“Seharusnya kau tadi pergi, Ben. Bukan kau yang mereka inginkan,” ujarku pada Ben, yang duduk tidak jauh dariku. Sekarang keadaan kami benar-benar seperti orang yang diculik, dengan kedua tangan dan kaki diikat di kursi. Yah, setidaknya mereka tidak menutup mulut kami juga.
“Tapi mereka menginginkanmu. Aku tidak mungkin membiarkanmu sendiri, Alo.”
Aku menghela nafas, lalu menatapnya sedih. “Mengapa? Aku sudah pergi selama sepuluh tahun. Aku mengkhianati kalian!”
“Kita keluarga, Alo,” ujar Ben, lemah. “Apa pun yang terjadi, kenyataan itu tidak berubah. Bahwa kita keluarga.”
Aku tercengang mendengarnya. Tidak menyangka kata-kata itu masih keluar dari mulut Ben setelah sepuluh tahun. Setelah semua yang terjadi.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat.
“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanyaku memecah keheningan. Sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak pertama melihat Ben, namun kutahan karena kupikir aku akan segera keluar dari sini dan memiliki waktu lebih banyak dengan Ben.
Waktu untuk mengatakan dan menanyakan banyak hal.
“Aku punya cara,” jawab Ben pendek.
“Apa itu?” desakku.
“Eli tahu penyebab kepergianmu,” ujar Ben.
Aku mengerutkan kening. Bukankah semua orang tahu? Tentu saja Eli tahu.
“Maksudku, soal mimpi-mimpi itu,” ucap Ben mengerti kebingunganku. “Eli selalu menemanimu sampai tidur, kau ingat? Ia selalu menyaksikan bagaimana kau tersiksa dengan mimpi-mimpi buruk itu. Juga siapa yang ada dalam mimpimu.”
Aku menatap Ben tidak percaya. Jadi selama ini, Eli tahu? Benar-benar tahu?
Ben menghela nafas. “Eli tahu kau memimpikan kami. Eli tahu kau takut hal itu terjadi pada kami. Karena itu Eli tidak bisa melihatmu ketika kau pergi. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untukmu. Ia tahu penderitaanmu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.”
Mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba aku sangat ingin berlari dan memeluk Eli sekarang juga.
“Eli merindukanmu. Ia sering menangis malam hari,” Ben menerawang. “Dan… Tom juga. Aku sering melihatnya minum anggur sendiri sambil menangis. Hidup tak lagi sama tanpamu, Alo.”
Air mataku tumpah. Wajah Eli dan Tom bergantian muncul. Mereka terlalu baik padaku.
“Aku menjadi lebih sering mendatangi rumah pohon kita,” ujar Ben. Lalu memandangku. “Aku merindukanmu. Kami merindukanmu.”
Air mataku semakin deras. “Ma-maafkan aku.”
Ben menggeleng. Matanya juga tampak berkaca-kaca. “Tidak, Alo. Kau tidak salah. Ini hanya jalan hidup kita. Aku justru sangat berterima kasih karena kau masih hidup. Kau hidup dengan baik. Terima kasih, Alo.”
Aku tergugu beberapa saat.
“Aku mencarimu sejak lima tahun yang lalu. Cukup sulit mencarimu, karena kau tidak terdaftar di negara mana pun. Aku baru menemukanmu tiga hari yang lalu, dan keesokan harinya kau dibawa kesini,” lanjut Ben.
“Bagaimana keadaan Eli dan Tom? Dan yang lain?” tanyaku ketika tangisku sudah mulai reda.
“Eli memberitahukan yang sebenarnya pada kami enam tahun yang lalu. Ia menanggungnya sendiri selama empat tahun, dan memutuskan untuk memberitahukan pada semuanya karena situasi kelompok yang semakin gelap. Kau tahu apa yang dikatakan Tom setelah mendengar semua itu?” Ben bertanya padaku, seperti tidak mendengar kalau aku bertanya padanya tadi.
Aku hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Tidak bisa memikirkan apa pun.
“Aku akan menghentikan semua ini. Mulai sekarang, tidak ada lagi Black Medal,” ujar Ben. “Itu yang diucapkan Tom.”
Aku ternganga. Tidak percaya. Black Medal adalah kelompok yang dibangun Tom dengan susah payah, dengan keringat dan darah.
“Me-mengapa?”
“Tidak ada yang menentang perkataan Tom. Kami masih bersama, namun tidak melakukan hal-hal seperti dulu lagi. Kami pindah ke pinggir Italia dan memulai bisnis baru. Garmen dan sepatu. Itu berjalan cukup lancar sampai sekarang. Ternyata hidup normal tidak buruk juga,” ujar Ben.
“Itu semua karena kami ingin kau kembali, Alo. Kami ingin tetap bersamamu. Karena itu aku mencarimu, untuk kembali pada keluarga kita. Kalau kau takut hal-hal seperti dua belas tahun yang lalu terjadi lagi, kami bisa meninggalkannya. Tapi kami tidak bisa meninggalkanmu, Alo.”
Air mataku tumpah lagi. Perasaanku campur aduk. Sedih, merasa bersalah, terharu. Juga, bahagia. Karena memiliki keluarga seperti mereka.
“Ma-maafkan aku,” aku tergugu. “Maafkan aku. Aku menghancurkan kalian.”
Ben menggeleng. “Tidak, Alo. Bukan itu yang seharusnya kau katakan.”
Aku menatap Ben yang terlihat kabur karena air mataku. Ben tersenyum.
Aku menghela nafas. “Maafkan aku. Seharusnya aku tidak pernah pergi.”
Senyum Ben semakin lebar.
“Kau tahu, Alo? Eli pernah berkata padaku, kalau saja ia diberi kesempatan untuk bertemu lagi denganmu suatu saat nanti, kapan pun itu,” Ben menatapku lembut. “Ia ingin menjadi keluargamu lagi. Ia ingin kau menjadi putri kecilnya lagi.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Air mata terus mengalir dari kedua mataku.
“Eli dan Tom sangat mencintaimu, Alo. Kau hadiah dalam hidup mereka,” ujar Ben. Ia lalu menatap langit-langit. “Aku tidak mau memberitahukan ini, Alo. Tapi kau harus tahu.”
Aku terdiam. Entah kenapa, jantungku berdegup lebih kencang. Aku punya firasat buruk.
Ben menatapku. Aku melihat air matanya untuk pertama kali seumur hidupku.
“Eli sudah pergi setahun yang lalu, Alo. Ia sakit paru-paru. Tom menyusulnya dua bulan kemudian.”