Firasat

firasat

“Halo?”

Kudengar suara perempuan di seberang sana. Aku terdiam beberapa saat, menjauhkan ponsel keluaran tahun 2000-an itu dari telingaku. Berpikir apa yang harus kukatakan.

“Ini… Bella?”

“Iya betul. Ini siapa, ya?”

Aku terdiam lagi.

“Halo?”

“… Nita.”

Hening beberapa saat.

“Nita? Nita Kamelia? Ini beneran Nita??” suara Bella menjadi sangat antusias.

“Iya,” sahutku pendek. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kami terakhir bertemu tiga tahun lalu di pemakaman keluargaku, dan sekarang aku menghubunginya karena saran Mbak Dewi.

“Ya ampun, ini beneran Nita?? Nita apa kabar? Kamu tinggal dimana sekarang? Sehat, kan?” Bella memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

“Sehat. Masih di Jakarta,” aku menerawang ke langit-langit kamar kontrakan-ku.

“Mamaaa!!”

Kudengar suara anak kecil menangis. Sepertinya di belakang Bella.

“Nita, Nita kita ketemu ya? Nanti aku telepon kamu lagi, ini nomer kamu, kan? Kamu nggak ganti nomer lagi, kan? Kita ketemu, ya?” suara Bella tertahan, antara memohon dan menahan tangis.

Aku termangu. Apakah Bella?

“Kita ketemu ya, Nita? Ya? Aku telepon kamu lagi nanti.”

“Iya.”


“Jadi kamu mau ketemu temen kamu itu, siapa namanya?” tanya Mbak Dewi ketika kami sedang makan siang bersama. Ini pertama kalinya aku makan siang dengan seseorang di tempat kerjaku. Biasanya aku hanya membeli sepotong roti dan memakannya cepat. Sendiri.

Aku mengangguk.

Mbak Dewi menghela nafas lega. “Syukur deh kalo begitu. Mungkin aja ini jawaban dari firasat kamu akhir-akhir ini. Ya walaupun Mbak nggak berharap ada sesuatu yang buruk terjadi sama temen kamu.”

Aku membenarkan dalam hati. Meskipun ada harapan firasat buruk ini berakhir dan aku terbebas dari rasa tidak enak itu, tapi aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Bella. Aku jadi teringat nada suara memohon setengah menahan tangisnya kemarin.

“Temenan sama Bella dari kapan, Nit?”

“Dari SMA, Mbak,” sahutku sambil menyendok bakso yang masih tersisa banyak di mangkuk.

Mbak Dewi mengangguk-angguk. “Pasti kalian deket banget. Biasanya temen SMA begitu. Mbak aja udah punya anak tiga masih suka kumpul-kumpul sama temen SMA. Terus anak-anak suka protes kalo Mbak pulangnya malem,” ujar Mbak Dewi seraya tertawa.

Aku ikut tertawa kecil. Tidak ada hal yang lucu, namun di saat seperti ini kau biasa ikut tertawa tanpa tahu alasannya.

Mbak Dewi lalu bercerita tentang anak-anaknya. Anaknya ada tiga, satu laki-laki dan dua perempuan. Yang laki-laki sudah kuliah sekarang.

“Bedanya cuma dua tahun sama kamu, Nita. Kamu 22 kan sekarang?”

Aku mengangguk. Mbak Dewi masih terlihat sangat muda sebagai seorang ibu yang mempunyai anak usia 20 tahun.

Anak kedua duduk di kelas dua SMA, dan yang terakhir kelas satu SMP. Mbak Dewi bilang kalau dia suka sama langit. Jadi nama anaknya Gerhana, Bintang, sama Bulan.

“Kapan-kapan kamu main ke rumah, ya. Nanti biar Mbak kenalin sama anak-anak Mbak. Mereka anak-anak baik, lho! Pasti ketagihan ketemu sama mereka.”

Aku tersenyum.

Mbak Dewi mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. “Mbak nitip ini di kamu ya, Nita?”

Aku mengerutkan kening. “Apa ini, Mbak?”

“Itu barang penting. Rumah Mbak akhir-akhir ini nggak aman, jadi mendingan Mbak titip aja ke kamu.”

“Tapi, daerah rumah aku juga nggak begitu aman, Mbak,” sahutku. Teringat lingkungan kontrakan petakku yang berdempetan satu sama lain.

“Beberapa hari aja, Nita. Mbak titip, ya?”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

2 thoughts on “Firasat”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *