Bekas Luka

bekas luka

Aku punya bekas luka di telapak kaki. Luka bakar waktu jalan di atas bara pas acara OSPEK dulu. Waktu itu emang lagi hits (?) acara jalan di atas bara; yang katanya nggak sakit kalau kita yakin nggak akan sakit.

Dan baik dulu maupun sekarang, aku nggak percaya hal itu. Namanya jalan di atas bara, bara yang apinya bahkan masih kelihatan oren-oren; ya bakal panas lah. Ya bakal sakit lah. Ya bakal terbakar lah.

Apalagi kita yang suka rela ‘terjun’, yang sadar betul kalau bara itu panas. Bukan di kondisi mepet, terpaksa, nggak ada pilihan lain; yang mungkin bisa tuh muncul ‘percaya’ itu. Tapi ini kan enggak; cuma acara OSPEK yang katanya pengen menumbuhkan rasa percaya, keyakinan, dan semacamnya.

Dan dulu atau sekarang pun, aku masih nggak ngerti ngapain orang bikin acara kayak gitu. Suka rela jalan di atas bara api yang panas, udah gitu pakai nyuruh-nyuruh orang lain juga. Kalau dia sendiri mah bodo amat, lah ini nyuruh-nyuruh orang lain juga, anak orang asal disuruh. Nggak bakal tanggung jawab juga kalau kebakar kaki orang, kan?

Pokoknya singkat cerita; di acara yang harus mengandalkan kepercayaan kalau kita nggak akan terbakar itu, aku nggak percaya. Jadi hal yang dijanjikan, kaki nggak terbakar, pun nggak terjadi.

Kaki aku tetap ngerasa panas, melepuh, terbakar. Meninggalkan bekas luka yang bikin aku ngomel-ngomel, kesel sama panitia yang bikin acara nggak masuk akal itu. Kesel kenapa dari sekian acara yang bisa nggak aku ikuti, acara itu malah aku ikuti. Kesel kenapa aku nggak bisa ngapa-ngapain waktu itu, nggak bisa nolak, nggak bisa menyuarakan ke-nggak setujuanku atas acara itu. Kesel kenapa aku nurut-nurut aja disuruh jalan di atas bara waktu itu.

Rasa kesel itu terus muncul tiap aku lihat bekas luka di telapak kakiku. Tiap aku pegang bekas luka itu. Walaupun udah nggak sakit lagi bekas lukanya, tapi di hati aku masih muncul rasa kesel dan ngomel-ngomel yang sama. Masih nggak terima aku dijerumuskan (?) untuk menjalani hal yang menurutku nggak masuk akal dan cuma merugikan itu.

Sampai kemudian sepuluh tahun berlalu, tepatnya tadi pagi pas buka sepatu; aku baru sadar kalau udah nggak ada rasa kesel lagi saat lihat bekas luka itu. Nggak ada ngomel-ngomel lagi. Nggak ada rasa nggak terima lagi.

Pas aku lihat bekas luka di telapak kakiku itu; ya itu cuma bekas luka. Nggak ada rasa apa-apa lagi; nggak di kaki, nggak di hati. Aku masih ingat semua kejadian waktu acara itu, termasuk ketidakpercayaan dan kekeselan aku. Tapi itu cuma sebatas memori, nggak ada perasaan apapun yang membersamainya.

Ya, pada akhirnya, bekas luka itu cuma menjadi bekas luka.

Aku nggak melihat lagi bekas luka itu sebagai masalah. Aku bahkan nggak melihat bekas luka itu sebagai ‘sesuatu’. Bekas luka itu sudah bersamaku begitu lama, menjadi bagian dari diriku. Karena itu bagian diriku, aku pun nggak melihatnya sebagai sesuatu yang terpisah.

Aku pun melihatnya sebagai diriku. Aku melihatnya sebagai aku.

Bukan ‘ada bekas luka di telapak kakiku’ lagi. Tapi ‘telapak kakiku ya memang ada bekas lukanya’. Seperti ‘telapak kakiku ya memang ada tahi lalatnya’ dan semacamnya.

Tepatnya, aku telah menerimanya sebagai bagian dari diriku. Aku telah menerimanya sebagai aku. Tanpa kusadari. Terjadi begitu saja seiring waktu berlalu.

Dan tiba-tiba aja muncul pemikiran, mungkin bekas luka-luka di hatiku juga akan begitu?

Bekas luka yang masih aku merasa sakitnya. Merasa tidak terimanya. Merasa sakit hatinya. Merasa dendamnya.

Bekas luka yang masih begitu aku sadari keberadaannya. Bekas luka yang masih memunculkan berbagai rasa saat aku melihatnya, saat aku menyentuhnya.

Mungkin suatu saat nanti, ketika waktu berlalu sekian lama, tanpa aku sadari; bekas luka hatiku pada akhirnya juga hanya akan menjadi bekas luka.

Mungkin suatu saat nanti, tanpa kusadari, aku pun bisa menerimanya sebagai bagian dari diriku. Menerimanya sebagai aku.

Dan karena itu semua terjadi tanpa aku sadari, aku nggak begitu tahu apa yang terjadi. Aku nggak begitu sadar apa yang aku lakukan sampai bekas luka di telapak kakiku itu hanya menjadi bekas luka saja.

Yang aku lakukan hanya… terus berjalan.

Sejak kakiku masih terasa panas melepuh, lalu muncul belas luka yang mengganjal dan mengganggu, lalu bekas lukanya sudah tidak sakit tapi masih mengganggu, lalu bekas lukanya masih sering aku lihat dan pegang sambil ngomel-ngomel dalam hati.

Sampai kemudian tidak terasa apapun lagi.

Yang aku lakukan hanya terus berjalan. Dengan telapak kakiku sendiri. Apapun keadaannya, bagaimanapun perasaannya.

Apapun yang terjadi.

Terus berjalan.

Terus bergerak.

Terus hidup.

(Migrasi dari Tumblr, 17 Oktober 2020)

pena runcing
ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Author: ahazrina

sajak, kata, kisah, potret, pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *