Semua Itu Mungkin Bukan Apa-Apa

bukan apa apa

Semua Itu Mungkin Bukan Apa-Apa | Pas aku lagi lari pagi sekitar jam setengah enam pagi, aku lihat jalan yang terbentang di depan aku kayak bagus banget. Masih pagi gitu kan masih ada kabut-kabut, ditambah lagi mata aku yang rabun dan aku nggak pakai kacamata kalau lari. Jadi makin nggak begitu jelas, makin berkabut; tapi makin indah aja kelihatannya dari kejauhan. Estetik, pemandangan itu kayak menelusup ke hati aku gitu aja.

Tapi begitu aku udah berada di jalan yang aku lihat tadi, ternyata biasa aja. Ternyata nggak ada apa-apa juga di sana. Jalan yang aku lihat begitu indah dan estetik dari kejauhan, ternyata begitu sampai nggak ada apa-apa. Nggak ada hal yang wah, nggak ada hal yang menelusup ke dalam hati aku lagi.

Terus hal itu kayak menyadarkan aku, pada akhirnya semua itu mungkin bukan apa-apa.

Kayak pas aku lagi menginginkan sesuatu, ngira kalau aku akan sangat bahagia selamanya seterusnya happily ever after begitu udah mendapatkan hal itu. Tapi ternyata pas aku udah mendapatkan hal itu, menjalani apa yang aku inginkan; aku nggak selalu bahagia. Aku mungkin emang bahagia ketika mendapatkannya, tapi tidak selalu dan seterusnya. Hidup aku kembali dirundung hal sedih, kembali diterpa masalah.

Tapi ya, hidup pada dasarnya emang penuh masalah dan ujian kan? Itu bahkan udah disebut berkali-kali di Al-Qur’an juga.

Begitu juga dengan hal yang aku takutkan. Aku pernah takut sama suatu hal, mikir kalau aku akan sangat menderita dan nggak akan bisa bertahan kalau hal itu terjadi. Tapi ketika pada akhirnya hal itu terjadi, ternyata aku bisa melewatinya. Aku emang kesulitan, tapi nggak se-menderita yang aku bayangkan. Hal itu nggak sebesar yang aku takutkan ternyata. 

Karena seperti kebahagiaan yang nggak akan berjalan selamanya, penderitaan dan kesulitan juga nggak akan berjalan selamanya. Dan ketika aku bisa menjalani dan melewatinya, ternyata hal itu bukan apa-apa.

Mungkin yang membesar-besarkan adalah bayangan akan hal itu, bukan hal itu sendiri. Baik harapan maupun ketakutan. Baik hal yang aku inginkan maupun hal yang aku takutkan. 

Yang juga membesar-besarkan adalah pikiran-pikiran ruwetku sendiri.

Aku yang banyak mau tapi juga banyak nggak maunya. Berteori-teori numpuk di kepala, apalagi kalau abis terpengaruh sama apa yang aku baca dan tonton. Bagus sih, ideal sih. Tapi jadinya rumit, kebanyakan mikir. Pantesan hidup aku nggak simpel lagi.

Ini kayak pas aku nontonin drakor sekarang yang penuh teori dan prinsip. Di satu sisi aku ngerasa bagus juga semua itu, jadinya manusia lebih beradab dan nggak seenaknya. Tapi di sisi lain, jadi makin pusing. Segala harus berdasarkan teori, belum lagi teori-teori itu nggak jarang bertabrakan satu sama lain. Jadinya tumpang tindih. Rumit, ribet, nggak simpel banget. Padahal aku anaknya males mikir yang rumit-rumit, meski isi kepalaku sering rumit juga *loh >,<

Terus kayak pas aku lagi nontonin video YouTube yang bahas isu-isu sosial masyarakat jaman sekarang, dengan berbagai istilah dan berbagai pendekatan keilmuan. Penyakit yang aku baru tahu, istilah yang aku baru tahu. Iya sih, itu semua emang terjadi dan mungkin itu benar juga. Tapi ya itu, rumit aja. Kayak semuanya ditilik dari segi teori, prinsip, dan logika banget. 

Aku nggak bilang semua itu buruk, cuma rumit aja. Ribet aja. Hidupku udah rumit dan ribet, makin-makin rumit dengan semua itu. Terus rasanya ngapa-ngapain tuh jadi terpaku sama aturan teori dan logika semata, nggak flowing mengikuti suara hati. Nggak lepas, nggak bebas gitu.

Dan pas lagi nontonin semua itu, aku tahu-tahu kepikiran orang jaman dulu ngalamin kayak kita sekarang gini nggak ya?

Semua yang dijelaskan dalam istilah berdasarkan teori dan prinsip di berbagai drakor dan video YouTube yang aku tonton itu. Mereka mengalami internal conflict, quarter life crisis, dream job dilemma, dll dsb dst nggak ya? 

Apa dulu mereka juga ngalamin, cuma belum ada semua istilah itu aja? Apa hidup mereka udah terlalu sibuk dengan masalah yang jauh lebih genting? Kayak bertahan hidup di alam liar, cari penghidupan untuk bisa makan, bertarung melawan musuh, mempertahankan negara dari penjajah, dan semacamnya.

Apa mungkin kita di jaman modern ini yang hidupnya udah keenakan, jadinya segala macem dipikirin dan dijadiin masalah? Karena yang kita perjuangkan, yang kita lawan, nggak segenting dan sebesar nenek moyang kita di jaman dulu; jadinya kita memperjuangkan dan melawan apa aja. Yang kita rasa genting dan besar, tapi kalau dipikir-pikir lagi mungkin sebenarnya nggak segenting dan sebesar itu. Mungkin nggak serumit itu, dan bisa jauh lebih sederhana sebenernya.

Padahal kalau dipikir-pikir, manusia harusnya nggak jauh beda kan. Buktinya Al-Qur’an bisa diterapkan dari jaman Rasulullah sampai jaman sekarang. Padahal jaman dulu belum ada listrik, internet, smartphone, dan berbagai teknologi lain. Mungkin emang kitanya aja yang jadi makin rumit 

Kayak tadi di tempat aku mati lampu, terus pas nyala aku langsung bersyukur hidup di jaman sekarang. Kayaknya nggak bisa banget deh aku hidup tanpa listrik dan segala kemudahan kayak sekarang. Tapi terus aku mikir, mungkin kalau aku hidup di jaman yang belum ada listriknya, aku nggak akan kepikiran juga gimana itu hidup dengan listrik dan serba enak kayak jaman sekarang ini.

Mungkin kalau aku hidup di jaman dulu tanpa semua ini, pikiranku juga nggak akan serumit sekarang ini.

Akan ada banyak hal yang lebih penting, beneran penting; daripada hal-hal rumit yang ada di kepala aku. Lagian kalau aku hidup di jaman dulu, atau jaman apapun juga, aku pasti bisa beradaptasi dengan jaman itu, kan? Bagaimanapun juga, manusia kan diberi kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Aku bukannya nggak seneng dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang tentu aja jauh lebih baik daripada dulu. Bahkan sering juga menggunakan dan menerapkan berbagai istilah itu di berbagai aspek kehidupan aku, di tulisan-tulisanku juga. Aku sangat seneng ilmu pengetahuan dan peradaban manusia maju kayak sekarang, nggak terbelakang lagi.

Cuma selain perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai teori itu sendiri, kita juga perlu keluasan pikiran. Keluasan hati. Ibaratnya yang kita masukin bertambah, wadah yang menampungnya juga harus bertambah. Harus meluas. Jadi nggak numpuk dan rumit sendiri, ruwet sendiri. Hal-hal yang sepele pun nggak lantas selalu kita pikirkan dan bikin teorinya.

Jadi kita juga, aku sih terutama ntms ini; bisa lebih lepas. Bisa lebih bebas. Nggak dikit-dikit terbebani sama apapun yang ada dalam kepala sendiri.

Yah, meski tulisan ini juga hasil dari salah satu keruwetan pikiran aku. Tapi semoga akhirnya nggak bikin ruwet 🙂

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *