Ajaibnya, aku benar-benar tertidur dua jam. Mungkin efek perkataan Ben. Dulu aku tidak pernah tidak melakukan apa yang dikatakannya. Dan ternyata sampai sekarang pun masih begitu.
Aku sudah hampir sampai laboratorium. Para penjaga tidak bertanya mengapa aku keluar kamar dini hari seperti ini. Salah satu permintaanku pada Zeus, untuk tidak diintrogasi oleh siapa pun. Apalagi hanya oleh penjaga pintu.
Aku memasuki laboratorium dan mengunci pintunya cepat. Mataku langsung menyisir seisi laboratorium, mencari-cari sosok Ben.
“Alo.”
Aku langsung menoleh. Kudapati Ben sudah berada di belakangku. Sepertinya tadi ia bersembunyi di balik rak dekat pintu.
“Apa kau sudah menunggu lama?” tanyaku.
Ben terdiam beberapa saat. Menatapku lekat.
“Iya,” Ben menghela nafas. “Sepuluh tahun.”
Aku menunduk. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. “Maaf.”
Kami terdiam beberapa saat.
“Yang penting sekarang adalah segera keluar dari tempat ini,” Ben lalu menarik tanganku. Dan berjalan ke arah tabung besar berisi kloning Ben.
“Zeus membuat kloningku agar kau mau melakukan apa yang diinginkannya, Alo. Tapi orang ini, dia manusia sungguhan. Ia yang nanti akan menjadi percobaan NM7,” Ben menunjuk tabung yang berisi anggota kelompok Red Skull.
Aku hanya diam, mendengarkan penjelasan Ben dengan seksama.
“Zeus memang memiliki ahli teknologi yang bisa membuat kloningku, tapi tidak memiliki ahli kimia hebat sepertimu yang bisa membuat obat NM7. Ia juga memiliki pasukan yang kuat. Akan sulit melawan mereka saat ini, tapi tidak berarti tidak dapat ditembus,” ujar Ben sambil mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.
“Ini adalah peta tempat ini. Aku sudah memeriksa semua tempat mana saja yang memiliki kamera pengawas atau penjaga. Kau melihat tanda panah ini? Kau bisa mengikuti arah panah ini.”
Aku mengamati kertas yang ada di hadapanku sambil mengangguk-angguk.
“Setiap pukul lima pagi, mereka mengadakan pergantian jadwal jaga. Pukul lima kurang lima, kau mintalah sarapan pada mereka untuk diantarkan ke ruanganmu. Di saat terjadi sedikit kerumitan antara pertukaran jadwal jaga dan mengikuti permintaanmu, segera menyelinap keluar. Belokan pertama, kau naik ke atap. Jalur ini terlalu banyak kamera pengawas,” Ben menunjuk lokasi yang tidak jauh dari kamarku.
“Lewat jalur ventilasi?” tanyaku agak khawatir. Ben mengangguk. “Kau pasti bisa. Kau sering melakukannya dulu.”
“Itu sudah lama sekali. Aku tidak yakin masih bisa melalui tempat kecil seperti itu,” sahutku.
“Aku akan menjagamu, Alo. Aku akan memastikan kau selalu aman,” ujar Ben, menatap lekat-lekat pada bola mataku. Aku terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk.
“Bagus. Kau pasti bisa melakukannya,” Ben kembali lagi pada kertas di tangannya. “Ujung jalur ini ada dekat tempat parkir. Dari situ, kita keluar menggunakan mobil katering yang akan keluar dari gedung ini pukul lima lewat tiga puluh menit. Kita harus keluar tepat waktu.”
Semenjak pergi dari kelompokku, aku benar-benar berusaha menjalani hidup dengan normal. Aku menjauhi Italia sebisa mungkin. Selama dua tahun aku berpindah-pindah di Afrika dan Asia.
Soal uang? Aku menggunakan sedikit kemampuanku mengotak-atik teknologi untuk “meminjam” uang dari rekening orang-orang. Tidak banyak, hanya sekitar 0,01% dari jumlah tabungan mereka, yang sebenarnya tidak mereka sadari. Hitung-hitung itu sedekah mereka. Dan aku tidak serakah. Aku hanya mengambil sejumlah yang kubutuhkan.
Lalu sampailah aku ke Indonesia, dan memutuskan untuk menetap di sini. Alasan pertama karena negeri ini paling sedikit memiliki jaringan dengan duniaku dulu.
Alasan kedua karena Jakarta memiliki banyak penduduk, dan aku butuh berada dalam kumpulan banyak orang.
Alasan ketiga karena lobi yang menyenangkan dan mudah di sini. Aku tidak terdaftar sebagai warga negara Indonesia, tapi aku memiliki kartu tanda penduduk sampai akte kelahiran yang bisa kuberikan ketika aku melamar pekerjaan. Tentunya ijazah lengkap sampai perguruan tinggi juga. Hal yang sulit kulakukan di negara lain, sedangkan aku harus menyembunyikan identitasku. Negara ini sempurna untukku.
Aku tidak melakukan hal-hal yang menarik perhatian orang, dibantu wajah Asiaku yang tidak menimbulkan banyak pertanyaan orang mengenai dari mana asalku. Aku berangkat pagi dan pulang sore hari, bekerja dengan tidak terlalu keras dan tidak terlalu malas. Biasa saja. Aku berusaha keras menjalani kehidupan yang normal.
Dan sekarang, setelah delapan tahun hidup dengan normal, aku kembali seperti masa lalu. Kurang dari dua puluh jam yang lalu aku kembali meracik cairan kimia di laboratorium. Dan kini, aku berusaha menyelinap keluar dari gedung ini.
Perkiraan Ben tepat. Kekacauan sedikit terjadi dan aku segera memanfaatkannya dengan keluar cepat dari laboratorium tanpa mereka ketahui. Aku sedang menyusuri lorong yang ditunjukkan Ben tadi, perlahan. Lalu sampai pada lorong yang banyak memiliki kamera pengawas. Aku mendongak, melihat lubang ventilasi.
Aku harus melakukannya.
Aku melompat-lompat kecil, bersiap untuk loncat ke atas sana. Rambut panjangku sudah kuikat. Aku sedikit tegang. Ini sudah lama sekali tidak kulakukan. Aku bahkan tidak pernah menggunakan tangga darurat di apartemenku, selalu menunggu lift meski lama.
HUP.
Loncatan pertamaku gagal. Aku tidak sampai menggapai lubang ventilasi itu. Aku menggosok-gosokkan tanganku yang terasa dingin, meniupnya pelan. Ben tidak bersamaku. Ia entah di mana, di suatu tempat.
Namun ia pasti mengawasiku. Berarti Ben tidak jauh dariku. Tidak apa-apa. Aku pasti akan selalu aman.
Aku melompat-lompat kecil lagi, bersiap melakukan loncatan kedua.
HUP.
Kali ini aku berhasil. Aku segera memasuki jalur ventilasi yang sempit itu. Merayap perlahan tapi pasti. Berusaha mengejar waktu.
Aku sudah merayap cukup jauh ketika samar-samar kulihat dari lubang ventilasi beberapa penjaga berkeliaran. Mereka mungkin sudah menyadari aku menghilang. Aku mempercepat lajuku.
KRAK.
Aku membeku. Karena gerakanku yang terlalu cepat, aku tidak sengaja menabrak lubang ventilasi. Sekarang para penjaga itu tampak bersiaga, mencari tahu dari mana arah suara itu.
Aku tidak bergerak, khawatir akan menimbulkan suara yang lain lagi. Tapi ada seorang penjaga yang berjalan mendekat ke arah ventilasi. Aku menahan nafas melihat penjaga itu yang semakin dekat, tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Namun tiba-tiba, penjaga itu menjauh. Juga penjaga yang lain. Mereka berlari menuju ruangan sebelah. Entah kenapa.
Aku menghela nafas lega. Tanpa pikir panjang, aku segera melanjutkan merayap. Sepertinya sebentar lagi aku akan keluar dari jalur ventilasi ini. Sebentar lagi, aku keluar dari gedung ini dan pergi bersama Ben.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya aku sampai pada ujung jalur ventilasi. Aku melihat keadaan sekitar sebelum membuka lubang ventilasi perlahan. Aku melongokkan kepalaku, memeriksa sekali lagi keadaan sekitar.
“Alo!”
Aku tersenyum. Ben tidak jauh dari tempatku. Aku segera bergerak untuk mengeluarkan tubuhku secara sempurna dari jalur ventilasi.
“Ben!”
Aku bersiap untuk berlari menuju Ben. Ben tersenyum lebar. Aku ikut tersenyum, membayangkan akan segera pergi dari tempat ini. Dan bersama Ben. Dan akan berbincang banyak hal dengan Ben.
Namun tiba-tiba, senyum Ben memudar. Aku mengernyitkan kening, baru akan bertanya ada apa sampai kurasa popor senapan di kepalaku.
“Usaha yang bagus, Alora.”
Zeus berdiri tak jauh dariku. Ia tersenyum. “Maaf, aku menggagalkan usahamu.”
Aku segera menatap Ben, menyuruhnya pergi. Tapi Ben tidak bergerak.
Zeus menyadarinya. “Wah, ada reuni keluarga kurasa? Kau sudah bertemu dengannya, Alora. Jadi kurasa aku tidak perlu repot-repot menjelaskan apa yang terjadi.”
“Ben, pergi!” seruku cepat menatap Ben yang masih diam di tempat. Namun Ben lagi-lagi tidak bergerak, sampai para penjaga menerima paksa.