Kondangan

“Senin kerja, Kak?” tanya Nisa.
Aku mengangguk sambil menyuapkan nasi ke mulut Iyan. Iyan yang duduk di pangkuan Nisa mengunyah makanannya dengan lahap.
Kini Devi dan suaminya sedang menyalami para tamu di pelaminan. Kami duduk di kursi yang disediakan untuk tamu.
“Dia mah kapan nggak kerja? Mau Jakarta badai topan juga selama masih bisa ke kantor pasti dia kerja juga,” sahut Ibu yang duduk di samping Nisa.
“Kalau badai Jakarta banjir dong, Bu. Aku nggak akan bisa berangkat ke kantor juga,” sahutku sambil menyengir lebar.
Ibu geleng-geleng kepala melihatku.
“Masih aja bisa nyengir ini anak. Kak, serius dong. Kamu mau sampai kapan begini? Kamu nggak kasihan sama Ibu yang udah tua ini?”
Aku tersenyum, mengusap-usap kepala Iyan pelan. “Kasihan banget ya Iyan, kecil-kecil udah dengar yang beginian.”
Ibu menghela nafas mendengarku. Aku memang selalu mengalihkan pembicaraan kalau Ibu sudah membahas hal ini. Kalau orang lain yang membicarakan tidak masalah buatku, namun kalau Ibu yang membahas aku selalu bingung dan merasa bersalah.
Ibu lalu mengulurkan tangannya pada Iyan. “Iyan, makan di luar aja yuk sama Nenek.”
Iyan menurut. Anak itu langsung berpindah ke gendongan Ibu. Aku dan Nisa hanya memandangi Ibu yang berjalan ke luar ruangan.
Lisa, yang duduk di sampingku, menyenggolku pelan. “Ibu pasti sedih. Tadi agak keterlaluan sih.”
Aku terdiam mendengarnya. Kembali menatap sosok Ibu yang sudah semakin ringkih karena usia.
“Nisa? Ini kakaknya?”
Sebuah suara memecah keheningan. Aku dan Nisa refleks menoleh. Tampak seorang wanita paruh baya menghampiri kami.
Nisa mengangguk sopan. “Iya, Wak Wati.”
“Duh Gusti, geulis pisan[4]. Kenapa atuh jarang datang ke kampung?” tanya Uwak Wati.
Aku tersenyum. “Susah ijin dari kantornya, Wak.”
“Susah? Aduh kasihan si neng. Atuh pindah saja kantornya, atau berhenti saja. Sudah punya suami ini, kan?”
Aku dan Nisa berpandangan sebentar. Aku lalu menggeleng. “Belum, Wak.”
Uwak Wati terbelalak kaget. “Belum?”
Aku mengangguk.
“Kenapa atuh belum nikah? Nisa sudah, kan? Nisa sudah punya anak juga, kan?” berondong Uwak Wati, tidak sabar.
Aku mengangguk lagi.
“Kapan atuh nikah? Jangan lama-lama, sudah berapa umurnya?”
“Tahun ini tiga puluh, Wak.”
“Tuh kan, jangan lama-lama lagi atuh. Harusnya waktu itu teh kamu dulu yang nikah biar tidak dilangkahi Nisa, pamali. Nanti jadi perawan tua,” cerocos Uwak Wati.
Aku dan Nisa terdiam mendengarnya. Nisa memandangku penuh rasa bersalah.
Ponsel Uwak Wati tiba-tiba berbunyi. Uwak Wati segera mengangkat ponselnya dan menjauh dari kami setelah memberi isyarat akan menerima telepon.
“Kak, maaf ya,” ujar Nisa, masih dengan pandangan bersalah.
“Ih nih anak, maaf kenapa lagi? Udah jangan didengarin omongan orang,” ujarku enteng. Aku mengambil segelas sirup yang ada di meja dekat kami.
“Tapi kan tetap aja, gara-gara Nisa…,” Nisa menunduk. Nisa selalu menyalahkan dirinya soal aku yang belum menikah. Memang ada mitos kalau adik melangkahi kakak perempuannya untuk menikah duluan, maka si kakak perempuan akan menjadi perawan tua.
“Itu kan cuma mitos, Sa. Kan waktu itu Kakak juga yang nyuruh Nisa nikah duluan. Makanya jangan didengarin deh, omongan orang,” aku mengelus bahu Nisa pelan. Aku memandang Lisa yang tersenyum manis padaku, mengangguk.
“Harusnya kan Nisa yang bilang gitu ya, Kak? Pasti omongan orang-orang itu lebih menyakitkan buat Kakak daripada buat Nisa,” ujar Nisa lagi.
Aku menggeleng. “Enggak, kok. Kakak biasa lagi sama semua itu, jadi Kakak sama sekali nggak sakit hati. Makanya Nisa juga jangan dengarin omongan orang-orang.”
Nisa mengangkat kepalanya. “Jangan gitu, Kak. Pasti Kakak sakit hati, kan?”
Aku menggeleng lagi. Kali ini lebih kuat. “Kapan sih Kakak bohong sama kamu? Kan Kakak udah janji nggak akan bohong sama kamu,” ujarku.
Dulu ketika kami masih kecil, aku pernah berbohong pada Nisa dan Nisa mengetahuinya. Nisa menangis keras ketika itu, dan sejak saat itu aku berjanji tidak akan berbohong lagi pada Nisa.
Nisa terdiam mendengarnya. Ia memandangiku lekat. “Kak, Nisa cariin ya calon suami buat Kakak? Teman-temannya Mas Bima banyak kok yang seusia Kakak, lebih tua malah. Nanti kenalan aja dulu, seterusnya terserah Kakak. Ya, Kak?”
Aku tertawa kecil melihatnya. “Teman-teman suami kamu itu ya pasti semodel teman-teman Kakak di kantor, lah. Ngapain minta tolong kamu kalau gitu?”
“Apa mau Nisa kenalin sama teman-teman Nisa di agensi? Orang agensi beda lho Kak, sama orang kantoran biasa,” Nisa masih tidak menyerah.
Tawaku mengeras. “Teman-teman kamu brondong, Sa!”
“Ih si Kakak! Sekarang tuh lagi jaman kali sama brondong. Lagian Kakak kan cantik kayak model dan pintar, karirnya bagus juga. Itu perpaduan yang disukain teman-teman Nisa, Kak!”
Tawaku terhenti. Aku menggelengkan kepala melihat kegigihan adik semata wayangku ini. Aku mengelus kepala Nisa pelan. “Nggak usah, Nisa sayang. Kakak sebenarnya sudah suka sama orang, kok.”
Mata indah Nisa membesar. “Beneran, Kak? Siapa? Kapan dikenalin ke keluarga kita?” berondong Nisa.
Aku terdiam. Lalu menghela nafas.
“Kak? Kenapa?” tanya Nisa khawatir. “Orangnya agak ‘sulit’, ya?” Nisa menekan suaranya pada kata sulit.
“Yaa, bisa dibilang begitu,” sahutku.
“Kenapa, Kak? Orang Jawa juga?” Nisa meringis.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Suaminya, Bima, adalah orang Jawa tulen dan pernikahan mereka sempat mengalami halangan karena kedua belah pihak tidak mau memberikan restu.
Ibu yang orang Sunda tulen tidak mau Nisa menikah dengan orang beda suku, begitu juga dari pihak Bima. Selain itu, Ibu juga tidak mau aku dilangkahi Nisa. Namun setelah diyakinkan berkali-kali olehku, akhirnya Ibu merestui Nisa dan Bima. Begitu juga orang tua Bima.
“Enggak kok, Sa,” aku menghentikan tawaku. “Tapi, mungkin bakal lebih sulit dari itu,” aku menatap Lisa. Lisa tersenyum manis padaku. Aku balas tersenyum, selalu merasa tenang melihat senyumannya. Lisa amat cantik kalau sedang tersenyum.
“Kenapa Kak emang orangnya? Orang bule, ya?” tanya Nisa. “Tapi kayaknya Ibu sekarang nggak akan terlalu mempermasalahin beda suku atau bahkan negara, Kak. Kakak udah punya calon aja Ibu pasti senang banget. Selama ini kan Kakak nggak pernah ngasih tahu kalau punya pacar atau calon.”
Aku menggelengkan kepala. “Enggak, Sa. Yang ini beneran bakal susah banget. Bahkan kamu akan susah menerimanya,” ujarku.
Kini Lisa menatapku, sendu. Aku menggenggam tangannya erat, melempar senyum lagi padanya.
“Emang kenapa sih, Kak? Orangnya nggak baik? Jahat? Masa lalunya nggak bagus? Atau kenapa?” tanya Nisa penasaran.
“Orangnya baik, Sa. Cakep, pintar, dan menyenangkan. Kakak selalu senang kalau lihat dia, meskipun dia nggak melakukan apa-apa,” aku masih tersenyum. “Kakak benar-benar, cinta sama dia.”
Lisa menatapku lekat saat aku mengucapkan kalimat terakhirku. Aku juga menatapnya, menyampaikan semua perasaanku melalui tatapan mataku.
“Siapa, Kak? Kasih tahu dong, biar Nisa bisa bantuin bilang ke Ibu,” Nisa menggoyangkan tanganku pelan.
Aku bergeming. Masih berpandangan dengan Lisa, yang kini tersenyum hangat padaku. Senyumnya yang selalu kusuka. Matanya yang selalu kusuka. Hidungnya yang selalu kusuka. Bibirnya yang selalu kusuka. Semua darinya yang selalu kusuka.
“Kak? Siapa, Kak?”
Aku masih terdiam. Senyumku makin melebar.
“Kak? Kak Lisa? Kak Lisa kakaknya Nisa yang paling cantik dan baik, siapa orangnya?” Nisa masih menggoyang-goyangkan tanganku. Ia sudah mulai kesal. “Kak Lisa, Nisa benar-benar penasaran, nih. Siapa, Kak?”
Goyangan tangan Nisa pada tanganku semakin kencang. “Kak Lisa! Kakak kenapa lihat ke situ terus, sih? Orangnya ada di situ?” Nisa yang duduk di sebelah kananku celingukan melihat ke sebelah kiriku. Lalu mengernyitkan kening. “Nggak ada siapa-siapa. Kak Lisa, jadi siapa orangnya?”
Aku tidak menghiraukan ucapan Nisa yang terus mendesakku. Aku masih menatap Lisa lekat. Menatap setiap inci dari dirinya, yang persis sama denganku.
Aku sangat mencintai Lisa. Aku tidak punya orang yang lebih kucintai dibanding Lisa. Tidak ada yang lebih baik, lebih cantik, dan lebih pintar darinya.
Dari Lisa. Dariku.
Aku sangat mencintai Lisa. Aku sangat mencintai diriku.
Namun tidak akan ada yang bisa menerima hal itu, termasuk Ibu dan Nisa.
Samar-samar masih kudengar alunan musik khas Sunda, yang terasa khidmat dan menenangkan.
[1] Ibu
[2] Cantik
[3] Kakak dari orang tua
[4] Cantik sekali
Aaarrrggh…. ziyah nyebelin!! padahal aku udah simpati banget sama si tokoh utama. ternyata oh ternyataaaa…..
hehehe 😀
Aziyah!!!!!!! -,-"
hehehe 😀