Hari Merdeka, Makna Merdeka

hari merdeka

Masih dalam rangka menyemarakkan Hari Merdeka alias 17 Agustus-an, aku mau bahas tentang konsep merdeka yang jadi pertanyaan di kepalaku. Sudah 78 tahun Indonesia merdeka, tapi apakah kita benar-benar merdeka? Atau justru sebaliknya, terlalu merdeka?

Lebih mendalam lagi, apakah Indonesia sekarang sudah seperti apa yang diangankan para pahlawan kita saat memperjuangkan kemerdekaan dulu?

Hari Merdeka, yakin masih merdeka?

Oke, aku mau jujur dulu. Aku mengambil jeda beberapa menit untuk memikirkan gimana kata-kata yang tepat menyampaikan isi kepalaku di bagian ini. Kenapa? Karena aku takut kena pasal T.T

Ini antara jokes dan serius, sih. Dark joke, karena makin kocak aja negara konoha ini. Tapi serius juga, mengingat udah banyak yang kena pasal dan dipolisikan karena dianggap menyinggung pihak-pihak tertentu.

Oke lagi, jadi langsung aja daripada muter-muter terus. Intinya sih aku mau bahas soal semakin terbatasnya ruang gerak warga negara ini terkait protes dan kritik terhadap pemerintah. Kayak banyak aja ‘penjegal’-nya; pencemaran nama baik lah, ujaran kebencian lah, penghinaan lah.

Dan itu bikin mau ngapa-ngapain takut.

Mau ngomong sedikit-dikit takut, mau komen sedikit-dikit takut. Padahal banyak banget kelakuan pemerintah yang makin ke sini, makin ke sana. Cuma kalo kritik, nanti kena pasal pencemaran nama baik dll. Ngeri duluan.

Aku jadi ingat pas masih kuliah dulu, sering banget ada demo pemerintah. Lokasi kampusku kebetulan di pusat kota Jakarta, dan kalo demo pasti macet kan, jadi aku tahu ketika ada demo. Dan dulu itu cukup sering demo pemerintah, harga bensin naik demo, ada apa-apa langsung demo.

Sekarang? Mana ada. Orang protes di forum non-demo aja udah kejegal pasal macam-macam, apalagi gelar demo. Keluar kata kritik sedikit aja langsung rame, apalagi protes ramai-ramai di depan umum.

Aku bukannya setuju sama demo dan menganggap itu adalah cara terbaik menyampaikan aspirasi, sih.

Dulu pas banyak yang demo, aku justru termasuk yang nggak setuju dan menganggap itu nggak efektif. Cuma membandingkan dari segi kebebasan berpendapatnya, bagaimana kondisi sekarang yang benar-benar membatasi aspirasi masyarakat. Duh, berat banget ini bahasanya hahaha. Tapi ya, emang gitu kenyataannya.

Sekarang mau diapa-apain (?) juga kayak bisa pasrah aja sebagai rakyat. Mau harga naik kek, korupsi meraja-lela kek, pejabat semena-mena kek; kita nggak berdaya.

Dulu sempat ada angin segar di mana kita bisa bebas berekspresi dan beraspirasi lewat internet, tapi sekarang di ranah itu pun ada jegalannya. Mending kalo UU memang untuk melindungi dari cyber bullying, pencurian informasi, dan lain semacamnya yang bertujuan melindungi rakyat. Tapi hukum makin tajam ke bawah, tumpul ke atas; seolah pembuatannya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu aja.

Padahal kebebasan berpendapat sudah dijamin dalam UUD 45 pasal 28, yang sering banget kuhafalin pas zaman sekolah dulu. Cuma melihat kenyataan di mana nulis di blog sendiri gini aja bikin aku ketar-ketir, membuatku (dan mungkin sebagian besar rakyat Indonesia), mempertanyakan penerapan pasal tersebut.

Jadi, apakah kita sudah benar-benar merdeka?

Dari apa? Dari siapa?

Kalo dipikir-pikir agak miris juga. Dulu, para nenek moyang kita berjuang meraih dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah. Sekarang, di tanah yang seharusnya sudah menjadi milik kita sepenuhnya; kenapa kita seolah masih terjajah?

Hari Merdeka, terlalu merdeka

Di sisi lain, muncul fenomena yang cukup ramai dan menjadi perbincangan banyak kalangan. Soal LGBT dan normalisasinya yang makin gencar di negara kita ini. Terakhir aku dengar bahkan hal itu udah merambah ke ranah sekolah, yang isinya anak-anak belum dewasa dan masih berproses dalam pencarian jati diri.

Nah, apakah kita jadi terlalu merdeka soal ini?

Karena akhir-akhir ini memang jadi banyak banget hal itu disuarakan dan dinormalisasikan. Seolah sedang menjadikan hal tersebut sebagai gerakan yang harus diikuti semua orang. Seolah bahasan tentang norma dan agama menjadi hal basi untuk dipegang, mengedepankan perasaan dan mengesampingkan akal sehat.

Aku, tentu aja nggak setuju sama hal tersebut. Cuma anehnya, sekarang ini menyuarakan ketidaksetujuan akan hal itu dianggap sesuatu yang ‘jahat’ dan ‘tidak menerima perbedaan’. Yang tidak setuju malah dianggap berpikiran sempit, malah menjadi sisi yang salah dalam pembahasan tersebut.

Nah, itu kan aneh banget, ya? Kalo ternyata mereka mengambil jalan tersebut, ya itu urusan masing-masing. Tapi jangan memaksa orang lain untuk mengikuti jalan yang sama dengan mereka. Jangan menanamkan ide-ide itu ke generasi muda atas nama perasaan.

Dan ngomong-ngomong soal perasaan, aku pernah nonton video YouTube dari seorang ilmuwan atau profesor gitu. Intinya beliau bilang kalo dunia sekarang terlalu mengedepankan perasaan, the age of feeling. Perkara memvalidkan perasaan berkembang jadi mengedepankan perasaan, menjadikannya sebagai sesuatu yang harus dituruti apapun yang terjadi.

Dalam konteks video itu, sang profesor sedang bahas bagaimana mood bisa kita atur, kalo kita mau. Kita bisa ‘memanipulasi’ mood lah intinya, supaya diri kita bisa berfungsi dan melakukan kegiatan dengan baik. Tapi karena the age of feeling ini, kita jadi terlalu merasakan perasaan dan mengedepankannya dari hal-hal lain.

Ketika lagi bahas ini, aku jadi ingat lagi kata profesor itu.

Bahasannya mungkin berbeda, tapi ada kemiripan yaitu soal perasaan. Gimana manusia sekarang terlalu mengedepankan perasaan, dan jadi bertindak seenaknya. Padahal, perasaan tidak selalu benar. Logika pun tidak selalu benar, kan?

Makanya ada yang namanya tuntutan norma dan agama. Sekarang aja udah terlihat bagaimana jadinya ketika manusia bertindak seenaknya. Kalo kita terus seenaknya, atas nama keinginan dan perasaan, mau jadi apa dunia ini?

Jadi, aneh juga, ya. Di satu aspek, kita seperti tidak sepenuhnya merdeka. Di sisi lain, kita terlalu merdeka.

Kalo para pahlawan kemerdekaan naik mesin waktu dan lihat Indonesia sekarang, apa yang akan mereka katakan tentang negeri ini?

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *