almost

Reuni kelompok yang digagas Ambar itu baru terjadi dua bulan kemudian, karena sulitnya mencari waktu yang tepat untuk semua anggota. Sebenarnya Dian pernah bilang pada Ambar kalau tidak apa-apa reuni itu tidak jadi, karena toh selama ini ia sudah sering bertemu dengan Bima. Bima entah mengapa hobi makan di kantin Manajemen, sehingga hampir tiga hari sekali mereka bertemu.

Dan setiap bertemu mereka selalu bertengkar kecil, soal apapun. Ambar sampai heran sendiri, Dian benar-benar suka Bima atau tidak, sih?

“Beneran lah, Mbar. Tapi ya nggak tahu kenapa kalo deket dia, gue refleks aja bawaannya marah-marah terus. Padahal gue juga sebenernya pengen bisa bermanis-manis depan dia,” ujar Dian waktu itu.

Jadi ketika akhirnya reuni kelompok ini terjadi, Ambar terus mewanti-wanti Dian supaya tidak bertengkar dengan Bima. Kalau memang belum bisa berkata manis, setidaknya menahan diri untuk tidak adu mulut. Dian pun menurut dan bertekad akan membuat acara ini berjalan lancar tanpa huru-hara.

“Mana nih si Bos, kok belum keliatan juga?” tanya Haikal, anggota kelompok Mangga dari jurusan Teknik. Mereka memang sudah berkumpul dari satu jam yang lalu, tapi Bima belum juga kelihatan.

“Lagi di jalan katanya, tadi barusan gue telpon,” sahut Ambar. Ia lalu melirik Dian yang tampak lesu. Ambar tahu kalau temannya itu pasti jadi tidak bersemangat karena orang yang ditunggu tak kunjung datang. Dian bahkan rela bolos les bahasa Prancis-nya demi acara ini, padahal Ambar tahu benar kalau Dian paling anti bolos les yang satu itu. Sayang sudah bayar mahal-mahal, begitu kata Dian.

Sorry, sorry,” terdengar sebuah suara tak jauh dari meja mereka. Mereka pun menoleh dan melihat Bima yang baru datang sambil terkekeh-kekeh. Senyum Dian perlahan merekah, lupa dengan segala kekesalannya tadi. Gadis itu pun mengambil minuman yang tidak disentuhnya sedari tadi.

“Dateng juga, Bos. Kirain bakal dateng besok!” seloroh Clara, anggota kelompok yang paling senang berdandan ala selebriti.

“Dari mana aja lo? Nganter cewek lo, ya?” tanya Guntur yang satu jurusan dengan Bima.

Dian tersedak mendengarnya. Ia langsung menoleh pada Ambar, yang sama kagetnya. Ambar lalu berbisik pada Dian. “Bercandaan doang kali.”

Dian tidak menyahut, hanya terdiam menyimak obrolan teman-temannya.

“Cewek? Emang cowok begini punya cewek?” Haikal sangsi. Diikuti tawa anggota yang lain.

“Lho, iya kan, Bos? Gue denger lo lagi deket sama si Bella, anak Sastra,” Guntur bersikeras.

Odi menjentikkan jarinya. “Oh iya, gue juga pernah denger! Gila, kok bisa si Bella mau sama lo, Bos? Lo pakai pelet, ya?”

Dian dan Ambar terpengarah. Dian lalu berbisik pada Ambar. “Kayaknya bukan becandaan, Mbar.”

“Jadi gimana nih, Bos? Konfrensi pers dong, jangan ketawa-tawa aja!” ujar Clara.

Sedari tadi Bima memang tidak menyahut apa-apa, hanya tertawa mendengar pembicaraan teman-temannya. Bima mengangkat bahu. “Gue harus ngomong apa?”

“Ya klarifikasi berita yang beredar, dong! Jadi bener, lo lagi deket sama Bella?” tanya Haikal. Semua mata memandang Bima, kecuali Dian yang hanya memandangi gelas di tangannya. Rasanya ia tidak sanggup harus mendengar langsung dari Bima, tapi ia juga penasaran akan kebenaran berita itu.

“Yaaa,” Bima sengaja menggantungkan suaranya, melirik sedikit pada Dian. “Deket itu kategorinya gimana? Kalo sekedar makan sama pulang bareng masuk kategori, mungkin iya.”

“Ciyeeeee!” sontak para anggota kelompok Mangga itu menyoraki Bima beramai-ramai. Lalu bergantian mereka menanyakan berbagai hal yang membuat Bima kewalahan sendiri. Di tengah semua itu, Bima berkali-kali melirik ke arah Dian untuk melihat bagaimana reaksi gadis itu, namun selalu terhalang oleh teman-temannya yang lain.

Sementara itu, Dian tidak banyak bicara. Ia hanya melahap berbagai makanan yang mereka pesan, tidak menggubris keributan yang ada di sekitarnya. Ambar yang melihatnya hanya meringis.

“Di, makannya pelan-pelan. Nanti lo keselek,” ujar Ambar. Tepat setelah Ambar menyelesaikan ucapannya, Dian tersedak. Ambar segera memberikan segelas air putih pada Dian. Dian langsung menghabiskan seisi gelas itu.

“Di…,” ucap Ambar lirih, prihatin melihat temannya itu.

“Jangan ngomong sama gue sekarang. Gue lagi pengen makan banyak,” potong Dian, sambil meraih puding apel yang terletak di meja.


Sejak kejadian itu, Dian memutuskan untuk mengakhiri usahanya mendekati Bima. Juga memberhentikan Ambar secara hormat dari posisinya sebagai mak comblang. Ambar sontak saja protes, menuding kalau Dian terlalu cepat menyerah.

“Iya, emang gue nyerah. Ngapain gue bela-belain ngejar orang yang udah punya orang lain? Kayak di dunia ini nggak ada cowok lain aja,” sahut Dian enteng.

“Iya emang banyak cowok lain, tapi lo kan sukanya sama dia!” ujar Ambar gemas.

“Ya emang kalo gue suka sama dia, gue nggak bisa suka sama orang lain lagi? Gue mau udahan aja suka sama dianya,” sahut Dian lagi. Ambar melongo mendengarnya. “Emang bisa suka asal diudahin gitu aja?”

Dian mengangkat bahu. “Tapi seenggaknya, gue nggak mau kisah cinta pertama gue berakhir sedih. Daripada gue sedih, mending gue segera keluar dari kisah itu, kan?”

“Ih, tapi kan belum tentu si Bella itu ceweknya. Kali baru deket aja,” ujar Ambar lagi, masih berusaha membujuk Dian. Dian menggeleng cepat. “Itu deket yang mengarah ke jadian, Mbar. Kalo deket temen biasa, ya aturan dia bilang dong. Tapi kan dia nggak bilang apa-apa lagi.”

Ambar tidak menyahut lagi, hanya geleng-geleng kepala melihat temannya. Dian kalau sudah bertekad terhadap sesuatu sulit berubah pikiran. Apalagi mendengarkan ucapan orang lain.

Dan setelahnya, Dian benar-benar seperti melupakan fakta bahwa ia menyukai Bima. Dian tidak lagi mencari-cari kesempatan untuk bertemu cowok itu. Tidak lagi sengaja sering-sering nongkrong di kantin, tempat ia selalu bertemu Bima. Tidak lagi sengaja ke perpustakaan karena berdekatan dengan gedung Seni. Dian juga mengeluarkan berbagai alasan untuk tidak ikut ketika kelompok OSPEK-nya mengajak kumpul-kumpul lagi. Pokoknya sebisa mungkin Dian menghindari tempat dan hal yang membuat dia berada satu ruangan dengan Bima.

Lama-kelamaan, Bima pun menyadari kalau Dian menghindarinya. Ketika Dian sudah tidak punya pilihan lagi selain ke kantin atau mati kelaparan, mereka berdua bertemu. Dan Bima yang langsung mencecarnya.

“Lo ngehindarin gue, ya?”

Dian mengerutkan kening, bingung sekaligus kaget mendengar pertanyaan Bima itu. Bingung karena Bima tanpa ba-bi-bu langsung bertanya seperti itu. Dan kaget karena meskipun tahu Bima selalu to the point, Dian tak menyangka cowok itu akan menanyakan hal ini.

Dian pun berdehem.

“Ngehindarin apa? Biasa aja, kok,” sahut Dian, berusaha menjaga suaranya agar terdengar normal. Dian lalu kembali melahap baksonya, ingin cepat-cepat menghabiskan makan siangnya ini. Kali ini Dian makan sendiri karena ia harus menyelesaikan tugas yang lupa dikerjakannya tadi. Tidak ada orang yang bisa menjadi bahan pengalihannya sekarang.

Bima menarik kursi dan duduk di hadapan Dian yang tidak mengalihkan pandangannya dari mangkuk bakso. Menatap Dian lurus-lurus. “Biasa apanya? Gue akhir-akhir ini jarang banget ngelihat lo, padahal sebelumnya kan sering.”

“Ya wajar lah jarang ngelihat gue, kita kan se-jurusan juga enggak. Kecuali kalo lo sama gue sekelas dan nggak pernah lihat gue, baru aneh,” ujar Dian.

­­­­Bima masih tidak bisa menerima argumen itu. “Enggak, lo emang nggak kayak biasanya. Biasanya juga gue sering ketemu lo di kantin sini, tapi lo udah lama banget nggak ke kantin. Baru hari ini kan lo ke sini lagi? Gue sering bolak-balik ke sini nyariin lo tapi nggak pernah ketemu.”

Gerakan tangan Dian terhenti. Kepalanya terangkat dan menatap Bima. Mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan cowok itu dari garis wajahnya. Dia nyariin gue? Ini apa lagi?

Tapi kemudian Dian memalingkan wajah, kembali menyendok baksonya. “Ya lo kalo nyari gue di kelas, lah. Emang gue tukang jualan di sini, nyarinya ke kantin aja?” seloroh Dian, berusaha terdengar santai.

“Lo pikir gedung Manajemen cuma satu? Kelas anak Manajemen cuma sepuluh, yang bisa gue datengin satu-satu? Ya cuma kantin tempat umum di mana gue bisa nyari lo,” Bima tampak geregetan. “Di, ini gue nanya serius. Lo ngehindarin gue?”

Dian mengangkat bahu. “Ngapain juga ngehindarin lo?”

“Karena lo marah soal yang waktu itu,” ujar Bima lugas. “Yang pas kita kumpul-kumpul sama anak-anak Mangga.”

Dian terpengarah, kaget berat mendengar ucapan Bima. Ia ingin segera menyahuti ucapan Bima, tapi lidahnya terasa kelu. Ia terdiam beberapa detik sebelum berdehem.

“Waktu itu yang mana? Bagian mana yang bikin lo menyimpulkan gue marah?” tanya Dian. “Lagian lo tahu sendiri, gue emang suka marah-marah aja bawaannya kalo sama lo kan.”

Bima menggeleng. “Nggak, lo marah beneran. Bukan cuma ngomel-ngomel kayak biasa. Dan gue kayaknya tahu kenapa lo marah.”

Mata Dian memicing. “Tahu dari mana lo? Kok lo sotoy sih, asal nyimpulin aja sesuka hati lo!”

Bima menghela nafas. “Oke. Kalo lo nggak mau bahas, nggak apa-apa.”

“Siapa yang nggak mau bahas? Kan tadi gue udah bilang—”

“Tapi jangan ngehindarin gue lagi,” Bima memotong ucapan Dian. “Apapun penyebab lo marah sama gue, apapun yang lo denger dari orang-orang; itu semua nggak bener. Gue cuma lagi iseng pengen bercanda aja waktu itu.”

Dian tertegun. Ini cowok… ini cowok… maunya apa?

“Dian!”

Sebuah suara membuyarkan keheningan diantara Dian dan Bima. Dian menoleh dan melihat Emma, teman satu jurusannya, berjalan cepat ke arahnya. Begitu sampai di hadapan Dian, Emma berkacak pinggang.

“Dian Nurmala, lo punya hape berfungsi nggak, sih? Gue udah nelponin lo berkali-kali, kenapa nggak diangkat? Gue muter-muter kampus nyariin lo, tahu!”

Dian memaksakan senyum, masih tersisa kekagetan dari ucapan Bima tadi. “Sorry, hape gue di-silent,” ujarnya seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya. Dilihat sudah banyak missed calls dari Emma. Dan dari Danu.

Dian mengerutkan kening.

“Nah, lihat sendiri kan? Si Danu udah kayak orang kebakaran tahu nyariin lo ke sana kemari, minta tolong semua orang buat nyari lo juga. Lo malah asyik-asyik ngebakso di sini!” seru Emma.

Bima ikut mengerutan kening mendengar hal itu, menatap Emma dan Dian bergantian.

“Emang dia ngapain nyari gue? Nanti juga sore ada kelas bareng,” ujar Dian heran. Merasa tidak ada urusan penting dengan seniornya yang satu itu.

“Dia sih bilangnya mau ngebahas tugas kelompok sama elo. Tapi ya seperti yang kita semua tahu, itu pasti cuma alasan aja. Siapa yang mau ngebahas tugas yang baru bakal dikumpulin dua minggu lagi?” Emma tersenyum penuh arti. “Lagian lo berdua akrab gitu kan. Apalagi pas di kelas—”

“Oke, gue bakal hubungin dia nanti,” potong Dian, sebelum temannya itu bicara lebih banyak lagi. Dian melirik pada Bima sedikit, merutuk dalam hati mengapa Emma harus datang di saat seperti ini dan mengatakan semua itu. Dian lalu memaksakan segaris senyum lagi pada Emma. “Lo duluan aja, nanti gue nyusul. Tanggung nih bakso gue belum habis.”

“Tapi jangan lama-lama, ya! Nanti si Danu ribetnya ke gue lagi, belum—”

“Iya, iya. Udah sana duluan aja,” Dian segera memotong ucapan Emma lagi. Emma pun menurut dan beranjak dari tempat itu.

Bima berdehem. Dian menoleh ke arah cowok itu, bingung harus berkata apa. Timing yang sungguh tidak tepat.

“Kayaknya lo sibuk, nih. Mungkin lo bener, gue terlalu sotoy nyimpulin kalo lo marah dan ngehindarin gue. Padahal bisa jadi lo emang terlalu sibuk dengan urusan-urusan lo, kan?” ujar Bima dengan nada sinis.

Dian menatap Bima kesal. “Dan sekarang pun lo masih sotoy dan nyimpulin segala sesuatu sesuka lo.”

“Nggak. Karena sekarang gue lihat dan denger sendiri.”

“Lo denger dari gue? Lo lihat dari gue?”

“Kalo gue nunggu denger dan lihat dari lo, mungkin bakal nunggu bertahun-tahun dulu.”

“Terus lo percaya aja apa yang didenger dan lihat dari orang lain? Tanpa kroscek sama gue yang ada di sini?”

“Emang lo mau jawab?”

“Emang lo mau tanya apa?”

Bima terdiam, lalu bangkit dari kursinya. “Udah lah, nggak usah dibahas lagi. Mending lo cepetan temuin orang yang udah kebakaran jenggot nyari lo itu.”

Dian melihat kepergian Bima dengan perasaan kesal yang menumpuk di dada. Ia membanting sendok yang dipegangnya ke atas meja. Kenapa begini? Kenapa jadi begini?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *