Confession

confession

Confession – “Lo mau nembak Rio, Cit?!” seru Tara kaget, hampir tersedak bakso. Bella buru-buru memberikan segelas air putih pada Tara.

“Bukan nembak, Tara. Tapi menyatakan perasaan,” ujar Bella. Sementara Citra cuma nyengir-nyengir sambil mengusap-usap punggung Tara pelan.

Tara yang sudah meminum habis air putihnya, langsung mendelik pada Bella. “Lo lulus matkul Bahasa Indonesia nggak, sih? Itu sama aja artinya!”

Bella melongo mendengarnya. “Emang diajarin di Bahasa Indonesia, soal nembak dan menyatakan perasaan?”

“Diajarin! Lo tidur waktu itu,” sahut Tara kesal meladeni temannya yang melow itu. Tara lalu beralih pada Citra, main topic mereka saat ini; dan tidak menghiraukan Bella yang protes sendiri kalau dia tidak pernah tidur di kelas.

“Jadi, lo mau nembak Rio?” tanya Tara.

Confesss, Ra. Bukan nembak,” sahut Citra kalem sambil menyeruput es kelapanya.

“Ini orang-orang pada kenapa, sih? Lo nih pasti Bel, yang ngerecokin pikirannya si Citra!” gerutu Tara.

“Ih, kenapa sih emang, Tara? Nggak buruk kok menyatakan perasaan,” ujar Bella. “Perasaan yang dipendam itu nggak baik, lho. Nanti ketika ‘keluar’ malah meledak-ledak, malah nggak tersampaikan dengan baik.”

“Halah, gaya lo!” Tara mengibaskan tangannya. “Kebanyakan baca komik Jepang ama nonton film Korea sih lo! Iya di komik sama film gampang nembak cowok, tapi di kehidupan nyata kan nggak segampang itu.”

“Kan aku bilang bukan nembak, Tara. Tapi menyatakan perasaan. Menyatakan perasaan kan tinggal menyampaikan apa yang dirasakan, jadi nggak susah,” tutur Bella masih bersikeras dengan pendapatnya.

“Yaaa, ngomong sih gampang. Emang lo sendiri pernah menyatakan perasaan atau apalah itu ke cowok?” tanya Tara pada Bella. Yang ditanya menggeleng. “Aku belum pernah suka orang yang aku rasa tepat buat dinyatakan perasaan.”

Citra dan Tara saling berpandangan dan mengerutkan kening mendengar ucapan Bella. Gaya bahasa Bella memang terkadang aneh, terpengaruh kebanyakan baca novel dan nonton film romantis.

“Kita realistis aja, deh,” ujar Tara kemudian, tidak menghiraukan ucapan Bella tadi. Ia lalu bertanya pada Citra. “Emang nanti ketika lo nem—maksud gue, confesss atau apalah itu ke Rio, lo cuma ngomong ‘Rio, gue suka ama lo’ dan udah? Emang lo semata pengen bilang begitu aja tanpa mau tahu respon dari Rio? Emang menurut lo Rio akan diem aja tanpa ngomong apa-apa? Lo confess ke orang, Citra. Bukan patung.”

Citra terdiam sesaat, tampak merenungi ucapan Tara. Lalu mengangguk-angguk. “Iya juga, ya. Kok gue nggak kepikiran sampai situ, ya?”

“Lo udah dicekokin sama cerita-cerita cinta yang cuma ada di film sama Nona ini,” Tara mengarahkan jari telunjuknya pada Bella, kesal.

“Aku nggak salah-salah banget, kok. Kelupaan mikirin hal-hal itu aja. Lagian Citra juga iya-iya aja pas aku ngusulin buat menyatakan perasaan ke Rio,” Bella membela diri. Ia menyelipkan anak-anak rambutnya yang mulai menghalangi pandangan ke belakang telinga.

Tara kini mengangguk-angguk, membenarkan perkataan Bella. Citra memang selalu berada di tengah-tengah antara Bella yang melankolis dan Tara yang selalu logis. Saking ‘tengah’-nya, Citra paling gampang dipengaruhi dan diajak ke sana-sini oleh kedua sahabatnya itu.

“Lo tuh ya Cit, diajak terjun ke jurang juga ikut aja selama yang ngajak gue atau Bella,” tambah Tara.

“Yee, nggak segitunya juga kali!” gerutu Citra. Lalu gadis itu menatap Tara dan Bella bergantian. “Terus gue harus gimana dong sekarang?”

“Lo serius mau nem—mmm, confess ke Rio?” Tara balik bertanya.

Citra tidak menyahut. Ia perlahan menunduk dan memainkan jari-jarinya.

Kini Tara dan Bella saling berpandangan. Mereka berdua tahu benar kalau sahabat mereka itu sangat menyukai Rio sejak lama. Bahkan Citra lebih dulu kenal Rio karena mereka satu kelompok Ospek dibanding kedua sahabatnya itu.

“Sebenernya, kayak yang Bella bilang, confess sebenernya itu nggak buruk juga,” ujar Tara kemudian. Bella langsung tersenyum lebar. “Tuh kan, aku bilang juga—”

“Tapi tetep harus ada perhitungannya, ya. Lihat sikon juga,” Tara memotong ucapan girang Bella.

“Tara, cinta itu nggak bisa pakai hitung-hitungan. Cinta itu pakai hati, bukan otak,” sergah Bella, tidak setuju dengan ucapan Tara.

“Nenek-nenek jungkir balik di bulan juga tahu itu!” sahut Tara asal. “Bukan itu maksud gue. Iya, cinta dirasa pakai hati. Tapi masalah confess ya beda lagi dong. Apalagi Citra ama Rio kan udah deket banget. Akan ada perbedaan sebelum dan sesudah ada pernyataan. Jadi nggak bisa asal confess.”

Citra mengangguk-angguk.

“Sori nih ya sebelumnya Bel, gue nggak percaya tuh kita bisa confess selama kita suka orang tanpa mikirin apakah orang itu suka apa kita juga atau enggak. Itu cuma ada di film. Misalnya, gue bukan mengecilkan lo ya Cit, misalnya aja nih Rio ternyata nggak suka juga ama lo. Kan hubungan kalian jadi canggung nantinya. Pertemanan kalian malah jadi nggak sama lagi,” ujar Tara panjang lebar. Kuncir ekor kudanya bergerak-gerak seiring dengan tubuhnya yang ikut bergerak ketika ia berbicara.

“Jadi kata gue, mending lo cermati lagi sikon-nya. Kira-kira Rio gimana ke lo? Apakah positif atau negatif kira-kira respon dia ketika lo confess nanti? Gitu, Cit,” tambah Tara ketika melihat kedua sahabatnya masih terdiam menyimak ucapannya.

“Ah, tapi aku kurang setuju sama pendapat Tara. Itu terlalu logis, dan perkara perasaan kan soal hati,” sergah Bella.

“Iya, dan lo terlalu melankolis. Gue cuma nyoba realistis aja, sih. Kan kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia novel yang indah itu,” sahut Tara. “Dan Bella sayang, lo pernah kepikiran nggak sih kalau kali aja penulis novel tuh buat novel seindah itu karena dia pengen buat cerita yang jauh lebih indah dari ke-nggak indah-an hidupnya? Karena dia nggak bisa mewujudkan cerita indah itu di dunia nyata, makanya dia tulis di novel.”

Bella cemberut mendengarnya. Itu ucapan yang selalu diulang-ulang Tara kalau mereka sedang berdebat soal realistis-melankolis. Dan karena Tara pintar berargumen, Bella nggak bisa bilang apa-apa lagi. Ia tetap tidak setuju dan kesal, tidak mau menyahuti ucapan Tara lagi.

Lalu Citra? Tentu aja gadis yang mudah dicekokin segala macam itu langsung menuruti perkataan orang yang sangat yakin dengan pendapatnya seperti Tara.


“Cit, kok lo tadi berangkat duluan?” tanya Rio yang baru sampai ke kelas dengan terengah-engah. Citra mengangkat wajahnya dari tumpukan buku di hadapannya.

“Gue tadi ke perpus dulu mau nyari bahan buat tugas kelompok. Kita kan nggak sekelompok. Gue SMS lo kan, Yo. Gue telepon abis nggak bisa-bisa,” ujar Citra.

Rio menarik bangku dan duduk di sebelah Citra. Ia nyengir. “Gue lupa naruh hape di mana.”

Citra mencibir. “Kebiasaan deh, lo. Makanya lain kali kalau gue nggak ngasih kabar buat berangkat bareng, lo nggak usah ke rumah. Langsung jalan aja. Dari pada capek-capekin.”

Rio mengangkat bahu. “Biarin, sekalian jalan. Lo kan tahu gue males di jalan sendiri.”

Rio dan Citra memang sering berangkat dan pulang kuliah bersama, hampir selalu bahkan. Rumah Rio memang cuma berjarak dua blok dengan rumah Citra. Rio yang selalu jemput Citra dengan Jazz-nya. Citra sih seneng-seneng aja, lumayan ada temen nebeng daripada desek-desekan di busway.

“Kalau dari kebiasaan Rio yang sering antar-jemput kamu, kayaknya sih kemungkinan besar dia juga suka kamu, Cit,” ucapan Bella kemarin—ketika dia udahan ngambek sama Tara nya. Mereka  sedang menganalisis keadaan, bahasa Tara.

“Iya, gue setuju. Mana ada orang temenan biasa sering banget berangkat-pulang bareng terus. Dia sering lagi mau aja nungguin lo kalo lagi ada tugas kelompok atau rapat BEM,” sahut Tara.

“Yaa, kan gue juga sering nungguin dia kalau ada latihan basket. Jadi udah kayak kebiasaan aja sih kata gue. Belum tentu suka juga,” ujar Citra, sedikit menunduk.

“Yah, kok lo jadi pesimis gitu, sih? Kalo nggak semangat gini, gimana bisa sukses confess-nya?” seru Tara, berusaha menyemangati Citra.

“Kemungkinannya cukup besar kok, Cit. Orang-orang yang nggak tahu kamu sama Rio dari semester satu pasti mikir kalian tuh pacaran. Saking deketnya kalian,” Bella menambahkan.

“Makanya hape lo jangan ilang-ilangan, dong. Jadi kan gue kalau mau ngasih kabar gampang,” ujar Citra kemudian, menghalau pikiran soal perbincangannya dengan kedua sahabatnya kemarin.

Rio mengusap rambut cepaknya yang tidak gatal. “Nah itu dia. Gimana ya caranya biar nggak ilang terus?”

“Hape lo nggak pernah ilang, Yo. Cuma keselip, dan selalu keselip. Makanya kamar rapiin dikit, kek!” sahut Citra sambil mencibir.

Rio hanya cengengesan mendengar ucapan Citra. Citra memang sudah pernah melihat isi kamar Rio—yang sangat amat berantakan itu. Begitu juga Rio, yang langsung memohon-mohon pada Citra untuk membereskan kamarnya juga supaya rapi seperti kamar Citra. Tentu aja Citra menolak mentah-mentah.

“Cit, jujur ama gue. Lo ama Rio udah jadian kan, sebenernya?” tanya Tara dengan wajah super serius ketika mengetahui Citra dan Rio sudah pernah melihat kamar masing-masing. Bella masih shock dengan hal itu, tidak berkata apa-apa.

Citra tertawa. Waktu itu ia belum menyadari kalau ia suka Rio. “Apaan sih, lo? Masa iya gue ada apa-apa nggak cerita ke lo berdua? Gue sama Rio temenan aja, kok.”

“Cit, kamu nggak berteman aneh-aneh, kan? Bukan friends with benefits, kan?” tanya Bella pelan, wajahnya khawatir. Citra langsung melotot. “Bella! Apaan sih lo?! Emang gue gila apa?!”

Tara menggeleng-gelengkan kepala. “Kebanyakan baca novel nih anak. Lo baca novel dewasa juga, Bel?”

Citra tertawa geli mengingat hal itu. Bella memang selalu meresapi dunia novel dan film yang dilihatnya.

“Kenapa lo ketawa sendiri?” tanya Rio heran.

“Inget si Bella gue. Koplak banget emang tuh anak. Isi kepalanya cuma komik, novel, ama film,” sahut Citra.

Rio nyengir, setuju dengan ucapan Citra karena memang lumayan sering juga ngobrol sama Bella dan Tara. “Eh iya, Bella nggak keliatan, ya? Tara juga. Mereka kemana?”

“Nonton premiere film barunya Johny Depp. Bella kan ngefans banget ama doi. Terus Tara nemenin, deh.”

“Tara mau?” tanya Rio heran.

“Bella janji mau traktir bakso seminggu, makanya dia mau,” jawab Citra sambil tertawa.

Rio ikut tertawa. “Pantes. Nah, kok lo nggak ikut?”

“Gue kan mau kumpul kelompok abis ini, nggak enak lah kalo nggak dateng. Mereka kan nggak sekelompok ama gue,” ujar Citra sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Ini Pak Alfan masuk nggak, sih? Lama banget nggak dateng-dateng. Laper gue.”

Rio mengerutkan kening. “Lo belum makan? Tadi di rumah nggak makan dulu?”

“Kesiangan gue tadi, terus langsung ke perpus kan tadi. Jadi nggak sempet,” Citra menoleh ke sekelilingnya. “Duh, dateng nggak sih Pak Alfan?”

Tiba-tiba Rio menarik tangan Citra untuk bangkit dari duduknya. Citra tersentak kaget.

“Udah makan dulu sekarang,” ujar Rio. Citra mengerutkan kening. “Nanti kalau Pak Alfan dateng gimana? Udah nungguin kan kita.”

“Gampang itu, sih. Makan aja dulu lo sekarang. Nanti maag lo kambuh.”

Citra terdiam. Ia membiarkan saja dirinya ditarik oleh Rio ke kantin belakang kampus. Rio langsung memesankan makanan untuknya dan duduk di depan Citra.

“Lain kali, kalau nggak sempet makan di rumah tuh beli roti, kek. Buat ganjel perut aja,” ujar Rio.

“Iya, Mama Rio,” sahut Citra, meledek Rio yang sering bawel menyaingin Mamanya. Rio menjitak kepala Citra pelan. “Yee, ini anak kalau dibilangin ya!”

Citra tertawa pelan.

“Coba lo pancing-pancing nanya soal pacar, Cit. Lihat gimana reaksinya,” Citra tiba-tiba teringat ucapan Tara.

“Yo, lo nggak mau nyari cewek?” tanya Citra.

“Hah? Kok tahu-tahu nanya begitu?” Rio balik bertanya, heran.

“Nggak tahu, kepikiran aja,” ujar Citra sambil nyengir. Mereka memang sering ngobrol random dari satu hal ke hal lain.

“Mmm,” Rio berlagak berpikir. “Yang ngantri sih banyak, Cit.”

Citra langsung melempar Rio dengan serbet makan. Rio tertawa-tawa. “Lagi lo nanya begituan tahu-tahu.”

“Yaa, gue kepikiran aja. Kalau lo udah punya cewek, cewek lo bakal ngebolehin lo sering main ama gue begini apa enggak,” sahut Citra enteng.

Namun tiba-tiba, raut wajah Rio berubah. Raut wajah yang dikenali Citra ketika cowok itu tidak suka dengan suatu hal atau pembicaraan.

“Apaan sih lo, ngomongin beginian,” ujar Rio, melemparkan pandangannya ke arah lain.

Tak lama kemudian, makanan datang. Rio langsung menatap Citra galak. Seolah lupa dengan bahasan tadi. “Habisin makannya.”

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *