Review Novel: Metropolis (Windry Ramadhina)

[SPOILER ALERT] Tulisan ini berisi review novel Metropolis yang mungkin berisi spoiler. Kalo yang nggak suka spoiler, silakan baca dulu dan nanti balik lagi ke sini yaa ^^
Disclaimer
Review ini hanya pandangan pribadiku tentang isi novel, yang mungkin bisa berbeda dengan pandangan kamu yang juga baca novel ini 🙂
What’s Metropolis about
Novel Metropolis karya Windry Ramadhina bercerita tentang konflik pembalasan dendam yang melibatkan sindikat narkoba, menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sejujurnya aku bingung bagaimana memperkenalkan novel ini tanpa bongkar twist-nya, karena justru banyaknya twist demi twist itu yang membuat novel ini seru.
Jadi Metropolis dibuka dengan kematian salah seorang ketua geng sindikat narkoba yang sedang diusut oleh seorang polisi bernama Bram. Kematian itu ternyata bukan sekadar konflik antargeng narkoba, tapi berhubungan pada sesuatu yang terjadi di masa lalu.
Dalam novel ini, ada 12 geng narkoba di Jakarta yang bernama Sindikat 12. Sindikat 12 membagi wilayah kekuasaan masing-masing, terbagi jadi 12 wilayah. Alur cerita novel ini mengikuti perjalanan Bram mengusut kasus itu, kemudian muncul satu demi satu tokoh yang berkaitan dengan kasus itu.
Selain ada Bram dan para pemimpin Sindikat 12, ada juga tokoh-tokoh lain yang jadi kunci dalam cerita. Miaa yang sering muncul di TKP, Johan si pretty boy tapi sanggup bikin lawannya bertekuk lutut, Aretha yang berperan penting dalam Sindikat 12, dan Erik asistennya Bram.
What drew me in
Aku memang penggemar novel-novelnya Windry Ramadhina, dan hampir semua novelnya udah kubaca. Malah saking sukanya, pernah ada masanya di mana aku nyari novel-novel preloved-nya karena udah susah dicari di toko buku.
Metropolis justru terbilang novel lamanya, yang aku nggak jadi-jadi mau baca karena nemunya di iPusnas. Udah lama aku pinjam novel ini di iPusnas, tapi baru sempat baca sekarang. Tadinya aku mau baca buku fisiknya aja, karena suka ketunda-tunda dan takut iPusnas error lagi. Tapi ternyata nggak nemu juga di marketplace yang biasa aku cari novel.
Dan setelah sekian lama, akhirnya aku baca novel ini dan menyelesaikannya. Dengan perasaan campur aduk begitu ceritanya selesai T_T
What keeps me going
Awalnya aku penasaran siapa pelaku yang membunuh para pemimpin Sindikat 12. Gaya bercerita penulis yang khas dengan kelugasan dan tanpa basa-basi juga yang bikin aku betah baca novel ini. As expected from Windry Ramadhina.
Begitu mulai terkuak siapa dalang dibalik semua itu, dan itu masih pertengahan novel, aku pun bertanya-tanya ini mau ada konflik apa lagi. Aku malah mikir, oh ini sih konfliknya seputar para gembong narkoba itu aja paling. Nyambung-nyambung ke masa lalu dan pembalasan dendam. Nah, terus nanti kalau udah ketemu orangnya, gimana kelanjutannya, ya? Ditangkap Bram, kah? Terus udah?
Ternyata tepat di saat aku mulai bosan dengan pertikaian gembong narkoba itu, muncul satu bagian yang nggak aku sangka-sangka: kisah cinta. Aku benar-benar nggak expect bakal ada kisah cinta di novel semacam ini, tapi senang juga jadi lebih ada warnanya. Persoalan pun nggak semata tentang pertikaian gembong narkoba dan balas dendam, tapi jadi lebih dalam lagi.
What makes Metropolis unique
Baca Metropolis mengingatkanku sama film-film noir yang gelap, kompleks, tapi bikin kita nggak bisa berpaling sampai ceritanya selesai. Latar cerita sindikat narkoba aja udah menggambarkan “gelapnya” novel ini, apalagi ditambah dengan persoalan masa lalu yang membayangi.
Pas baca ini, ada beberapa tempat yang aku cukup familiar karena latarnya di Jakarta. Aku jadi bertanya-tanya kira-kira beneran ada nggak ya di Jakarta yang begini?
Dan karena genrenya begini, tokoh-tokohnya pun nggak sesederhana hitam dan putih. Bahkan Bram yang polisi aja punya sisi gelapnya, bukan polisi yang benar-benar bersih dan taat aturan, tapi bukan polisi yang korup juga. Btw, kenapa bacaanku akhir-akhir ini semodel begini terus, ya?
Aku juga suka bagaimana novel ini mengupas satu demi satu tokoh yang berkaitan dengan kasus itu. Nggak langsung dibahas semua di awal, bikin bertanya-tanya sih, tapi terjelaskan dengan baik seiring berjalannya cerita. Ini salah satu serunya baca novel genre begini, selalu ada teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Baca Metropolis juga mengingatkan aku dengan film-film mafia, yang biasanya berlatar di Italia atau Amerika gitu. Cuma dengan latar Jakarta, aku lebih terbayang ketika ada pertikaian satu sama lain.
Novel ini juga sering mencantumkan gambar atau bagan TKP, catatan penyelidikan, dan lain-lain. Detail banget, bikin makin kebayang gimana TKP pas si A atau B dibunuh, di mana jalan keluarnya, dan semacamnya. Jadi aku pun nggak kesulitan mengikuti jalan cerita meskipun tokohnya banyak dan alurnya cukup berliku.
Personal grumble
Oke, sekarang saatnya mengeluarkan protes pribadiku tentang cerita novel ini hahaha.
Tadi aku sempat bilang kalau aku suka dengan adanya kisah cinta di novel ini, kan? Tapi, pas di akhir, aku menyesalkan kesenanganku akan munculnya kisah cinta itu.
Aku emang penganut happy ending is a must, tapi sadar diri kalau novel begini nggak akan happy ending apalagi tokoh utamanya bukan orang baik-baik; tapi lagi, nggak nyangka juga bakal begitu.
Jadi begitu aku sampai pada bagian akhir yang bikin campur aduk; sedih, marah, tapi nggak tahu juga harus berharap apa, aku pun menyesal karena udah senang novel ini ada kisah cintanya. Tahu begitu mending nggak usah ada cinta-cintaannya deh, full pembalasan dendam dan konflik gembong narkoba aja nggak apa-apa T_T
Di sisi lain, aku juga nggak tahu apa yang kuharapkan untuk kisah cinta itu. Karena meskipun mungkin ada alternatif ending yang lebih baik, itu nggak benar-benar baik.
Maksudnya, apa yang bisa diharapkan dari kisah cinta gembong narkoba? Happy ending macam apa yang bisa terjadi? Kalaupun mereka bersatu, terus apa? Meninggalkan semuanya dan jadi buronan? Atau tobat? Emangnya ini film azab wkwk.
Tapi tetap aja, aku nggak terima salah satu tokoh kesayanganku berakhir begitu. Setidaknya kalau kisah cinta itu emang nggak bisa berakhir bahagia, minimal jangan tragis lah. Nggak bersatu dan saling melihat dari jauh kan bisa (lah ngatur wkwk), pokoknya jangan begitu lah ending kisah mereka.
Kalau begitu kan jadi sedih terus bawaannya, aku malah sempat stres setelah selesai baca karena kepikiran terus T_T
Dan setelah kuingat-ingat lagi, ini bukan pertama kalinya aku campur aduk ketika menyelesaikan novelnya Mbak Windry. Ada beberapa novelnya yang ending-nya bikin aku protes juga, dan itu nyeseknya mirip begini. Kayak, harus banget kah akhir tokoh-tokoh itu dibuat begitu?
Favorite characters in Metropolis
Johan adalah tokoh favoritku di Metropolis. Johan muncul di pertengahan cerita, dan awalnya aku ngebayangin dia orang yang bengis dan bertangan dingin. Tapi seiring berjalannya cerita, Johan ternyata lebih melankolis dan fragile dari yang terlihat di awal.
Johan yang begitu bikin aku ingin dia punya kisah yang lebih baik, padahal dia bukan orang baik. Cuma kasian aja jadinya, dia kayak mentok depan belakang. Kalaupun dia nggak menemui ending begitu, hidupnya juga belum tentu baik-baik aja karena kondisinya itu.
Selain Johan, aku juga suka sama tokoh Aretha. Aku sempat curiga sama dia, karena novel begini biasanya suka ada twist dan aku nggak mau terlalu percaya sama tokoh-tokohnya. Aku mikir, ini dia beneran peduli sama anak-anak itu atau nanti akan berkhianat? Tapi aku lega karena sampai akhir dia stay in character.
Aku juga suka sama tokoh Erik, asisten Bram yang namanya kayak cowok padahal dia perempuan. Meskipun awalnya dia susah mengikuti Bram yang punya pola sendiri dalam menyelesaikan kasus, tapi dia tetap bertahan dan menjalani dengan baik. Akhir cerita dari tokoh Erik juga salah satu hal yang cukup kusayangkan.
Favorite lines in Metropolis
“Kenapa sulit sekali membunuhmu?”
“Karena kau melibatkan perasaanmu.”
What makes things better
Karena aku baca di iPusnas, aku nggak lihat cover buku baik depan maupun belakang. Tapi di pertengahan, saking keponya dan aku berusaha mencari petunjuk, aku iseng lihat daftar isi. Dan di situ ada bagian cover belakang yang biasanya memuat sinopsis singkat tentang novel ini.
Tapi yang kusayangkan, cover belakang itu memuat terlalu banyak informasi yang sebenarnya twist dari novel ini. Di cover itu sudah diberitahu siapa itu Miaa, padahal aku cukup menikmati twist tentang tokoh itu. Bahkan cover itu juga memuat kalau ada kisah cinta di novel ini, hal yang tadinya nggak pernah terpikir olehku sama sekali.
Seperti yang kubilang sebelumnya, aku menikmati kejutan demi kejutan yang ada di novel ini. Jadi sayang banget kalau itu semua udah tertuang di cover belakang, meski untungnya aku lihat setelah baca bagian-bagian itu.
Jadi kalau mau baca novel ini, kusarankan nggak usah baca cover belakangnya. Apalagi kalau baca di iPusnas kan enak nggak kelihatan juga cover belakangnya langsung. Asal jangan iseng-iseng kayak aku aja pas pertengahan cerita hihihi.
Setelah menyelesaikan Metropolis, aku jadi berharap Mbak Windry ngeluarin novel baru lagi. Karena setelah aku cek lagi, ternyata semua novelnya udah kubaca; Metropolis ini yang terakhir. Tapi semoga di novel barunya, jangan bikin tragedi lagi yaa!
Reading list: Pintu Harmonika (Clara Ng & Icha Rahmawati), Si Jago Pahlawan Pembela Penampilan (Iwok Abqary)