Firasat

firasat

Aku memandangi Bella lekat. Kami bertemu di restoran ayam bakar dekat rumah Bella. Bella juga memandangiku lekat.

“Kamu apa kabar, Nita?”

Aku tersenyum kecil. Mengeluarkan jawaban standar dari pertanyaan itu. “Baik.”

Bella tersenyum. “Kita bukan orang lain, Ta. Buat apa basa-basi?”

Senyumku melebar. “Ketemu sama kamu, sedikit membaik, Bel. Kamu gimana?”

Bella mengangguk. “Sama. Ketemu sama kamu sedikit membaik juga.”

Kami tertawa.

“Kapan nikah, Bel?”

Bella memberenggut.

“Aku tahu pasti kamu bakal nanya ini dan asal kamu tahu aku kesel dengernya. Aku nyari-nyari kamu setengah mati, tau! Tapi nggak ada yang tau kamu dimana. Tadinya aku mau lapor polisi, mau bilang kalo ada saudara yang hilang!”

Aku tertawa kecil. Bella juga.

“Dua tahun yang lalu, Ta,” ujar Bella. Ia mengambil jus mangga kesukaannya dan menyeruputnya pelan.

“Anak kamu?”

“Biasanya orang nanya suami, kok kamu malah nanya anak?” tanya Bella geli.

“Soalnya yang kemarin aku denger itu suara anak kamu,” aku nyengir. Ya ampun, kapan terakhir kali aku nyengir?

Bella mengangguk-angguk.

“Dia udah setahun sekarang. Namanya Nita. Aku namain nama yang sama dengan Tantenya, kali-kali aja Tantenya terus inget sama Mamanya Nita kecil dan mau main ke rumah.”

Aku terdiam. Memandangi Bella lagi. “Tua banget ya Bel rasanya, dipanggil Tante.”

“Apalagi dipanggil Mama, Ta.”

“Suami kamu?”

“Namanya Anton, Ta. Kamu nggak kenal. Umurnya 35. Orang kaya, lho,” Bella tertawa getir.

Aku masih terdiam. Masih memandanginya dengan tatapan sejuta tanya.

“Kenapa nggak nanya?”

Aku menghela nafas. “Kamu aja yang cerita. Kamu tahu aku mau nanya apa.”

Bella mengangguk-angguk.

“Orangtua aku minjem uang banyak banget sama bank Ta, udah lama banget. Tahu kan, Mami gimana? Dia masih ga mau ketinggalan kalo ada berlian baru yang ditawarin temennya.”

Aku teringat sosok Mami Bella yang memang berdandan borju. Seperti toko perhiasan berjalan, kata

Bella kalau sedang kesal. Papi Bella meninggalkan warisan yang banyak memang. Namun bagaimanapun juga harta bukan seperti air zamzam yang tak habis-habis.

“Terus kenalan Mami punya anak. Anton itu. Aku nggak boleh manggil dia Mas, Ta. Katanya berasa tua. Yaa pada kenyataannya kita kan beda 13 tahun.”

Aku menggenggam tangan Bella erat. “Maaf, Bel. Aku malah nggak tahu semua itu.”

Bella tertawa. “Nggak apa-apa, Ta. Lagian emang kamu bisa bayarin utang bank Mami? Uang kamu aja diambilin sama saudara-saudara bule kamu itu.”

Aku ikut tertawa.

“Terus suami kamu, gimana?”

“Yaa, nggak gimana-gimana. Dia kerjaannya bagus, kantornya di Kuningan situ, Ta. Sekretarisnya cantik lagi. Akrab banget mereka, kalo malem minggu suka main ke rumah sekretarisnya. Udah kayak anak muda ya, Ta?” Bella tertawa getir.

Aku hanya terdiam.

“Untungnya orang kaya, Ta. Sekarang aku bisa sering ke salon, perawatan seluruh tubuh. Kayak yang sering kita pengenin pas SMA dulu. Belanja juga tinggal milih. Dandanan aku juga udah kayak orang kaya kan, Ta?”

Aku ikut tertawa getir. “Iya, aku jadi makin keliatan kayak gembel.”

Bella menggeleng-gelengkan kepala melihatku. Rambutku yang diikat seenaknya, dan kusut pastinya. Ditambah celana training dan kaos kebesaran dengan warna luntur. Juga sandal jepit yang kubeli di pasar sebulan yang lalu.

“Kamu kurus banget sekarang, Ta.”

Aku nyengir. “Seenggaknya aku bisa kurus, Bel.”

Bella mengangguk-angguk. “Seenggaknya juga aku nikah sama orang kaya.”

Kami berdua tertawa. Menertawakan hidup dua orang teman yang berteman sejak SMA, yang sama-sama berkeinginan kuat untuk kuliah di Jerman. Lalu jadi wanita karir yang sering kami lihat di perkantoran di Sudirman dan Kuningan. Wanita karir terlihat sangat keren di mata kami. Berpakaian bagus dan modis. Juga punya uang banyak untuk ke salon, beli pakaian dan tas yang bagus, makan makanan berkelas, dan beli gadget terbaru.

Karena itu aku sangat ingin kurus supaya dapat memakai pakaian bagus dan modis itu. Dan Bella ingin menikah dengan orang kaya supaya uangnya semakin banyak dan bisa beli hp keluaran terbaru terus.

“Ternyata kurus nggak berarti bagus juga, Ta,” ujar Bella, menyeringai padaku.

“Ternyata nikah sama orang kaya nggak berarti bagus juga, Bel,” aku balas menyeringai.

“Kamu beneran kayak orang kurang gizi. Kayak gembel, Ta.”

“Kamu keliatan sepuluh tahun lebih tua, Bel.”

Kami tertawa. Keras. Sampai orang-orang di restoran memandangi kami aneh.

“Kenapa hidup kita jadi begini ya, Ta?”

Kami tertawa lagi.

Kali ini getir.


Aku menghela nafas. Setelah pertemuanku dengan Bella, memang aku menjadi sedikit merasakan senang. Setelah sekian lama. Tapi anehnya, firasat buruk itu tidak hilang juga.

Apa bukan Bella? Terus apa?

Aku celingukan mencari Mbak Dewi. Kurasa aku harus konsultasi lagi padanya. Siapa tahu ia dapat memberiku saran lain.

“Mas Bambang, Mbak Dewi mana, ya?” tanyaku pada pria paruh baya yang lumayan dekat dengan Mbak Dewi.

Mas Bambang menatapku kaget. “Loh, kamu nggak tahu, Nita?”

Aku mengerutkan kening.

“Kemarin gue telepon sama SMS lu, Nit. Tapi nggak nyambung. SMS juga nggak terkirim,” ujar Arya tiba-tiba. Ia baru masuk ke ruangan kantor.

“Kapan?”

“Kemarin siang.”

“HP aku mati kemarin. Ada apa emang?” aku semakin penasaran. Kemarin aku libur. HP-ku memang mati kemarin, dan itu ketika aku sedang bertemu dengan Bella. Jadi aku biarkan saja. Toh selama ini sangat jarang ada yang menghubungiku.

“Mbak Dewi meninggal kemarin siang, Nit. Ternyata Mbak Dewi selama ini sakit kanker otak. Sore langsung dikuburin.”

Aku tercengang mendengarnya. Mbak Dewi? Kemarin?

“Kok… bisa?”

Arya menepuk bahuku pelan. “Nggak ada yang nyangka, Nit. Kemarinnya Mbak Dewi masih masuk kan? Mbak Dewi bawain brownies kukus, inget banget gue. Kita udah ngelayat kemarin sore.”

Aku terdiam. Kami masih makan bakso bersama kemarin lusa. Bagaimana bisa?

“Lu mau ngelayat, Nit? Bareng gue aja. Gue mau ngasih sumbangan dari temen-temen ke keluarganya,” ujar Arya lagi.

“Sama sekalian baju-baju buat anak-anaknya, Ya. Ada di pojokan tuh,” tambah Mas Bambang, menunjuk ke pojok ruangan.

“Anak? Emang Mbak Dewi udah nikah, Mas?” tanya Arya bingung.

“Lho, kamu nggak tahu? Itu anak asuhnya Mbak Dewi. Anak saudara jauhnya, dari kecil udah diurus sama Mbak Dewi,” jelas Mas Bambang. “Kamu ini gimana, udah berapa tahun kerja di sini? Ckckk.”

Kini aku yang bingung. “Jadi Mbak Dewi belum nikah, Mas?”

“Lho? Kamu juga nggak tahu? Aduh, gimana sih kalian ini!”


Aku menatap pusara Mbak Dewi lekat. Kekagumanku tumbuh pada orang yang baru kukenal beberapa hari itu. Sebenarnya sudah kukenal sejak pertama kerja, namun baru mengenal lebih dalam akhir-akhir ini.

Tadi sepanjang perjalanan Arya cerita, ternyata Mbak Dewi itu sudah kanker otak stadium empat. Dan Mbak Dewi nggak mau dirawat atau melakukan kemoterapi. Ia merasa lebih baik uangnya yang ia kumpulkan diberikan untuk anak-anaknya yang masih muda dan mempunyai harapan hidup yang panjang. Termasuk amplop yang dititipkan padaku yang ternyata berisi rekening Mbak Dewi. Jumlahnya cukup besar, sebenarnya cukup untuk melakukan pengobatan.

“Siapa yang sangka coba, Nit? Mbak Dewi ramah banget, sering banget bawain brownies kukus. Itu brownies bikinan Mbak Dewi sendiri, lho. Dia sama sekali nggak keliatan kayak orang sakit. Setiap pagi mau mulai kerja juga semangat banget,” ujar Arya panjang lebar.

Aku mengangguk, membenarkan.

Anehnya, perasaan tidak enak yang beberapa hari ini aku rasakan menghilang. Menghilang begitu aku melihat pusara Mbak Dewi. Berarti, firasat buruk itu tentang Mbak Dewi? Bukan tentang Bella, teman dekatku sejak SMA?

Aku mengernyitkan kening. Aneh, padahal aku tidak begitu mengenal Mbak Dewi sebelumnya. Dan ketika aku merasakan firasat buruk itu pertama kalinya, aku sama sekali tidak mengenal Mbak Dewi dengan baik.

Apa ini salah? Apa selama ini sebenarnya bukan firasat buruk? Lalu apa?

Aku menghela nafas. Entahlah, apapun itu yang terpenting semuanya sudah berlalu. Lagipula dengan hal itu, secara tidak langsung aku jadi bertemu lagi dengan Bella. Entah apa hubungannya Mbak Dewi dengan firasat buruk –atau apalah ini namanya—, setidaknya dengan itu aku jadi sempat mengenalnya lebih dekat.

Lain kali akan kuajak Bella dan Nita kecil mengunjungi Mbak Dewi.


; Somehow it feels empty. But it’s okay.

03:04

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

2 thoughts on “Firasat”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *