan adalah stimulus yang jenius untuk otaknya. Mara lalu kembali mendengar Ken sudah kembali berbicara panjang lebar dengan nada antusias.

“Lo mau nyobain lele goreng langganan gue, nggak? Itu lele enak banget, lo pasti nggak akan nyesel. Bumbunya enak, tapi yang paling enak sambelnya. Bikin ketagihan, deh.”

Mara memandang Ken heran. Bukannya Ken baru kembali dari Australia? Tapi kenapa Ken begitu tahu soal makanan di foodcourt ini?

“Sebelum ke Aussie, gue udah dua tahun kerja di sini. Udah sering banget makan di foodcourt itu sampai hafal makanan apa aja yang ada di sana,” ujar Ken tiba-tiba, seolah mengetahui isi pikiran Mara.

Tentu saja hal itu membuat Mara kaget. Gadis itu lalu berdehem kikuk.

“Oke,” sahutnya kemudian. Tapi dilihatnya Ken masih menunggu jawaban darinya. Mara pun berkata lagi. “Makan lele yang lo bilang tadi, juga oke.”

Ken tersenyum mendengarnya. Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di foodcourt sambil menyantap lele yang direkomendasikan Ken.

“Gimana, Ra? Enak, kan?” tanya Ken begitu melihat Mara menyuap makanannya. Mara mengangguk, menyetujui ucapan pemuda itu soal enaknya bumbu dan sambal lele ini. Dan saat Mara berharap mereka dapat makan dengan tenang, Ken mulai bertanya macam-macam lagi.

“Ngomong-ngomong, lo di kantor bagian apa, Ra?”

“Administrasi.”

“Pasti ribet banyak ngurus dokumen ini itu, belum lagi kalau banyak yang minta cepat. Dulu gue sempat di administrasi juga sebelum dipindah ke SDM. Lo udah lama kerja di sana?”

“Setahun.”

“Oh gitu, nggak baru-baru banget dong ya. Lo ngekos dekat sini?”

Mara menggeleng. “Pulang pergi ke Cijantung.”

“Wah iya? Lumayan jauh, dong. Kenapa nggak ngekos aja, Ra?”

“Mahal.”

“Hmm, iya sih daerah sini kosan emang mahal-mahal. Gue juga susah nyari kosan dekat sini, akhirnya dapat deket Icarus. Kalau lo mau nyari kosan daerah sana juga, gue bisa bantu cariin.”

“Oke.”

“Terus lo kalau berangkat jam berapa dari rumah, Ra? Lumayan kan perjalanan dari sana, belum macet-macetnya.”

Dalam pembicaraan dengan Ken, Mara menyadari hal lain tentang pemuda itu. Ken benar-benar piawai dalam berinteraksi dengan orang lain. Ken tetap antusias dan merespon dengan baik bahkan saat Mara hanya mengeluarkan satu dua kata. Ken juga dapat membuat percakapan mengalir; banyak bertanya tapi tidak terkesan menginterogasi, dan menceritakan tentang dirinya tanpa diminta.

“Teman lo pasti banyak,” ujar Mara tiba-tiba. Ini pertama kalinya ia bicara pada Ken tanpa ditanya terlebih dahulu. Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya tanpa ditahan, seolah ada dorongan dari dalam dirinya untuk mengucapkan hal itu. “Terutama cewek.”

Ken terkesiap kaget mendengar ucapan Mara itu. Ia tidak menyangka Mara akan tiba-tiba bicara, dan membicarakan hal ini. Tapi kemudian, Ken menyadari sesuatu. Pemuda itu pun tersenyum, bertanya pada Mara. “Emang kenapa kok lo ngomong begitu? Dan kenapa terutama cewek?”

Mara mengangkat bahu. “Karena lo sangat friendly? Cewek-cewek pasti suka cowok model begitu.”

“Termasuk lo?” Ken bertanya lagi sambil memandang lurus pada mata Mara, mencoba menelisik jawaban apa yang akan diberikan gadis itu.

Melihat hal itu, Mara menjadi semakin yakin kalau seperti katanya tadi, pasti mudah bagi Ken untuk populer terutama di kalangan wanita. Gaya bicara dan sikap Ken ini seperti…

“Gue malah lihat cowok begitu kayak playboy,” sahut Mara lugas.

Tapi sedetik kemudian, Mara kaget sendiri dengan apa yang barusan diucapkannya. Raut wajah Ken yang tercengang membuatnya khawatir kalau-kalau ia membuat pemuda itu tersinggung. Inilah yang membuat Mara menjaga jarak dengan orang lain, terutama orang yang belum lama dikenalnya. Mara cenderung berkata dengan lugas dan jujur apa yang ada di pikirannya, kadang mendekati sinis juga, jika tidak ditahan. Seperti sekarang ini. Ia malah kelepasan bicara pada orang yang baru ditemuinya tiga kali.

Mara menyesal. Seharusnya ia lebih bisa menahan diri tadi.

Namun tak disangka, pada detik selanjutnya Ken malah tertawa lepas. Sama sekali tidak ada jejak-jejak tersinggung atau marah pada raut wajahnya. Malah pemuda itu tampak puas dan senang. Mara mengusap tengkuknya, menatap Ken dengan ekspresi bingung. Kini Mara mulai beratnya-tanya apakah Ken salah makan tadi.

“Akhirnya lo keluar juga,” ucap Ken begitu tawanya reda.

Mara mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan ucapan Ken.

Sedangkan Ken tersenyum geli dan menatap Mara dengan pandangan puas. “Akhirnya lo yang asli keluar juga, Mara. Gue kira masih akan butuh beberapa hari lagi buat bisa melihatnya.”

Kerutan kening Mara semakin dalam. Gue yang asli? Cowok ini tahu apa…

“Gue bilang kan, kalau gue baca naskah-naskah lo dan gue suka. Bahkan gue tertarik dari awal bacanya. Naskah-naskah lo jujur dan lugas, kadang satir juga. Gue jadi penasaran sama penulisnya, gimana orangnya, apa pikiran-pikiran yang ada dalam kepalanya. Selama ini gue percaya kalau gaya menulis seseorang mencerminkan diri orang itu sendiri.” Ken tersenyum lagi. Pemuda itu menutup ucapan panjang lebarnya dengan selorohan ringan. “Ya, gimana pun juga, gue kan orang SDM. Biasa menganalisa orang lain.”

Dan Mara… hanya bisa terdiam. Ia seperti diterpa beberapa hal mengejutkan sekaligus. Pertama, Ken tidak tersinggung dan malah tertawa puas dengan sikap Mara. Sikap yang selama ini ditahan-tahannya agar tidak muncul ke permukaan saat bersama orang lain. Kedua, Ken tahu bagaimana sifat aslinya. Meskipun Mara sangat enggan mengakui hal itu, tapi Ken memang benar soal dirinya. Dan hal itu membuat Mara merasa kesal. 

Ketiga, Ken menganalisa dirinya. Selama ini Mara lah yang selalu menganalisa bagaimana orang lain, bukan sebaliknya. Mara yakin betul tidak ada orang yang akan buang-buang waktu untuk menganalisa orang sepertinya. Tapi kenyataan bahwa Ken juga menganalisanya entah mengapa membuatnya merasa semakin kesal. Dan merasa terganggu.

“Kenapa? Apa gue salah?” tanya Ken bingung melihat Mara yang diam saja.

Mara ingin sekali menjawab iya, tapi ia tahu kalau itu tidak benar. Ken tidak salah. Pemuda itu benar. Kenyataan yang lagi-lagi membuatnya merasa kesal dan terganggu.

Benar. Harusnya gue memang menghindari orang ini, batin Mara.

Mara pun berdehem. Gadis itu lalu bangkit dari tempat duduknya seraya berkata. “Sebentar lagi jam istirahat habis. Gue bayar dulu.”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *