Almost
Seminggu kemudian, Ambar datang dengan tergopoh-gopoh membawa berita kalau Bima sudah jadian dengan Bella. Dian hanya mengangguk acuh tak acuh, tidak kaget dengan berita itu. Tidak setelah pertengkaran mereka di kantin tempo hari.
“Kok lo santai gitu sih, Di? Lo beneran udah nggak suka lagi sama dia?” tanya Ambar gemas.
“Apa ada hubungannya gue masih suka atau enggak dengan dia udah punya cewek? Gue kan bukan ceweknya, nggak punya hak juga buat ngelarang. Dia juga udah gede, berhak milih mau jadian sama siapa,” sahut Dian enteng.
Ambar memicingkan mata, merasa ada yang aneh. “Ini ada hubungannya sama terakhir lo ketemu dia, kan? Lo ngomong apa aja sih sama dia?”
Dian waktu itu memang langsung ngomel-ngomel menumpahkan kekesalannya pada Ambar, tapi tidak menceritakan semua detailnya. Dian mendengus, merasa kesal lagi setiap mengingat kejadian itu. “Ya begitu deh, pokoknya ngeselin. Males gue ceritainnya juga.”
“Ih, lo cerita dong! Kali aja ada clue yang menunjukkan kenapa si Bima tahu-tahu begitu, tahu-tahu aja jadian sama Bella. Padahal gue yakin banget dia juga suka sama lo!” seru Ambar berapi-api. Bersikeras mengorek keterangan dari Dian.
Tapi Dian hanya menggeleng. “Udah lah, nggak penting itu. Kayaknya jauh lebih penting kalo lo bantuin gue cari pacar. Lo masih mau kan, kalo gue angkat lagi jadi mak comblang?”
Ambar menatap Dian lurus-lurus. “Di…”
“Apa gue jadian sama Danu aja, ya? Dia udah ada tanda-tanda bakal nembak gue, sih,” sahut Dian, seolah tak mendengar ucapan Ambar.
Ambar menghela nafas.
Sebulan kemudian, Dian bertemu lagi dengan Bima di acara angkatan mereka. Dian menuruti ucapan Bima untuk tidak menghindarinya. Meski sebenarnya alasan terbesar Dian tidak menghindari Bima adalah karena Dian berprinsip, entah prinsip dari mana, kalau ia menghindar berarti kalah. Kalau ia menghindar berarti membiarkan Bima berpikir kalau ia marah, dan merasa terganggu dengan kenyataan bahwa Bima pacaran dengan Bella.
Dan juga, toh sekarang Dian sudah punya pacar. Dua minggu lalu ia baru jadian dengan Danu. Jadi Bima tidak akan berkata macam-macam lagi, pikir Dian. Dan sepertinya pemikiran itu ada benarnya, karena sedari tadi mereka bertemu pandang pun hanya saling mengangguk dan tersenyum tipis. Tanpa berkata apa-apa.
“Di, lo balik bareng gue?” tanya Ambar, membuyarkan lamunan Dian. Dian mengangguk. “Nebeng, ya? Danu lagi disuruh jemput saudaranya dari bandara.”
Ambar berdecak. “Udah punya cowok tapi masih aja gue ditebengin. Gue juga harus cari cowok nih, biar nggak bareng lo terus. Bosen!”
Dian tertawa kecil mendengarnya. “Sama temennya si Danu mau? Si Farrel lumayan tuh.”
Ambar langsung menggeleng “Sama aja, itu mainnya nanti sama lo lagi, sama Danu lagi. Tolong keluarkan gue dari lingkaran setan ini!”
Dian tertawa lagi. Ia baru mau akan menyahuti ucapan Ambar ketika seseorang memanggil Ambar, menanyakan bagaimana kelanjutan acara ini. Ambar memang divisi acara yang sedari tadi sibuk woro-wiri. Ambar pun beranjak pergi setelah mewanti-wanti Dian untuk menghubunginya nanti.
Setelah kepergian Ambar, Dian berjalan mendekati meja untuk mengambil minum. Namun tangannya yang terulur untuk meraih gelas bertabrakan dengan tangan lain. Dian refleks menarik tangannya dan meminta maaf.
“Sorry,” ujar Dian seraya mengangkat kepalanya, melihat siapa pemilik tangan itu. Ternyata Bima, yang sama kagetnya dengan Dian. Cowok itu juga sudah menarik tangannya, mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal. “Gue juga sorry. Silakan lo duluan.”
Dian tersenyum kikuk, lalu mengambil segelas air dari atas meja. Bima kemudian mengambil segelas juga, lalu berbicara tanpa menatap Dian. “Katanya lo udah punya cowok?”
“Iya,” sahut Dian pendek, sudah memperkirakan kalau Bima akan menanyakan hal ini. Keduanya lalu terdiam, tidak ada yang berbicara. Dian sudah berpikir akan pergi dari situ ketika Bima berbicara lagi.
“Selamat. Semoga langgeng.”
Dian terpengarah. Memastikan kalau ia tidak salah dengar atau berhalusinasi. Tidak, bukan ini yang ia harapkan keluar dari mulut Bima. Tapi Bima tidak mengatakan apa-apa lagi, beranjak pergi meninggalkan Dian yang masih menatapnya tak percaya.
Namun baru beberapa langkah, Bima berbalik. Berjalan menghampiri Dian lagi dan berhenti tepat di hadapannya. Lalu berkata lugas pada gadis itu. “Sorry. Gue tarik omongan gue tadi.”
Dian tertegun. Cowok ini… cowok ini kenapa selalu…
“Gue tarik omongan gue tadi,” ulang Bima. Cowok itu lalu melanjutkan dengan nada getir. “Karena bohong itu dosa, kan?”
…bikin gue bertanya-tanya…
“Gue emang nggak pernah ngedoain yang buruk-buruk buat lo,” Bima menjeda ucapannya. Menatap Dian lamat-lamat.
…bikin gue berharap…
Bima menghela nafas sebelum melanjutkan lagi. “Tapi saat ini gue juga nggak bisa dengan tulus berdoa supaya lo bahagia sama cowok lo.”
…bikin gue seneng tapi sedih sekaligus…
Tangan Bima terangkat, menepuk bahu Dian pelan. “Hati-hati nanti pulangnya. Jangan terlalu malam. Nggak baik cewek pulang malam-malam,” ucap Bima, mengulas senyum tipis.
Dian tidak menyahut, hanya meremas gelas di genggamannya erat-erat. Bima tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Dian. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Bima tidak kembali lagi.
Dan Dian masih tidak berkata apa-apa. Hanya terdiam sambil terus menatap punggung Bima yang semakin mengecil.
September, 2016.
Dian membolak-balikkan isi notes kecil di tangannya. Kebanyakan catatan yang ia tulis ketika OSPEK. Materi dari pembicara, tugas kelompok, yel-yel kelompok, corat-coret ketika mengantuk, barang-barang yang harus disiapkan selama OSPEK. Dan sebuah foto.
Dalam foto itu, tampak fotonya bersama semua anggota kelompok OSPEK-nya. Dian berdiri di sebelah Bima, keduanya tersenyum lebar. Anggota kelompok yang lain juga tersenyum lebar, melupakan fakta bahwa mereka sedang memakai berbagai atribut yang memalukan.
Dian tersenyum. Tangannya meraba foto itu perlahan.
Tiga bulan setelah acara angkatan itu, Dian putus dari Danu. Dian mengeluarkan berbagai alasan seperti mereka berdua tidak cocok, ia sudah mulai sibuk dengan pelajaran kuliah dan organisasi, Danu juga semakin sibuk dengan kegiatannya, dan lain sebagainya. Tapi alasan sebenarnya adalah, Dian memang tidak pernah menyukai Danu.
Ambar benar. Cowok memang banyak, tapi hati selalu tahu kemana ia berlabuh.
Dan soal Bima, Dian tidak banyak mendengar kabar tentangnya lagi. Dian pernah mendengar selentingan berita bahwa Bima sudah putus dari Bella, tidak lama setelah acara angkatan itu. Namun entah benar atau tidak, Dian sendiri tidak pernah melakukan kroscek terhadap berita itu. Dian hampir tidak pernah bertemu Bima lagi, karena cowok itu tidak muncul di kantin Manajemen seperti biasanya. Dan Dian juga memang tidak lagi sengaja mencari-cari cara supaya bertemu dengannya.
Terakhir mereka bertemu adalah ketika wisuda, dan mereka hanya berbicara untuk saling memberi selamat. Tidak ada pembicaraan lain lagi. Tidak ada pertemuan lagi.
Tapi sosok Bima masih terekam jelas dalam benak Dian.
Tentu saja. Bima adalah bagian dari rangkaian kisah hidupnya. Yang memang tidak harus ada di sisinya, tapi tetap tersimpan rapi dalam kenangan.
“Dian, tadi orang salon telepon. Katanya kapan mau fitting kebayanya? Bareng sama fitting jas Raka sekalian!” seru Ibu yang sudah ada di ambang pintu. “Ya ampun, kenapa malah bengong bukannya beres-beres? Duh Dian, Ibu takut Raka nggak keurus nanti sama kamu!”
Dian tersenyum mendengar ucapan ibunya. Ia meletakkan lagi foto itu diantara lembaran kertas notes, lalu menaruh notes itu di dalam kardus. Sambil bangkit dan mengangkat kardus itu, Dian menyahuti ucapan ibunya. “Ya enggak lah, Bu. Kalo udah nikah masa aku masih begini?”
Ibu terus menyerocos mengenai sifat-sifat buruk Dian lainnya, takut masih terbawa sampai punya anak. Dian hanya mengangguk-angguk, berjalan ke arah gudang untuk meletakkan kardus. Menuruti perintah ibunya untuk membuang barang yang sudah tidak terpakai.
We were never madly in love with each other. I never understood you, and you never understood me. We always missed each other’s cue. – No Eul, Uncontrollably Fond